Hukum Islam pada Masa Nabi
Pada: June 23, 2012
Dalam sejarah, priode pembentukan dan pembinaan hukum Islam pada masa ini dapat dibagi atas dua priode, yaitu priode Mekah (sebelum hijrah) dan priode Medinah (sesudah hijrah).
Pada priode Mekah, Nabi memprioritaskan pembinaannya dalam masalah akidah atau keimanan. Prioritas ini ditempuh oleh Nabi karena melihat bangsa Arab ketika itu masih berada dalam kondisi krisis akidah yang cukup serius.
Sebagaimana yang populer dalam sejarah Islam bahwa di sekeliling Ka’bah, terdapat sekitar 360 berhala. Kondisi inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad belum mengadakan pembinaan dalam hal yang berkenaan dengan sosial kemasyarakatan (muamalah). Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat turun di saat itu, umumnya berkenaan dengan masalah akidah.
Sedangkan ayat-ayat yang turun pada priode Madinah, umumnya berkenaan dengan masalah sosial kemasyarakatan. Makanya hukum-hukum seperti perkawinan, kewarisan, perang dan damai, sanksi (hudud, uqubat) dan lain-lain, baru diterapkan pada priode setelah hijrah. (baca: pengertian Hudud)
Hukum (dalam arti syariat) yang dibawa oleh Nabi melalui al-Quran tidak semuanya perkara baru. Dalam artian bahwa tidak semua perkara yang akan diterapkan itu belum pernah ada, atau unsur-unsurnya belum pernah dikenal sebelumnya.
Akan tetapi, banyak tradisi atau budaya bangsa Arab yang diterima dan dikukuhkan menjadi hukum Islam. Hanya saja proses penerimaannya melalui penyaringan dan penataan agar bersesuaian dengan prinsip syariat Islam.
Tradisi-tradisi yang dimaksud, antara lain : perbudakan, qishash-diyat (dalam perkara pidana), talak, Zhihar, meminang, kewajiban membayar mahar bagi al-khatib, poligami(dalam perkara perkawinan), dan jual beli.
Sebaliknya, tradisi-tradisi bangsa Arab yang tidak bisa ditoleransi oleh hukum Islam, maka dengan tegas atau secara berangsur-angsur dihapuskan atau ditegaskan keharamannya oleh Nabi, seperti praktek riba, minum khamar, judi, dan tradisi talak yang tidak berketentuan (ber-iddah).
Dalam pada itu, metode tasyri’ pada masa Nabi dilakukan dengan mengacu pada munculnya peristiwa atau atas pertanyaan yang diajukan. Dalam kaitan ini, pada umumnya informasi langsung dari Nabi melalui petunjuk wahyu, merupakan cara penyelesaian yang sering terjadi. Namun pada saat-saat tertentu, Nabi juga sering melakukan ijtihad, atau memberikan wewenang kepada sebagian sahabat untuk memutuskan hukum yang ditemukan sendiri.
Terkadang pula beliau bermusyawarah dengan para sahabat untuk memutuskan hukum, jika hasil ijtihadnya itu benar, maka dikukuhkan oleh Allah melalui wahyu, atau jika hasil ijtihadnya kurang tepat, merekapun ditegur. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa Nabi sering terjadi penyelesaian hukum melalui ijtihad, baik oleh Nabi sendiri maupun oleh para sahabat.
Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh ijtihad pada masa Nabi. Nabi menggunakan metode qias, seperti ketika ia menjawab pertanyaan seorang wanita dari suku Juhainah tentang hukum menunaikan haji buat orang tua yang sudah meninggal (pernah bernazar).
Nabi menjawab boleh, dengan membandingkan antara kewajiban membayar utang kepada Allah dengan kewajiban membayar utang kepada sesama manusia, bahkan membayar utang kepada Allah lebih utama (H.R.al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas).
Nabi pernah berijtihad dengan bermusyawarah bersama para sahabat, seperti ketika ia akan memutuskan perkara tawanan perang Badar. Dalam persidangan, Abu Bakar mengusulkan agar para tawanan itu menebus diri, sedangkan Umar mengusulkan agar dubunuh saja. Akhirnya Nabi memutuskan sesuai dengan usulan Abu Bakr.
