Definisi Talfiq (bertalfiq)
Pada: May 16, 2012
Setelah sebelumnya telah kami utarakan definisi mazhab dan perkembangannya, selanjutnya akan kami uraikan definisi talfiq yang memiliki kaitan dengan istilah bermazhab. Secara harfiah talfiq berasal dari kata laffaqa (لفق ) yang berarti “merapatkan atau memadukan dua ujung barang yang berbeda”.1
Dalam istilah fikih, talfiq berarti “mengikuti suatu hukum tentang suatu peristiwa dengan mengambilnya dari berbagai mazhab”. Sebagian ulama ada yang mendifinisikannya dengan “beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua mazhab atau lebih”. Ada juga yang mendefinisikannya sebagai “mengikuti atau bertaklid kepada dua imam mujtahid atau lebih dalam melaksanakan suatu amal ibadah, sedangkan kedua imam yang bersangkutan tidak mengakui sahnya amal ibadah tersebut karena tidak sesuai dengan pendapat masing-masing”.2
Misalkan dalam penyaluran (distribusi) zakat harta kita berpegang kepada pendapat Malik dalam hal penunaiannya kepada muallaf (orang-orang yang belum kuat imannya). Kita mengambil pendapat Abu Hanifah yang membolehkan memindahkan zakat kepada kerabat yang haram dinikahi atau kepada orang yang lebih membutuhkan. Kita mengambil pendapat al-Syafi’iy dalam hal memberikan bagian zakat kepada fakir miskin secukupnya untuk sepanjang umurnya, sehingga tidak membutuhkan lagi bagian zakatnya. Dan kita mengambil pendapat Ahmad dalam mendistribusikan zakat untuk membeli persenjataan, kendaraan-kendaraan dan sebagainya yang dianggap fi sabilillah, yang tidak terbatas pengertiannya pada tentara sukarelawan saja. Maka pada masalah di atas kita telah melakukan talfiq, dengan mrnggabungkan beberapa pendapat imam mujtahid.
Praktek di atas menurut Yusuf al-Qardhawiy bukan termasuk talfiq yang dilarang ulama mutaakhkhirin.3 Mereka melarang talfiq dalam sebagian bentuk. Sebab yang dimaksud talfiq adalah menambal sulam sebagian pendapat dengan sebagian pendapat yang lain tanpa didasari dalil, tetapi hanya semata-mata taklid belaka, mengikuti pendapat yang sesuai dengan subyektivitasnya, tidak mau mengikuti yang kuat dan benar.
Kepustakaan :
[1] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Juz I (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h 330.
[2] Muhammad Salam Madkr, al-Ijtihad fiy Tasyri’ al-Islamiy (t.t.p.: Dar al-Nah«ah al-‘Arabiyyah, 1984), h. 184-185; Wahbah al-Zuhailiy, op. cit., h. 1142; Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), Jilid V, h. 61
[3] Yusuf al-Qardhawiy, al-Ijtihad al-Mu’a¡ir bain al-Indhiba wa al-Infira, terjemahan Ahmad Barzani (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 28.
[2] Muhammad Salam Madkr, al-Ijtihad fiy Tasyri’ al-Islamiy (t.t.p.: Dar al-Nah«ah al-‘Arabiyyah, 1984), h. 184-185; Wahbah al-Zuhailiy, op. cit., h. 1142; Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), Jilid V, h. 61
[3] Yusuf al-Qardhawiy, al-Ijtihad al-Mu’a¡ir bain al-Indhiba wa al-Infira, terjemahan Ahmad Barzani (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 28.