Pengusiran Orang Arab - Palestina; Sejarah Gerakan Zionis
Pada: February 03, 2012
Pada tahun 1905 Israel Zangwill, seorang organisator Zionisme di Inggris dan salah seorang propagandis Zionisme terkemuka yang menciptakan slogan, “sebuah tanah air tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah air”, menyatakan di Manchester, bahwa Palestina bukanlah tanah tanpa rakyat.
Sebenarnya tanah itu dihuni oleh bangsa Arab, “(Kami) menyiapkan diri, untuk mengusir dengan pedang kabilah-kabilah (Arab) itu sebagaimana yang dilakukan nenek-moyang kami, atau menghadapi hadirnya penduduk asing dalam jumlah besar, terutama kaum Mohammedan yang selama berabad-abad terbiasa menghinakan kami”. Komentar ini disuarakan pada waktu dimana ada 645.000 jiwa orang muslim dan Kristen di Palestina, sementara hanya ada 55.000 jiwa orang Yahudi, sebagian besar non-Zionis atau anti-Zionis, yang tinggal terutama di kawasan Orthodoks Jerusalem dan kota-kota lainnya. Zionisme adalah pemindahan orang Yahudi. Pemindahan orang Arab jauh lebih mudah daripada cara-cara lainnya.”
Kalau masalah dasar yang dihadapi oleh Yahudi Diaspora adalah bagaimana bertahan hidup sebagai kaum minoritas, maka masalah dasar Zionisme di Palestina, bagaimana melenyapkan penduduk asli dan menjadikan kaum Yahudi sebagai mayoritas.” Kenyataan mencuat berulang-kali dalam perundingan Komisi dengan perwakilan Yahudi bahwa kaum Zionis berharap mengusir sepenuhnya secara praktis penduduk non-Yahudi yang ada di Palestina melalui berbagai cara pembelian tanah.
Pada permukaannya, Zionisme tampak seolah-olah sebagai suatu kebijakan yang menguntungkan dan tidak berbahaya, ditujukan untuk merehabilitasi Yahudi “diaspora” yang secara stereotipik lemah ke dalam Yahudi Baru Palestina. Salah seorang pemimpin terkemuka Buruh Zionisme, Aharon David Gordon, menulis bahwa selama penyelamatan itu harus dijalankan melalui “ karya oleh tangan kita sendiri”, sambil ia menambahkan, “Kita harus merasakan apa yang dirasakan oleh buruh kita, berpikir apa yang dipikirkannya, hidup dengan cara hidupnya, dengan cara yaitu cara kita. Hanya dengan itu kita akan dapat hidup”
Sementara di antara kaum Zionis ada oposisi terhadap gagasan “pengalihan” itu atas dasar kemanusiaan, tetapi logika Zionis mengharuskan tidak ada pilihan lain dari pada mendelegitimasi-kan mayoritas orang Arab-Palestina, untuk mencapai terbentuknya negara Yahudi. Tetapi mencapai suatu mayoritas Yahudi ternyata tidak realistik. Bahkan pada tahun 1947, setelah bermigrasi hampir enam dasawarsa, hanya ada 589.341 orang Yahudi di antara penduduk Arab-Palestina yang 1.908.775 orang.
Majelis Zionisme memutuskan untuk mengatasi “masalah pengalihan” itu dengan menempuh jalan terorisme seraya menutupnya dengan aksi propaganda yang intensif. Orang Arab-Palestina menempati kedudukan yang tidak menguntungkan dengan ketidak-mampuan mereka melawan propaganda Zionisme di Barat, yang menggambarkan orang Arab-Palestina sebagai kaum yang bodoh, kotor, anti-Kristen, yang tidak perlu didukung. Meski tidak terlalu berhasil pada saat itu mendirikan sebuah negara Yahudi, namun usaha itu sangat efektif mendelegitimasi dan meneror orang Arab-Palestina. Bersamaan dengan itu kaum Zionis menggunakan usaha apa saja untuk memperkuat stereotipe yang anti-Islam. Hal itu menjadi sebuah proses yang masih terus berlanjut sampai dengan masa kini, bahkan sesudah pengakuan timbal-balik Israel-PLO pada tahun 1993 di Oslo.
Pada intinya inilah alasan paling mendasar tentang Zionisme – keputus-asaan yang mendalam. Ternyata anti-Semitisme tidak dapat dihilangkan selama orang Yahudi hidup di tengah-tengah masyarakat non-Yahudi. Hal ini bukan perasaan yang umum terdapat pada orang Yahudi, terutama di antara kaum cendekiawan dan pebisnis yang telah berhasil berasimilasi di dalam masyarakat dengan sistem demokrasi Barat, atau telah mendapatkan rasa aman yang dijamin oleh hak kebebasan beragama. Sejatinya Zionisme tetap merupakan gerakan kelompok minoritas di antara kaum Yahudi sampai memasuki abad ke-20.
Salah satu buah dari kemenangan Israel dalam Perang 1967 atas bangsa-bangsa Arab ialah penerimaan final atas Zionisme sebagai makna politik oleh hampir segenap masyarakat Yahudi sejak itu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Benjamin Beit Hallahmi, ‘Original Sins : Reflections on the History of Zionismand Israel’, New York: Olive Branch Press, 1993. Ralph H. Magnus, ed., ‘Documents on the Middle East’, Washington, DC: American EnterpriseInstitute, 1969. Janet L.Abu Lughod, ‘The DemographicTransformation of Palestine’, dalam Ibrahim Abu Lughod, ed., ‘Transformation of Palestine’, 2nd Edition, Evanston Northwestern University Press, 1987. Shlomo Avineri, ‘The Making of Modern Zionism: The Intellectual Origins ofthe Jewish State’, New York: Basic Book Inc. , 1981.