Adapun contoh ijtihad sahabat pada masa Nabi, antara lain disebutkan dalam riwayat bahwa ketika Nabi bersama para sahabat dalam perjalanan pulang dari perang Ahzab menuju Bani Quraizhah, beliau perintahkan kepada mereka agar salat Ashar dilakukan nanti di Bani Quraizhah, tetapi sebagian dari mereka melakukan salat diperjalanan, sedangkan sebagian lainnya tetap pada instruksi semula.
Ketika beliau mengetahui hal itu, iapun tidak mencela mereka. (baca: syarat potong tangan bagi muslim pencuri) Ijtihad Nabi serta peluang yang diberikannya kepada sebagian sahabat, pada prinsipnya mempunyai hikmah bagi perkembangan generasi berikutnya. Sikap tersebut bertujuan memberi contoh atau peluang kepada umat sepeninggalnya guna mengembangkan daya pikir mereka. Sebab, pada masanya nanti tentu mereka akan menghadapi dan menemukan permasalahan yang lebih rumit dan lebih luas lagi, sesuai dengan perkembangan zamannya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Muhammad ‘Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Atwaruh, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1970). Muhammad al-Khushari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (cet.VI; Surabaya: Maktabah Ahmad bin Nabhan, tth.). Mahmd Syaltt, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, (Mesir : Dar al-Syurq, tth.). Muhammad Qutub, Syubhat haul al-Islam, diterjemahkan oleh Alwi AS dengan judul “Jwaban Alam Pikiran Barat yang Keliru terhadap al-Islam”, (cet.II; Bandung : Diponegoro, 1987). Muhammad ‘Abd al-Jalil ‘´sa, Ijtihad al-Rasail, (Kuwait : Dar al-Bayan, 1969). Haidar Baqir dan Syafiq Bisri, Ijtihad dalam Sorotan, (cet.I; Bandung : Mizan, 1988), h. 180-181. Bandingkan Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (cet.II; Jakarta: Bulan Bintang, 1987). Muhammad ‘Ali al-Sayis, op.cit., h. 34. Juga Muhammad Isma’il Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al-Tasyri’, (cet.I; Bairt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1977). Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Bandung : Syirkah al-Ma’arif, tth.), Jilid I. Muhammad Musa Uwana, al-Ijtihad wa Mada Hajatina ilaih fi hadza al-‘Ashr, (Mesir : Dar al-Kutub, 1972). Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Bairut : Dar al-Fikr, 1973), Jilid II
Pada priode Mekah, Nabi memprioritaskan pembinaannya dalam masalah akidah atau keimanan. Prioritas ini ditempuh oleh Nabi karena melihat bangsa Arab ketika itu masih berada dalam kondisi krisis akidah yang cukup serius.
Sebagaimana yang populer dalam sejarah Islam bahwa di sekeliling Ka’bah, terdapat sekitar 360 berhala. Kondisi inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad belum mengadakan pembinaan dalam hal yang berkenaan dengan sosial kemasyarakatan (muamalah). Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat turun di saat itu, umumnya berkenaan dengan masalah akidah.
Sedangkan ayat-ayat yang turun pada priode Madinah, umumnya berkenaan dengan masalah sosial kemasyarakatan. Makanya hukum-hukum seperti perkawinan, kewarisan, perang dan damai, sanksi (hudud, uqubat) dan lain-lain, baru diterapkan pada priode setelah hijrah. (baca: pengertian Hudud)
Hukum (dalam arti syariat) yang dibawa oleh Nabi melalui al-Quran tidak semuanya perkara baru. Dalam artian bahwa tidak semua perkara yang akan diterapkan itu belum pernah ada, atau unsur-unsurnya belum pernah dikenal sebelumnya.
Akan tetapi, banyak tradisi atau budaya bangsa Arab yang diterima dan dikukuhkan menjadi hukum Islam. Hanya saja proses penerimaannya melalui penyaringan dan penataan agar bersesuaian dengan prinsip syariat Islam.
Tradisi-tradisi yang dimaksud, antara lain : perbudakan, qishash-diyat (dalam perkara pidana), talak, Zhihar, meminang, kewajiban membayar mahar bagi al-khatib, poligami(dalam perkara perkawinan), dan jual beli.
Sebaliknya, tradisi-tradisi bangsa Arab yang tidak bisa ditoleransi oleh hukum Islam, maka dengan tegas atau secara berangsur-angsur dihapuskan atau ditegaskan keharamannya oleh Nabi, seperti praktek riba, minum khamar, judi, dan tradisi talak yang tidak berketentuan (ber-iddah).
