Pernikahan dari Pasangan Pengidap Impotensi Menurut Hukum Islam
Pada: March 12, 2012
Pernikahan pengidap impotensi, adalah seorang pria yang mengalami gangguan dalam menyalurkan sperm* ke lawan jenisnya karena organ yang dipakai untuk itu tidak mampu melakukan tugasnya dengan baik.
Secara spesifik, Ibnu Qudamah memberikan penjelasan mengenai hukum pernikahan pengidap impotensi, yaitu:
Orang yang tidak mampu melaksanakan tugasnya kepada istri atau suaminya karena impotensi atau karena faktor usia lanjut dan karena penyakit tertentu, mengenai hal seperti ini terdapat dua pendapat: Pertama, ia tetap disunnahkan menikah.
Kedua, tidak menikah adalah lebih baik baginya, karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi istrinya untuk dapat menikah dengan laki-laki lain yang lebih memenuhi syarat, dengan menyibukkan diri pada ilmu dan ibadah itu lebih baik dari apa yang tidak mampu ia lakukan.
Ketika suami istri menemukan pada salah satu pasangannya penyakit gila, jidam, kusta, atau istri menderita tumbuh tulang dalam lubang alat melahirkannya yang proses hubungan suami istri, maka salah satu dari mereka mendapatkan khiyar (pilihan)untuk membatalkan pernikahan.
Jika seorang wanita yang suaminya mengalami impotensi maka isteri dalam hal ini terdapat dua pilihan. Menolak pernikahan dengan mengembalikan mas kawin karena alasan aib tersebut atau menolak ketika akad nikah dengan alasan calon suami mengidap impotensi.
Ibnu Qudamah menyebutkan beberapa macam aib (cacat) yang menyebabkan diperbolehkannya mengajukan fasakh.
Sedikitnya ada delapan macam aib. Tiga diantaranya berlaku bagi suami dan istri, yaitu antara lain: gila, sopak dan penyakit kusta. Dua diantaranya berlaku khusus bagi laki-laki yakni terpotongnya buah z4k4r dan impotensi.
Sedangkan tiga yang lainnya berlaku khusus untuk wanita yaitu menderita tumbuh tulang dalam lubang alat melahirkannya, tersumbat atau terlalu basah yang menyebabkan hilangnya kenikmatan saat bergaul dengan pasangannya.
Dalam hal ini tidak ditetapkan hak khiyar kecuali pada aib-aib yang yang telah disebutkan. Dengan alasan selain hal yang telah ditetapkan di atas tidak menghalangi dari upaya bersenang-senang dan tidak ditakutkan adanya penularan. Maka dengan itu tidak ditetapkan hukum fasakh nikah seperti penyakit buta dan pincang.
Sebagai seorang wanita yang dalam ikatan perkawinan, boleh mengajukan fasakh atau pembatalan nikah kepada hakim jika ia telah benar-benar mengetahui bahwa suaminya tersebut tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yakni memberikan nafkah batin.
Ketika ia telah mengetahui bahwa suaminya benar-benar mengidap penyakit impotensi maka ditetapkan hak khiyar baginya. Adapun syarat-syarat ditetapkannya khiyar pada aib tersebut, Ibnu Qudamah menyebutkan antara lain:
Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa hak khiyar itu dimaksudkan untuk mencegah bahaya, maka keberadaan khiyar dalam putusan hakim seperti khiyar qisas.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Asyarbani, Mughni Al Muhtaj, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah, tt.). Blend, David, Pro blematik Seksual, Editor Wiliam A. R Tomson, M. D. E. & S. (Livingston Ltd, Lowden: t.th.).
Secara spesifik, Ibnu Qudamah memberikan penjelasan mengenai hukum pernikahan pengidap impotensi, yaitu:
Orang yang tidak mampu melaksanakan tugasnya kepada istri atau suaminya karena impotensi atau karena faktor usia lanjut dan karena penyakit tertentu, mengenai hal seperti ini terdapat dua pendapat: Pertama, ia tetap disunnahkan menikah.
Kedua, tidak menikah adalah lebih baik baginya, karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi istrinya untuk dapat menikah dengan laki-laki lain yang lebih memenuhi syarat, dengan menyibukkan diri pada ilmu dan ibadah itu lebih baik dari apa yang tidak mampu ia lakukan.
Ketika suami istri menemukan pada salah satu pasangannya penyakit gila, jidam, kusta, atau istri menderita tumbuh tulang dalam lubang alat melahirkannya yang proses hubungan suami istri, maka salah satu dari mereka mendapatkan khiyar (pilihan)untuk membatalkan pernikahan.
Jika seorang wanita yang suaminya mengalami impotensi maka isteri dalam hal ini terdapat dua pilihan. Menolak pernikahan dengan mengembalikan mas kawin karena alasan aib tersebut atau menolak ketika akad nikah dengan alasan calon suami mengidap impotensi.
Ibnu Qudamah menyebutkan beberapa macam aib (cacat) yang menyebabkan diperbolehkannya mengajukan fasakh.
Sedikitnya ada delapan macam aib. Tiga diantaranya berlaku bagi suami dan istri, yaitu antara lain: gila, sopak dan penyakit kusta. Dua diantaranya berlaku khusus bagi laki-laki yakni terpotongnya buah z4k4r dan impotensi.
Sedangkan tiga yang lainnya berlaku khusus untuk wanita yaitu menderita tumbuh tulang dalam lubang alat melahirkannya, tersumbat atau terlalu basah yang menyebabkan hilangnya kenikmatan saat bergaul dengan pasangannya.
Dalam hal ini tidak ditetapkan hak khiyar kecuali pada aib-aib yang yang telah disebutkan. Dengan alasan selain hal yang telah ditetapkan di atas tidak menghalangi dari upaya bersenang-senang dan tidak ditakutkan adanya penularan. Maka dengan itu tidak ditetapkan hukum fasakh nikah seperti penyakit buta dan pincang.
Sebagai seorang wanita yang dalam ikatan perkawinan, boleh mengajukan fasakh atau pembatalan nikah kepada hakim jika ia telah benar-benar mengetahui bahwa suaminya tersebut tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yakni memberikan nafkah batin.
Ketika ia telah mengetahui bahwa suaminya benar-benar mengidap penyakit impotensi maka ditetapkan hak khiyar baginya. Adapun syarat-syarat ditetapkannya khiyar pada aib tersebut, Ibnu Qudamah menyebutkan antara lain:
- Tidak diketahui keadaan impotensinya tersebut waktu diadakannya akad dan isteri tidak rela dengan keadaan suaminya itu setelah diadakannya akad
- Apabila diketahui keadaan aibnya tersebut pada waktu dilangsungkannya akadatau sesudahnya dan isteri menerima keadaan suaminya itu maka tidak ditetapkan khiyar
- Ketika istri mengira bahwa aibnya ringan dan ternyata keadaannya parah seperti jika ia mengira bahwa kusta yang diderita suaminya sedikit kemudia pada faktanya pada seluruh tubuhnya, maka tidak ada khiyar. Karena penyakit tersebut dari jenis yang ia terima
- Ketika istri ridho atas aib tersebut kemudian ternyata ada aib yang lain maka ditetapkan khiyar baginya.
Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa hak khiyar itu dimaksudkan untuk mencegah bahaya, maka keberadaan khiyar dalam putusan hakim seperti khiyar qisas.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Asyarbani, Mughni Al Muhtaj, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah, tt.). Blend, David, Pro blematik Seksual, Editor Wiliam A. R Tomson, M. D. E. & S. (Livingston Ltd, Lowden: t.th.).