AG. KH Ambo Dalle dan DI/ TII Kahar Muzakkar
Pada: June 21, 2012
Dalam perjalanan hidup KH. Ambo Dalle sebagai seorang pejuang (tanpa tanda jasa) dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang selalu dekat dengan masyarakat dan pemerintah, tidak selalu mulus dan menggembirakan, tetapi kadang terkendala dan cukup menyedihkan. Sebagaimana halnya ketika KH. Ambo Dalle dalam perjalanan menuju Makassar dalam rangka mengurus pendirian perguruan tinggi DDI di awal perkembangannya, beliau diculik di Desa Belang-belang Kabupaten Maros oleh pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar, yang sedang bergerilya menyusun kekuatan menentang pemerintah RI untuk mendirikan negara Islam, dan mengambil basis pertahanan di hutan belantara, Sulawesi Selatan.
Peristiwa yang menegangkan itu terjadi pada tanggal 18 Juli 1955, ketika itu mobil KH. Ambo Dalle yang dikemudikan oleh Abdullah Giling (pembonceng setia dan sekretaris pribadinya dicegat oleh sekawanan tentara bersenjata lengkap, yang tidak memberi kesempatan kepada KH. Ambo Dalle untuk berbicara, langsung mengusungnya masuk ke hutan bergabung dengan pasukan Kahar Muzakkar. Dia dibawa dari Maros ke daerah Luwu, di suatu daerah terpencil, yaitu di Desa Ranteballa, sebuah kampung di kaki Gunung Latimojong.
Niat Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menculik KH. Ambo Dalle ternyata sudah lama. Mereka telah beberapa kali mencoba melakukan dengan menghadang mobil, seperti ketika akan ke Pare-pare dari Mangkoso, beberapa waktu sebelumnya. Waktu itu itu Abdullah Giling yang menyetir. Dari jauh ia sudah melihat ada pasukan DI/TII. Tanpa komentar ia langsung memutar mobil dengan kecepatan tinggi untuk kembali ke arah Mangkoso.
Kami berenam dihadapkan pada pimpinan DI/TII, Kahar Muzakkar. Pada pertemuan itu, Kahar Muzakkar tampa sangat gembira. “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah kita. Insya Allah, dengan doa Pak Kiai perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” demikian ucapan Kahar Muzakkar pada perjumpaan denga kami. Kisah KH. Ambo Dalle.
Pada tahun 1957, KH. Ambo Dalle bersama dengan rombongan dibawa ke kampung Soro dekat Maroangin daerah Wajo (Tinggal selama 2 tahun), dengan pasukan satu batalion dari pengawal Detasemen Abdul Qahar Muzakkar. Di sana KH. Ambo Dalle membuka pesantren, kemudian kembali lagi ke daerah Luwu tepatnya di Kota Kecamatan Bajo, Palopo Selatan dan di sana beliau membuka Perguruan Tinggi Agama Islam yang diberi nama Perguruan Tinggi “Al-Qasas”. Di daerah itulah beliau bersama dengan Menteri Pendidikan DI/TII, B.S. Baranti, selalu mendapat serangan bom dari pesawat AURI disertai peluru 12, 7 yang cukup menyeramkan dan mengerikan. Di Bajo inilah Panglima Besar Revolusi Abdul Qahar Muzakkar menyerahkan dua orang putranya (Hasan dan Guril) kepada K.H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk dididik sebagai santri.
Berhubung karena daerah Luwu tidak aman, maka K.H. Abdurrahman Ambo Dalle dibawa ke daerah Sumpakburungan, (daerah Wajo atau wilayah Kecamatan Pitumpanua). Di sanalah diadakan pendidikan yang disebut dengan “Kader Forming” di mana semua Perwira DI/TII mengikutinya termasuk Abdul Qahar Muzakkar. Di medan inilah tercipta beberapa pemufakatan tentang manajemen dan strategi perjuangan serta hukum-hukum Islam termasuk di dalamnya bagaimana meng-istimbath hukum dari al-Quran dan sunnah (hukum pidana dan hukum perdata serta hukum revolusi Islam) yang kadang menghasilkan hukum mati, qisas, potong tangan, dan sebagainya. Di sini pulalah terjadi perdebatan yang sangat seru antara K.H. Abdurraham Ambo Dalle dkk, dengan ulama lainnya seperti Marzuki Hasan, K.H. Maksum yang berpihak pada pendapat Abdul Qahar Muzakkar dalam masalah poligami.
