Hukum Islam pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Pada: June 23, 2012
Sepeninggal Nabi saw, wilayah kekuasaan Islam semakin melebar, bahkan sudah melintasi jazirah Arab, sehingga banyak penduduk dari berbagai negara atau daerah memeluk Islam, dengan keragaman adat istiadat yang mereka anut. Hal ini pulalah yang merupakan tantangan dunia Islam ketika itu. Di samping itu, muncul pula berbagai peristiwa yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk persoalan khalifah sebagai persoalan pertama muncul setelah wafatnya Nabi. Selain itu, muncul para pembangkang zakat dan orang-orang murtad, terjdi perang saudara, dan usaha pengumpulan Al-Quran menjadi satu mazhaf. Persoalan-persoalan ini menimbulkan peredebatan di kalangan sahabat dalam proses penyelesaiannya.
Sumber Hukum dan Kewenangan Tasyri’.
Pertumbuhan dan pembinaan hukum Islam pada masa Nabi telah meninggalkan nas-nas hukum, baik berupa ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi. Pada masa inilah dimulai upaya penafsiran terhadap nas-nas yang diterima dari Nabi, dan terbuka peluang lebih luas untuk berijtihad terhadap masalah-masalah yang belum jelas nasnya. Hal ini tampak pada upaya para sahabat dalam menafsirkan nas-nas Al-Quran dan Hadis nabi, sekaligus dijadikan sebagai pegangan dalam menafsirkan dan menjelaskan nas-nas itu. Di samping itu, mereka juga memberikan fatwa terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ditemukan nasnya secara jelas, yang selanjutnya menjadi landasan operasional dalam aktivitas ijtihad sesudahnya.
Upaya pengistinbatan hukum pada masa ini masih terbatas dalam pemberian fatwa terhadap suatu masalah yang ditemukan atau sedang terjadi. Para sahabat berusaha tidak memperluas pembahasan masalah, atau mereka tidak berijtihad dalam masalah yang belum terjadi. Oleh karena itu, fatwa-fatwa yang dapat diriwayatkan dari mereka hanya sedikit saja. Mereka pun mendasarkan fatwanya kepada Al-Quran dan Hadis Nabi.
Gambaran di atas diketahui ketika Abu Bakar menemukan suatu masalah, pertama-tama ia berusaha mencari nasnya dalam Al-Quran. Jika ditemukan, iapun memutuskan hukumnya berdasarkan nas itu. Tetapi jika tidak didapatinya nas dalam Alquran, ia beralih mencari pada hadis-hadis Nabi. Jika ditemukan, iapun memutuskan hukumnya sesuai hadis itu. Tetapi jika tidak ditemukan pula dalam hadis, maka ia menanyakan kepada sahabat yang mungkin mengetahui satu hadis mengenai hal itu. Dan jika tidak ditemukan juga, maka ia mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat untuk bermusyawarah dengan mereka. Cara ini juga ditempuh oleh sahabat-sahabat yang lain, seperti ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali. Dalam situasi di mana para sahabat menemukan suatu permasalahan yang sama sekali tidak ada nasnya, barulah mereka menggunakan kias atau ijtihad. Mereka telah menggantikan Nabi sebagai rujukan umat Islam dalam urusan-urusan yang terkait dengan hukum. Ini berarti bahwa kekuasaan menetapkan hukum, dalam arti memberi penafsiran dan fatwa adalah dipegang oleh para ulama dari kalangan mereka.
Kendati demikian, di kalangan mereka juga sering terjadi perselisihan faham dalam meninjau dan menetapkan hukum suatu masalah. Faktor-faktor perbedaan mereka ada tiga hal pokok, yaitu :
- Perbedaan mereka dalam memahami nas-nas hukum dalam Al-Quran;
- Perbedaan pengetahuan sahabat tentang hadis; dan
- Perbedaan tinjauan mereka dalam penggunaan al-ra’y.
Dengan demikian, pada priode ini mulai muncul dua aliran, yaitu ahl al-hadis dan ahl al-ra`y. Aliran pertama lebih menekankan perhatiannya kepada tekstual nas, sedangkan aliran kedua lebih menekankan pada kontekstual nas.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa sumber hukum pada masa ini ialah : (1) Alquran, (2) Sunnah, (3) Kias (al-qiyas) atau al-ra’y, termasuk dalam hal ini ijmak (al-ijma’).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Yusuf Msa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Da’wah Qawiyyah li Tajdidih bi al-Ruj’ li Mazadir al-Rla, (Mesir : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1978). al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Mesir : Dar al-Ittizad al-‘Arabi, 1967), Jilid I. T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987).