Pengertian Fitrah Menurut Pakar
Pada: March 19, 2012
Fitriyât dalam ilmu Logika merupakan salah satu makna terminologi fitrah pada tema proposisi logika. Proposisi-proposisi fitri (fitriyât) merupakan sebuah proposisi yang meskipun keterbuktian predikat untuk subyek di dalamnya membutuhkan hadd-e wasath (middle term, relasi antara premis minor dan premis mayor), tetapi hadd-e wasath ini senantiasa hadir di dalam pikiran, dengan demikian proposisi ini termasuk dalam proposisi yakini (definitive)dan badihi (self-evident, gamblang dengan sendirinya). Oleh karena itu, para logikawan mengungkapkannya dengan interpretasi “Qadhaya qiyasâtuha ma’aha” yaitu “proposisi-proposisi yang analoginya senantiasa bersamanya”. Dalam tema teologi terkadang fitriyât berada dalam makna khas ini.
Kadangkala kata fitri berlaku untuk proposisi-proposisi primer (primitive statement). Yang dimaksud dengan proposisi-proposisi primer adalah sebuah proposisi dimana pada saat dzihn (pikiran) menggambarkan predikat dan subyeknya, maka pada saat itu pula ia membenarkannya. Ia tidak memerlukan pemikiran yang ruwet dalam menghukumi dan mengakuinya. sebagaimana yang terjadi dalam proposisiimtina’ tanaqudh (tertolaknya kontradiksi) yang mengatakan: “Ijtimâ’ wa irtifa’ naqidhâin (berkumpul dan terangkatnya dua kontradiksi secara bersamaan) adalah mustahil”.
Terkadang pula kata fitri dipergunakan dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi akhlak, dimana dalam hubungannya dengan akal merupakan aktivitas yang actual. Seperti ketika kita mengatakan kalimat: “Bohong adalah perbuatan yang tercela”, maka kalimat tersebut merupakan sebuah proposisi fitri.
Kata fitri dalam sebagian hal, sinonim dengan kata “wijdân” (kata hati)”. Dalam terminologi ini, maksud dari fitrah adalah isyarat pada dasar dan sumber kemunculan hukum-hukum akhlak.
Kadangkala fitri sinonim dengan badihi (self-evident, gamblang dengan sendirinya), baik dalam institusi imajinasi maupun dalam batasan kejelasannya. Tentu saja apa yang sering dikatakan sebagai kejelasan badihi, biasanya yang dimaksud adalah badihiyât awwaliyah(badihi-badihi primer). Atas dasar inilah kadangkala proposisi “Kontradiksi adalah mustahil”, biasa pula disebut sebagai fitri. Tetapi kita tidak menganggap materi sebagai fitri sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian logikawan yang memasukkannya dalam badihiyât dan yaqiniyât. Tetapi dalam institusi imajinasi, rasanya tak jarang imajinasi-imajinasi badihi seperti persepsi wujud (ada), 'adam (tiada),terkadang kita sifatkan sebagai fitri. Misalnya ketika kita mengatakan: “Pahaman sesuatu merupakan sebuah pahaman dimana setiap individu secara fitrah mampu memahaminya”.
Terkadang maksud dari fitri adalah makrifat dan ilmu hudhuri. Seperti ketika kita mengatakan: “Adalah merupakan sebuah hal yang fitri apabila setiap orang menyadari keberadaannya”. Yang dimaksud di sini adalah setiap orang menyadari keberadaannya dengan ilmu hudhuri yang dimilikinya.
Terminologi lain dari fitrah adalah apa yang diungkapkan dalam filsafat Descartes. Maksud fitriyah dalam filsafat ini adalah sebuah pahaman, dimana akal insan secara sendirinya mampu mencerapnya dengan jelas. Seperti pahaman ihwal Tuhan, gerak, kontinuitas dan nafs. Berdampingan dengan fitriyah ini, Descartes juga mengungkapkan dua kelompok lain untuk makna-makna dan pahaman-pahaman, yang ia namakan sebagai fiktif dan obyektif.1
Dalam filsafat Imanuel Kant, kata fitri terkadang juga dipergunakan dalam kaitannya dengan duabelas kategori-nya.2
Istilah lain dari fitri, dapat kita jumpai dalam istilah Psikologi. Para psikolog sepakat bahwa terdapat empat hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia, yang terkadang keempat hasrat ini berada di bawah pengaruh “hiss”(indra)”, dan mereka adalah:
a. Keinginan beragama
b. Keinginan untuk cantik/indah
c. Keinginan untuk berilmu
d. Keinginan berakhlak baik3
Kepustakaan:
1Muhammad ‘Ali Furugy, “Seir Hikmat dar Eurupa”, J. 1, bag. Descartes.
2Murthadha Muthahari, Syarh Mabsuth-e Mandzumah, J. 3, hal 273; Levin dkk, Falsafah Ya Pazyuhesh Hakekat’ terjemahan Jalaluddin Mujtabawi, hal. 287; Murthadha Muthahari, Fitrat, hal. 35.
3Syahid Murthadha Muthahari, Hiss-e Hallâqiyyat va Nu Âvari; Fitrat, hal. 49-56
2Murthadha Muthahari, Syarh Mabsuth-e Mandzumah, J. 3, hal 273; Levin dkk, Falsafah Ya Pazyuhesh Hakekat’ terjemahan Jalaluddin Mujtabawi, hal. 287; Murthadha Muthahari, Fitrat, hal. 35.
3Syahid Murthadha Muthahari, Hiss-e Hallâqiyyat va Nu Âvari; Fitrat, hal. 49-56