Dalam pada itu, metode tasyri’ pada masa Nabi dilakukan dengan mengacu pada munculnya peristiwa atau atas pertanyaan yang diajukan. Dalam kaitan ini, pada umumnya informasi langsung dari Nabi melalui petunjuk wahyu, merupakan cara penyelesaian yang sering terjadi. Namun pada saat-saat tertentu, Nabi juga sering melakukan ijtihad, atau memberikan wewenang kepada sebagian sahabat untuk memutuskan hukum yang ditemukan sendiri.
Terkadang pula beliau bermusyawarah dengan para sahabat untuk memutuskan hukum, jika hasil ijtihadnya itu benar, maka dikukuhkan oleh Allah melalui wahyu, atau jika hasil ijtihadnya kurang tepat, merekapun ditegur. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa Nabi sering terjadi penyelesaian hukum melalui ijtihad, baik oleh Nabi sendiri maupun oleh para sahabat.
Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh ijtihad pada masa Nabi. Nabi menggunakan metode qias, seperti ketika ia menjawab pertanyaan seorang wanita dari suku Juhainah tentang hukum menunaikan haji buat orang tua yang sudah meninggal (pernah bernazar).
Nabi menjawab boleh, dengan membandingkan antara kewajiban membayar utang kepada Allah dengan kewajiban membayar utang kepada sesama manusia, bahkan membayar utang kepada Allah lebih utama (H.R.al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas).
Nabi pernah berijtihad dengan bermusyawarah bersama para sahabat, seperti ketika ia akan memutuskan perkara tawanan perang Badar. Dalam persidangan, Abu Bakar mengusulkan agar para tawanan itu menebus diri, sedangkan Umar mengusulkan agar dubunuh saja. Akhirnya Nabi memutuskan sesuai dengan usulan Abu Bakr.
Adapun contoh ijtihad sahabat pada masa Nabi, antara lain disebutkan dalam riwayat bahwa ketika Nabi bersama para sahabat dalam perjalanan pulang dari perang Ahzab menuju Bani Quraizhah, beliau perintahkan kepada mereka agar salat Ashar dilakukan nanti di Bani Quraizhah, tetapi sebagian dari mereka melakukan salat diperjalanan, sedangkan sebagian lainnya tetap pada instruksi semula.
Ketika beliau mengetahui hal itu, iapun tidak mencela mereka. (baca: syarat potong tangan bagi muslim pencuri) Ijtihad Nabi serta peluang yang diberikannya kepada sebagian sahabat, pada prinsipnya mempunyai hikmah bagi perkembangan generasi berikutnya. Sikap tersebut bertujuan memberi contoh atau peluang kepada umat sepeninggalnya guna mengembangkan daya pikir mereka. Sebab, pada masanya nanti tentu mereka akan menghadapi dan menemukan permasalahan yang lebih rumit dan lebih luas lagi, sesuai dengan perkembangan zamannya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan: Muhammad ‘Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Atwaruh, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1970). Muhammad al-Khushari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (cet.VI; Surabaya: Maktabah Ahmad bin Nabhan, tth.). Mahmd Syaltt, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, (Mesir : Dar al-Syurq, tth.). Muhammad Qutub, Syubhat haul al-Islam, diterjemahkan oleh Alwi AS dengan judul “Jwaban Alam Pikiran Barat yang Keliru terhadap al-Islam”, (cet.II; Bandung : Diponegoro, 1987). Muhammad ‘Abd al-Jalil ‘´sa, Ijtihad al-Rasail, (Kuwait : Dar al-Bayan, 1969). Haidar Baqir dan Syafiq Bisri, Ijtihad dalam Sorotan, (cet.I; Bandung : Mizan, 1988), h. 180-181. Bandingkan Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (cet.II; Jakarta: Bulan Bintang, 1987). Muhammad ‘Ali al-Sayis, op.cit., h. 34. Juga Muhammad Isma’il Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al-Tasyri’, (cet.I; Bairt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1977). Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Bandung : Syirkah al-Ma’arif, tth.), Jilid I. Muhammad Musa Uwana, al-Ijtihad wa Mada Hajatina ilaih fi hadza al-‘Ashr, (Mesir : Dar al-Kutub, 1972). Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Bairut : Dar al-Fikr, 1973), Jilid II