Kebolehan Asuransi dari Sisi Ijtihad
Pada: June 22, 2012
Ijtihad yang bersistem sesuai ketentuan syara’ yakni; pertama dicari dasarnya dalam Al-Quran, kalau tidak ditemukan dalam Al-Quran, diusahakan dicari dalam sunnah. Jika di dalam Al-Quran dan sunnah tidak ditemukan ketentuan sesuatu hukum, maka diperlukan sumber hukum ijtihad lain, yakni ijma, qiyas, serta kaidah-kaidah lain misalnya mashalah, istihsān, ‘urf, sad al-syarī’ah dan selainnya.
Karena dalil tentang asuransi tidak ditemukan nashnya secara sarīh dan qat’īy dalam Al-Quran maupun hadis, ijma dan qiyas, maka menurut penulis bahwa persoalan asuransi tersebut terlebih dahulu harus ditinjau dari aspek filosofisnya berdasarkan prinsip mashlahah. Dalam hal ini, jika masyarakat menjadi peserta asuransi dengan filosofi niat memperoleh keuntungan dari nilai barang yang diasuransikan, apalagi jika yang diasuransikan adalah jiwa, maka jelas rambu-rambu syariat tidak memperbolehkannya, sebab di dalamnya ada unsur riba dan spekulasi, yang keduanya dilarang keras oleh syariat.
Tetapi, jika asuransi dilandaskan pada fiolofi kegotongroyongan untuk menyiapkan dana guna menolong siapa saja dari peserta lain yang memperoleh musibah, maka jelas syariat membolehkannya, karena ia termasuk mashlahah (kemaslahatan bersama). Bahkan, tolong menolong dalam kebajikan merupakan ajaran luhur syariat Islam. Jadi, niatnya adalah filosofi sosial dengan melihat mashlahah-nya. Dalam QS. al-Māidah (5): 2 Allah berfirman :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Berdasarkan ayat tersebut, suatu asuransi, bagaimanapun sistemnya, baik yang bernama takāful syariah, maupun asuransi konversional, kalau tidak didasarkan pada aspek mashlahah, yakni alā al-birri wa al-taqwā maka tidak dibolehkan, karena dalam asuransi itu ada unsur spekulatif, yakni al-iśmi wa al-udwān yang bertentangan dengan asas kepastian ekonomi Islam. Tetapi, unsur spekulatif ini tidak menjadi soal jika dilandaskan pada filosofi amal sosial, karena setiap peserta tidak mendambakan secara utama memperoleh keuntungan ekonomi, melainkan semata-mata berniat untuk menolong sesamanya yang mengalami musibah, dan musibah itu sendiri tidak menentu datangnya.
Berdasar pada analisis penulis di atas, maka kelihatan bahwa asuransi menurut syariat Islam adalah sesuatu yang dibolehkan, karena ia termasuk mashlahah al-‘ammah yang sejalan dengan maqāshid al-syarī’ah dalam bidang perekonomian. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam, yakni ;
Pada prinsipnya dalam akad-akad itu boleh, sehingga ada dalil yang melarangnya.
Bahkan, selain QS. al-Māidah (5): 2 yang telah disebutkan, juga terdapat hadis Nabi saw yang mengisyaratkan kebolehan asuransi tersebut, yakni ;
Sesungguhnya lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan, daripada meninggalkan mereka menjadi tanggungan orang banyak.
Berdasar pada hadis di atas yang intinya adalah bahwa Nabi saw mengharapkan kepada pihak keluarga yang mewarisi untuk tidak memberatkan orang lain, jelas di dalamnya mengandung pentingnya mendahulukan kemaslahatan al-ammah, atau kemaslahatan orang banyak. Karena demikian halnya, tampak bahwa esensi hadis tersebut sejalan dengan tujuan asuransi yakni mengurangi resiko dan bersifat sosial, serta membawa maslahah bagi keluarga.
Dalam sisi lain, praktek asuransi sudah diperhitungkan secara matematik untung runginya bagi perusahaan asusransi dan bagi para pemegang polisnya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan secara mutlak. Hal ini, sesuai dengan asas dan prinsip hukum Islam, yakni meniadakan kesempitan dan kesukaran, serta kerusakan. Jadi, ia sesuai dengan kaidah ushul yakni :
Hukum Islam bertujuan pokok mencari kemaslahatan dan menghindari ke-rusakan atau kerugian.
Kaidah di atas, menjelaskan bahwa hukum-hukum Allah swt yang benar itu, mesti berpedoman pada adanya keseimbangan antara manfaat dan mudharat. Jika manfaatnya lebih besar, maka Allah swt akan menghalalkannya. Sedangkan jika mudharatnya lebih besar, maka Allah swt akan mengharamkannya. Karena asuransi sebagaimana yang telah penulis jelaskan bahwa lebih banyak manfaat-nya, maka praktis bahwa hukumnya adalah “mubah (dibolehkan)” menurut syariat. Dikatakan demikian karena asuransi yang sudah lama menjadi pranata ekonomi masyatakat, telah terbukti manfaatnya bagi peserta asuransi.
Dalam upaya mempertahankan statuta hukum tentang “ke-mubah-an” asuransi sebagaimana yang telah penulis tetapkan, maka sebaiknya pihak perusahaan asuransi mengambil langkah-langkah manajemen yang lebih efektif lagi, dengan tetap mendahulukan mashalah, sehingga masyarakat mengetahui dan memahami bahwa praktek asuransi adalah benar-benar sesuai dengan maqāshid al-syarī’ah yang dibolehkan menurut syariat.
Kepustakaan:
Undang-undang Hukum Dagang, dalam pasal 246. Lihat pula Wirjono Prodjodikoso, Hukum Asuransi di Indonesia (Jakarta: PT. Intermas, 1986). Marzuki Rasyid, Asuransi Ditinjau Menurut Hukum Islam dalam “Berita Resmi Muhammadiyah” (Yogyakarta: 1989). Muhammad Muhammad Muslihudiin, Insurance and Islamic Law (Lahore; Islamic Publication Limited, 19690. Faishal Manlawi, Nizām al-Ta’nibi wa Mawqif al-Syari’at Minhu (Bairūt: Dār al-Irsyād, 1988). Abd. al-Hamīd al-Hakīm, al-Bayān fī ‘Ilm al-Ushūl (Bandung: Angkasa, 1989). Abu ‘Abdullah bin Mugīrah al-Bardizbah al-Bukhāriy, Shahih al-Bukhāri dalam “CD Rom Hadis”, kitab al-Wisāyah nomor 2537.