Teori “Prime-mover” (penggerak awal) Aristoteles
Pada: March 01, 2012
Pembahasan akan dimulai dari tema “esensi sesuatu” dan uraian pertama tentang teori penggerak awal yang dinisbatkan kepada Aristoteles. Menurut pendapat Aristoteles untuk menemukan sebab, khususnya untuk menemukan sebab gerak, maka kita harus berhenti pada suatu tempat, dan pada selain keadaan ini tidak akan ada penyebab dari sesuatupun yang bisa ditemukan secara pasti.
Jawaban untuk pertanyaan ini akan ditemukan melalui tafakkur dan kontempelasi tentang gerak. Apabila sebab dari sebuah gerak kita hadirkan melalui gerak lainnya, maka keniscayaan yang akan muncul adalah bahwa gerak kedua akan kita dapatkan melalui gerak ketiga dan gerak ketiga melalui gerak keempat dan demikian seterusnya hingga rangkaian ini akan berlanjut terus tanpa akhir. Jadi apabila kita ingin mendapatkan alasan yang pasti, maka kita harus melihat ke dalam majemuk gerak, bukan pada pengaruh sebuah penggerak yang digerakkan melainkan pada sebuah penggerak yang tak digerakkan, ringkasnya kita hendaknya melihat pada sebuah “penggerak yang berhenti”.
Gerak secara inderawi dilahirkan melalui proses sebuah “penggerak yang berhenti” dan penggerak tersebut adalah cinta yang muncul melalui sebuah kecantikan. Seseorang yang telah menjadi pecinta akan terseret ke arah yang dicinta, hal ini disebabkan yang dicintai itu telah menarik perhatian pecinta ke arahnya, akan tetapi obyek yang dicintai bukan hanya untuk menggerakkan pecintanya saja sehingga dia tidak memberikan gerakan pada dirinya, melainkan terdapat banyak kemungkinan dimana dia pun tidak sadar dengan kewujudannya. Inilah sebuah gambaran yang menurut perkiraan Aristoteles telah memberikan kefahaman sebab gerakan yang telah membuat dunia bergerak, dan karena gerakan semcam ini ada, maka harus terdapat pula penggerak yang berhenti yang menjadi tempat kebergantungan semuanya dan penggerak tersebut adalah Tuhan.
Kedua uraian di atas, secara eksternal saling berbeda antara satu dengan lainnya. Pada uraian pertama, penggerak awal diungkapkan sebagai pecinta, akan tetapi pada uraian terakhir penggerak awal diungkapkan sebagai yang dicintai yaitu sesuatu yang terbatas. Dalam kelanjutan pembahasan, kami akan kembali pada point tersebut sekaligus mencoba melakukan analisa dan evaluasi terhadap perangkat dari setiap kedua uraian.
Syeikh Ar-Rais Ibn Sina sebagai penjabar teori Aristoteles, pada kitab “Ilahiyat Shifa” mengetengahkan pembahasan tentang penggerak awal yang dia namakan sebagai sesuatu yang dicintai , kebaikan hakiki, puncak kebaikan, sebab pertama dan penggerak pertama dan universal.
Para ahli sejarah Filsafat dalam menukilkan dan menginterpretasikan pendapat Aristoteles tentang penggerak awal, sepakat pada point berikut bahwa dia (Aristoteles) tidak menganggap Tuhan sebagai sebuah penggerak dan power mekanik. Aristoteles berkata: Gerak secara pasti memiliki prinsip, dan apabila kita tidak ingin memasuki sebuah interkoneksi (tasalsul) yang melelahkan yang membawa masalah kembali ke belakang selangkah demi selangkah tanpa akhir, maka kita harus menerima adanya sebuah penggerak awal yang tak digerakkan (primum mobile immontum) atau penggerak hakiki sebagai sebuah prinsip yang tegas...Tuhan bukanlah pencipta, melainkan penggerak alam, dia memut ar alam tidak sebagai sebuah kekuatan mekanik, melainkan sebagai sebuah illatul illal (the first cause) dari semua sumber, aktivitas dan perilaku alam. “Tuhan memutar
Aristoteles sepakat bahwa kinetik sebagai sebuah relefansi muncul lebih awal dari kekuatan, hal ini dikarenakan “kinetik” merupakan tujuan akhir dari kekuatan, dan Tuhan telah diungkapkan sebagai kinetik sempurna, dan berkata: Tuhan sebagai prinsip eternal gerak dan peletak prinsip dari energi ke aktual, harus merupakan sebuah kinetik yang sempurna, yaitu berupa penggerak awal yang tak digerakkan ...penggerak awal yang tak digerakkan atau penggerak hakiki yang merupakan sebab akhir dari setiap prinsip gerak, merupakan sebab akhir menjadi kinetiknya energi, yaitu sebab dari kenapa kebaikan bisa dilahirkan.
