Islamisasi Syeikh Muhammad As'ad di Wajo
Pada: February 12, 2012
Syeikh Muhammad As’ad kembali ke Indonesia pada tahun 1928, yaitu Wajo di Sulawesi Selatan yang merupakan tanah nenek moyangnya. Faktor yang mendorong ulama ini mendatangi daerah Wajo adalah karena memenuhi kehendak orangtuanya agar ia dapat mengabdikan diri pada pengembangan pendidikan Islam di daerah asal mereka, Wajo Sulawesi Selatan dan juga karena memenuhi panggilan Kiai Haji Ambo Emme, saudara iparnya yang telah lebih dahulu merintis penyelenggaraan pendidikan Islam di rumahnya sendiri.1
Di samping itu, ia merasa terpanggil oleh tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang ulama asal Wajo yang menghendaki masyarakat Islam di daerahnya dapat menjalankan syariat Islam secara murni dan konsekuen. Ketika ia masih berada di Mekah, ia telah mendengar berita mengenai keadaan orang-orang Wajo dari segi pengamalan ajaran agama, di kalangan mereka telah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Kemusyrikan, takhayul, bid’ah dan khurafat telah merajalela dalam masyarakat. Tampaknya berita tentang penyimpangan ajaran Islam ini, ia peroleh dari para jamaah haji asal Wajo yang pada umumnya mengharapkan agar Syeikh Muhammad As’ad bersedia datang ke Wajo untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya itu.2
Sejumlah faktor yang telah disebutkan, menjadikan Syeikh Muhammad As’ad lebih bergairah dan membulatkan tekadnya untuk datang ke Wajo, kampung halaman leluhurnya. Dengan demikian, dalam bulan Desember 1928 M, atau 1347 H, ia bertolak meninggalkan kota Mekah menuju Wajo dengan tujuan utamanya, yaitu untuk mengadakan perbaikan di bidang keagamaan, khususnya untuk memberantas penyimpangan pengamalan ajaran Islam yang terjadi dalam masyarakat. Kedatangannya di Wajo mendapat sambutan hangat dari tokoh masyarakat, termasuk dari kalangan pemangku adat, yaitu Arung Matoa Wajo yang brenama La Oddang Datu Larompong Arung Peneki (w. 1933 M) bersama 6 orang pejabat kerajaan yang disebut Petta Ennengnge, masing-masing Andi Makkarakan, Andi Makkulawu, Andi Ninnong, Andi Calla, Andi Tenriampa, dan Andi Pallawarukka.3
Kedatangan Syeikh Muhammad As’ad di Wajo yang disambut baik oleh tokoh masyarakat dan pemangku adat tersebut, rupanya telah membawa akibat positif bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup keagamaan di Wajo pada khususnya dan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Arung Matowa Wajo segera membangun sebuah masjid permanen dekat rumah Syeikh Muhammad As’ad yang berfungsi ganda, yaitu di samping sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat lima waktu secara berjamaah, juga sekaligus dijadikan pusat pengajian ulama ini bersama para santrinya yang sementara belajar padanya. Kemudian Petta Ennengnge membangunkan gedung sekolah di samping masjid tersebut dan Syeikh Muhammad As’ad diberi kebebasan berdakwah dimana dan kapan pun saja.4
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
[1] Mattulada “Islam di Sulawesi Selatan” dalam Taufik Abdullah (Editor), Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1983, h. 269
[2] Muh. Hatta Walinga, op. cit., h. 171-72; dan lihat pula Harun Nasution, et al (editor), Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992/1993, h. 31-32
[3] Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Wajo, op. cit., h. 77-78
[4] Abd. Rahim Kanre, Studi Empiris tentang Sistem Pendidikan Perguruan As’adiyyah Sengkang (Skripsi) (Makassar; IKIP Unismuh Makassar, 1975), h. 40