Hakim dan Pemberdayaan Yurisprudensi
Pada: June 24, 2012
Hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan, sehingga tanpa hakim pengadilan tidak layak dikatakan sebagai lembaga peradilan. Bahkan dalam perkembangannya oleh sebagian masyarakat sering diasosiasikan hakim dengan pengadilan. Artinya bahwa hakim selalu identik dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman identik dengan kebebasan hakim. Demikian pula halnya dengan keputusan pengadilan identik dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan pengadilan sangat ditentukan oleh keberadaan hakim dalam lembaga peradilan.
Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu fungsi hakim yang sangat penting adalah mengembangkan yurisprudensi. Dalam kepustakaan hukum anglo saxon perkataan yuisprudensi mengandung arti yang lebih luas dari perkataan yurisprudensi dalam hukum Eropa Kontinental. Di dalam kepustakaan anglo saxon, yurisprudensi selain bermakan hukum (dalam putusan) hakim, juga bermakna filsafat hukum dalam ilmu hukum. Sedangkan dalam kepustakaan Eropa kontinental dan dalam kepustakaan hukum Indonesia, yang disebut yurisprudensi adalah kumpulan keputusan Mahkamah Agung (dan Pengadilan Tinggi) mengenai perkara tertentu berdasarkan pertimbangan (kebijaksanaan) hakim sendiri yang diikuti sebagai pedoman oleh lain dalam memutus perkara yang sama atau hampir sama.
Pengembangan yurisprudensi selain menggambarkan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, juga selaras dengan kesadaran hukum masyarakat muslim Indonesia. Namun perlu distressing bahwa hakim peradilan Agama yang membuat yurisprudensi itu, selain paham benar tentang hukum Islam, juga memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum pada umumnya yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam konteks tersebut, yurisprudensi sebagai sumber hukum atau inspirasi hukum dapat dikatakan sangat dinamis karena merupakan respon terhadap perkara-perkara nyata yang dihadapi masyarakat. Keputusan-keputusan peradilan Agama memang tidak meliputi semua aspek pemikiran hukum Islam sebagaimana halnya dengan fikih, akan tetapi dari segi kekuatan hukumnya ia lebih mengikat terutama bagi pihak-pihak yang telah berperkara.
Selain itu yurisprudensi juga dapat dikategorikan sebagai fatwa hakim yang mempunyai integritas keilmuan yang tidak diragukan. Oleh karena itu, yurisprudensi merupakan hasil ijtihad seorang hakim sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Yurisprudensi dalam kategori ini, di antara cirinya ialah bersifat kasuistik, karena merupakan respon atau jawaban atas kasus yang diajukan oleh pencari keadilan.
Dalam kaitannya dengan pengembangan yurisprudensi dapat dilakukan melalui fatwa. Namun demikian, fatwa tidak mempunyai daya ikat dan daya paksa, dalam arti bahwa yang meminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya. Demikian pula masyarakat luas tidak harus terikat dengan fatwa itu, karena fatwa seorang ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dengan fatwa ulama lain di tempat yang sama. Biasanya fatwa cenderung bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi oleh orang atau kelompok yang meminta fatwa. Isi suatu fatwa belum tentu dinamis, akan tetapi sikap responnya itu sekurang-kurangnya dapat dikatakan dinamis. Meskipun fatwa itu dikeluarkan secara kasuistik, namun sejumlah fatwa dari ulama besar atau lembaga keagamaan dan hukum telah dibukukan, akan tetapi sistematikanya tetap berbeda dengan fikih.
Dalam catatan sejarah, pelaksanaan pemberian fatwa dimulai sejak agama Islam meluaskan wilayah pengaruhnya pada abad ke 7 dan ke 8. Kaum muslimin menghadapi berbagai persoalan yang membutuhkan penyelesaian hukum terhadap persoalan-persoalan baru dengan cepat. Bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, umumnya mereka menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi melalui lembaga peradilan atau hakim-hakaim yang dapat menyelesaian persoalannya. Akan tetapi bagi meraka yang tinggal jauh dari kota-kota besar, baisanya dalam menyelesaikan persoalannya cukup bertanya atau meminta fatwa kepada orang yang dianggap pintar.
Kaitannya dengan pengembangan yurisprudensi, hakim mempunyai peranan yang penting dan strategis. Tentunya hakim dalam hal ini adalah hakim dalam lembaga peradilan secara fungsional. Dikatakan demikian karena hakim dalam melaksanakan tugas-tugasnya senantiasa berhadapan dengan kasus-kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kasus-kasus yang terjadi di masyarakat (baca; yang diajukan kepada hakim) tidak semua mempunyai ketentuan hukum secara normatif dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi adakalanya bahkan di antara kasus-kasus yang diajukan pada hakim banyak yang tidak mempunyai dasar hukum secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang. Terhadap kasus-kasus yang demikian inilah hakim mempunyai tanggung jawab dan dituntut untuk berijtihad sesuai dengan ilmunya. Ijtihad atau fatwa hakim dalam memberikan putusan terhadap suatu kasus yang tidak mempunyai dasar hukum dalam Undang-Undang itulah yang kemudian disebut dengan istilah yurisprudensi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi hakim (tentunya termasuk hakim peradilan Agama) yang penting adalah mengembangkan yurisprudensi. Oleh karena itu, yang paling penting bagi hakim dalam mengembangkan yurisprudensi adalah kemampuan hakim itu sendiri. Dalam artian bahwa hakim hendaknya mempunyai integritas keilmuan yang diandalkan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan yurisprudensi.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. II; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998). Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama : Kumpulan Tulisan (Cet. I; Jakarta : raja Grafindo Persada, 1997). Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama (Jakarta: INIS, 1993). Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Cet. I; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997). Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh mazhab Negara (Cet. I; Yogyakarta : LKIS, 2000).