Kalimat-kalimat yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah yang dimaksud oleh Aristoteles dalam sifat “Awal” untuk Tuhan bukanlah keawalan dalam pengertian temporal. Menurut pendapat Aristoteles gerak secara urgensi dan dharuri adalah abadi dan tanpa permulaan. Dari sini perkataan “Awal” menurutnya adalah “Superior”.
Setiap gerak dan setiap perpindahan dari potensi ke aktual meniscayakan pada mabda bil fi’il (pemula aktual), akan tetapi apabila setiap benda bergerak mengharuskan adanya sebuah sebab penggerak aktual, maka dunia secara universal akan meniscayakan adanya sebuah “penggerak awal”, akan tetapi penting untuk memperhatikan poin berikut bahwa kata “awal” tidak boleh difahami sebagai pengertian temporal, karena menurut pendapat Aristoteles secara urgensi gerak itu abadi. Lebih baik kiranya apabila kata “Awal” difahami saja sebagai “’Superior” yang maksudnya adalah penggerak awal sebagai prinsip eternaliti, yaitu merupakan gerak yang abadi dan eternal. Menurut pendapat Aristoteles, apabila Tuhan sebagai sebab aktual fisik, berarti dia akan merupakan sebab gerak dan dengan istilah lain, dia mengemudikan alam dalam keadaan tersebut diapun akan menerima terjadinya perubahan yaitu reaksi dari yang digerakkan atas penggerak telah mempengaruhinya, oleh karena itu dia harus sebagai sebab akhir, yang menjadi pelaku melalui keinginan itu sendiri.
Arsitoteles dalam kitab “Metafisika” menunjukkan bahwa pemula penggerak ini harus merupakan aktual murni yaitu energi tanpa sedikitpun potensi.
Tentang Tuhan terkadang dia menganggapnya sebagai penggerak awal yang tak digerakkan dan terkadang pula dia menggunakan kata Tuhan itu sendiri.
Penggerak yang tak digerakkan (penggerak hakiki), bukan maddah (bahan, zat) dan bukan materi Gerak, meniscayakan potensi dan kapabilitas keduanya, karena bersumber dari maddah. Oleh karena itu pada tempat dimana ada gerak, berarti ada maddah di sana, dan pada tempat dimana tidak ada gerak berarti tidak ada maddah pula. Aristoteles sepakat: karena tujuan setiap benda di alam ini adalah untuk mencapai keadaan bentuk murni, dengan demikian harus terdapat sebuah eksistensi aktual yang merupakan akhir dari setiap perubahan atau gerak. Eksistensi ini dinamakan sebagai “penggerak tak digerakkan”, meskipun dia tidak menerima sedikitpun kemungkinan terjadinya perubahan dan transformasi karena dia sama sekali tidak tergolong dalam materi sehingga karena itulah dia tidak mempunyai kapabilitas sedikitpun sebagai dalil dan sebab gerak segala sesuatu di alam semesta. Dengan demikian melalui cinta terhadap kesempurnaan dalam bentuk murni-lah sehingga alam natural melanjutkan gerak dan perjalannya yang tanpa akhir”.
Harus diperhatikan bahwa dalam metode “Metafisika” nya Aristoteles, penggerak tak digerakkan sama sekali tidak akan pernah turun dari sifat dan posisi ini, karena eksistensi-eksistensi bergerak sama sekali tidak akan pernah sampai pada tingkatan bentuk dan kinetik murni, oleh karena itu senantiasa dalam usaha dan upaya dan sama sekali juga tidak akan pernah sampai pada tujuan lebih jauh tersebut. Dari sinilah penggerak senantiasa penggerak dan yang digerakkan pun senantiasa merupakan obyek yang digerakkan.
Referensi Makalah®
*Berbagai Sumber