Nilai Normatif dengan Paradigma Genetik
Pada: April 17, 2012
Kuntowijoyo dalam merefleksi nilai normatif dengan paradigma genetik. Paradigma ini berangkat dari konsep normatif agama kemudian diturunkan menjadi ideologi dan konsep teoritik ilmiah. Model ini berangkat dari asumsi, bahwa bila ilmu-ilmu teoritik empirik dapat meningkat ke taraf normatif (seperti: teori ekonomi Marxist menjadi Komunisme), maka dapat sebaliknya; konsep normatif agama dapat diturunkan menjadi konsep teoritik ilmiah. dalam kaitan ini, Kuntowijoyo menjelasan:
Pada tingkatan yang normatif, Islam merupakan seperangkat sistem nilai koeheren yang terdiri atas ajaran-ajaran wahyu, yaitu yang merupakan kriteria kebenaran absolut dan bersifat transendental. Untuk dapat beroperasi sebagai acuan aksiologis, sebenarnya konsep normatif Islam yang berakar pada sistem nilai wahyu ini dapat diturunkan melalui dua medium, yakni ideologi dan ilmu. Agama menjadi ideologi karena ia tidak hanya mengkonstruksi realitas, tetapi juga memberikan motivasi etris dan teologis dan ilmu. Agama menjadi ideologi karena ia tidak hanya mengkonstruksi realitas, tetapi juga memberikan motivasi etis dan teologis untuk merombaknya. Ideologi dengan demikian merupakan derivasi normatif yang diturunkan menjadi aksi. Tetapi dilain pihak, agama juga dikembangkan menjadi ilmu dengan merumuskan dan menjabarkan konsep-konsep normatifnya pada tingkat-tingkat yang empirik dan objektif. Dengan kata lain, nilai-nilai normatif tidak dijabarkan menjadi ideologi untuk aksi, tetapi dirumuskan menjadi teori untuk aplikasi” (Kontowijoyo, 1991: 37).
Kuntowijoyo tidak hanya melihat ajaran Islam semata-mata dalam bentuknya yang normatif yang diwujudkan dalam kegiatan ritual yang rutin, tetapi dimensi normatif itu diobyektivikasikan ke dalam dunia empirik-rasional sebagai acuan untuk menanta konsep teoritik ilmiah. Contoh yang dapat dikemukakan di sini antara lain: ajaran zakat. Dari sini normatifnya ajaran zakat memerintahkan untuk mengasihani fakir miskin dan anak yatim, dengan tujuan subyektifnya adalah zakat membersihkan jiwa dan harta. Tetapi ajaran zakat tersebut dapat pula dilihat sisi obyektifnya, yaitu zakat dapat menjadi landasan menyusun konsep teoritik tentang sosial ekonomi Islam, bahwa Islam mengakui kelas sosial misalnya, dalam al-Quran ada kelompok al-fuqara’, al-masakin, al-dhu’afa’, al-mustadh’afin dan kelompok al-aghniya’ dan al-mustakbirin. Al-Quran mengabdikan kelas-kelas sosial itu sebagai gambaran faktual sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi kelas sosial itu bukan bersifat kontradiksional seperti dalam masyarakat komunisme dan bukan pula hasil “kompetisi-bebas-sempurna” seperti dalam masyarakat Kapitalis, tetapi lebih bersifat “fungsional”. Fungsional, dalam arti masing-masing kelompok mempunyai orientasi untuk proses integratif, yang bukan semata-mata ditegakkan atas keadilan produktif, tetapi juga keadilan distributif.
Aspek normatif dalam zakat bertujuan untuk transformasi psikologis untuk menciptakan pribadi muslim (Islamic personality), sedangkan aspek obyektifnya (tempat menyusun konsep teoritik ilmiah) bertujuan untuk transformasi sosial (Kontowijoyo, 1991: 329).
Paradigma genetik yang ditawarkan Kuntowijoyo hanyalah salah satu alternatif mengembangkan ilmu-ilmu sosial Islam. Akan tetapi masalah yang timbul, adalah: bila aspek teoritik ilmiahnya dilepaskan dari aspek normatifnya memungkinkan timbulnya ilmu sosial sekuler. Kekhawatiran ini dikemukakan oleh A.E.Priyono, bahwa Kuntowijoyo ingin mengembangkan ilmu agama sekuler (Kontowijoyo, 1991: 36).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi,Bandung, 1991.