Selama lebih kurang 8 tahun K.H. Abdurrahman Ambo Dalle di hutan sebagai penasehat Kahar, namun akhirnya Anregurutta sebagai ulama Aswaja merasa kurang cocok dengan pendapat Kahar yang tidak menghiraukan mazhab, terutama dalam memahami QS. al-Nisaa (4) : 4. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle memahami kandungan ayat ini, jumlah isteri maksimal 4 orang, sementara Kahar mempunyai isteri berjumlah 9 orang.
Bersamaan dengan konflik itu, muncul pula tuduhan dari salah seorang kiai yang berasal dari Pulau Jawa, yang termasuk perangkat Negara bentukan Kahar. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle dianggap disusupkan oleh TNI untuk mematai-matai pasukan Kahar Muzakkar. Lalu ia pun mengungsikan K.H. Ambo Dalle ke Sulawesi Tenggara.
Pada tahun 1963 TNI di Sulawesi Selatan di Bawah komando M. Jusuf memerintahkan pasukan untuk mengembalikan K.H. Abdurrahman Ambo Dalle ke kota dalam keadaan selamat.
Suatu saat di Belawa-belawaE, wilayah Kecamatan Siwa Kabupaten Wajo, kami terpisah dengan pasukan yang mengawalnya. Saya Mendengar suara pasukan yang berbahasa bugis, rupanya pasukan TNI yang dipimpin Andi Patonangi. Saya bersembunyi di balik pohon, kemudian meyuruh salah seorang agar mendekati pasukan TNI itu bahwa kami ada di sekitar mereka. Tuturnya. Pada saat pasukan TNI pimpinan Andi Patonangi melewati tempat persembunyian saya, saya, mengucapkan, “Alhamdulillah,” yang didengar pasukan Andi Patonangi. Mereka menyambutnya dengan ucapan serupa, “Alhamdulillah.” Andi Patonangi kemudian mengantar kami kembali masuk ke kota menemui Panglima Jusuf. Demikian cerita Ambo Dalle ketika berada di hutan.
Keberadaan K.H. Abdurrahman Ambo Dalle di hutan tidak merubah pendiriannya dalam hal yang diyakininya. Ia tetap konsisten menganut dan mengembangkan ajaran atau mazhab Ahlussunnah Wal-Jamaah, meskipun ajaran yang berlaku di wilayah kekuasaan Kahar Muzakkar adalah ajaran yang tidak menghiraukan mazhab.
K.H. Abdurrahman Ambo Dalle mencoba meluruskan, bahwa laki-laki maksimal hanya boleh mengawini empat orang isteri. Namun Kahar Muzakkar dan pengikutnya tetap mempertahankan keyakinannya. Dan kedua pendapat itu rupanya tidak bisa lagi dipertemukan.
Selama berada di hutan bersama gerombolan Kahar Muzakkar, K.H. Abdurrahman Ambo Dalle lebih banyak mengisi waktunya dengan kegiatan pengajian. Ia pernah diangkat sebagai menteri pendidikan dan wakil presiden DI/TII oleh Kahar Muzakkar. Bahkan, konon ia sempat juga memangku jabatan Presiden DI/TII ketika Kahar Muzakkar sedang mengadakan gerilya ke luar hutan. Selain itu memberikan pelbagai fatwa agama juga bercocok tanam dengan para pengikutnya. Gurutta secara tekun memperdalam ilmunya melalui bacaan-bacaan yang berupa kitab-kitab dan terutama sekali al-Quran. Dan ia sama sekali tidak pernah ikut memanggul senjata selama berada di hutan, sebagaimana anggota gerombolan DI/TII lainnya.
Selama enam bulan pertama ia berada di hutan, isteri K.H. Abdurrahman Ambo Dalle masih tetap berada di Pare-pare bersama putra pertamanya yang masih berumur sekitar empat tahun. Dan selam enam bulan itu pula ia harus mengurusi dirinya sendiri. Setelah itu, anak dan isterinya disusulkan ke hutan. Selama dua tahun keluarga Gurutta tinggal dihutan, sebelum pada akhirnya ia dan keluarganya dibuang ke Sulawesi Tenggara.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber