Nilai Normatif dengan Penalaran Reflektif
Pada: April 19, 2012
Nilai normatif dalam Islam terkandung dalam wahya Ilahi terhimpun dalam al-Quran dan Sunnah Nabi. al-Quran dan Sunnah diyakini oleh setiap pribadi muslim sebagai sumber kebenaran yang absolut transenden dan universal. Konsep teoritik ilmiah adalah hasil telaah ilmuan terhadap fakta-fakta empirik yang disusun dalam tata-pikir logik, metodik dan sistimatik kemudian dikonstruksi suatu teori.
Bila seorang hanya berada dalam wilayah berfikir normatif yang sendirinya menggunakan penalaran deduktif, yaitu kebenaran normatik dijadikan premis mayor, maka penelitian empirik yang dilakukan hanya untuk mencocokkan bukti empirik pada premis mayor (dari ayat al-Quran atau nilai Islam tertentu). Penelitian empirik yang dilakukan bukan untuk merubah premis mayor sebab sudah mutlak kebenarannya, tetapi premis mayor berfungsi untuk “menghakimi” bukti empirik yang dihimpun. Hasil yang dicapai dalam penalaran ini bukan untuk mengembangkan ilmu dengan terobosan-terobosan baru, tetapi hanya membenahi apa yang ada.
Perbedaan berikutnya, adalah penalaran deduktif dapat menghasilkan konsep-konsep teoritik yang banyak, dengan kata lain, akan padat teori tetapi miskin terapan. Sebaliknya, penalaran induktif berakibat miskin teori tetapi kaya terapan.
Noeng Muhajir menawarkan satu model penalaran yang disebutnya: penalaran reflektif yaitu bolak balik antara induktif dengan deduktif. Satu catatan, bahwa bila dalam penalaran deduktif, nilai-normatif al-Quran berfungsi menghakimi fakta empirik, tetapi tidak berarti bahwa dalam penalaran induktif; bukti empirik akan menghakimi nilai normatif ayat al-Quran itu. Dalam penalaran induktif ayat-ayat al-Quran berfungsi mempertajam konseptualisasi, memperdalam pemaknaan dan memperkokoh proposisi yang disajikan (Noeng Muhajir, 1989:5). Dalam posisi ini, ayat al-Quran berperan sebagai tempat berkonsultasi yaitu tempat mengkonsultasikan temuan-temuan empirik yang diperoleh. Pandangan Noeng Muhadjir ini dapat diberi nama paradigma konsultatif. Peranan al-Quran sebagai tempat berkonsultasi, berarti tetap menempatkan al-Quran dalam strata yang lebih tinggi.
Masalah yang timbul dalam paradigma ini, adalah bagaimana jika temuan-temuan empirik tidak sejalan dengan al-Quran? Meskipun dikatakan, bahwa al-Quran tidak bertentangan dengan fakata ilmiah, tetapi tetap saja ilmu pengetahuan adalah produk manusia yang bisa keliru. Untuk mengatasi masalah ini ditempuh beberapa alternatif: (1) Melakukan reniok atas fakta empirik untuk renkonstruksi teori yang ditemukan, atau (2) Melakukan reintrepretasi terhadap ayat-ayat al-Quran sepanjang tidak keluar dari ruh al-Quran, atau (3) Melakukan fasilitas atas temuan ilmiah. Apakah ketiga cara ini masih disebut ilmiah? Seorang Muslim mempunyai sikap bahwa keimanan pada al-Quran sebagai kebijaksanaan tertinggi dari Allah; manusia adalah mahluk dhaif belum mampu menangkap makna yang dalam pada ayat al-Quran itu. Dalam ilmu pengetahuan ada yang disebut: valid by authority, karena yang menemukan suatu teori adalah pakarnya, maka kita sering begitu saja menerima teori atau tesanya tanpa kritik. Dengan keimanan kepada Allah; Pakar segala Pakar, maka kita menerima begitu saja sabda Pakar segala Pakar itu (Noeng Muhajir, 1989:12).
Kepustakaan:
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, 1990.
------------, Penelitian: Integrasi Wawasan dan Pluralisasi Operasi, T.tp: t.p. T.th.
------------, Penelitian: Integrasi Wawasan dan Pluralisasi Operasi, T.tp: t.p. T.th.