Rumusan Ijtihad Fazlur Rahman
Pada: June 07, 2012
Sebagai mujtahid, maka Fazlur Rahman senantiasa merujuk pada dalil-dalil nas, yakni Alquran, dan hadis atau sunnah. Menurut Fazlur Rahman bahwa dalil-dalil nas ini pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip dan petunjuk yang bersifat keagamaan dan moral. Di samping itu, Fazlur Rahman juga merujuk pada sumber hukum lainnya, terutama ijma’ dan termasuk qiyas. Namun qiyas menurutnya, berisi upaya merumuskan illat hukum dan upaya menetapkan ada atau tidak adanyaa keasamaan illat hukum dalam suatu peristiwa tertentu.
Antara ijma dan qiyas, yang walaupun keduanya juga merupakan sumber hukum setelah Alquran dan hadis memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam menentukan suatu hukum. Mayoritas ahli ushul fiqh setelah al-Syafi’i mengartikan ijma’ sebagai “kesepakatan ulama atau mujtahid mengenai suatu hukum Islam”. Misalnya al-Syairāzi (476 H) mengartikan ijma’ sebagai “kesepakatan ulama mengenai hukum suatu peristiwa”, al-Ghazali (w. 505 H) mengartikan ijma’ sebagai “kesepakatan umat Muhammad mengenai urusan tertentu agama Islam”.
Dalam pandangan Fazlur Rahman, konsep ijma’ dapat dilihat dari dua masa yakni, sebelum dan sesudah al-Syafi’i. Pada masa-masa awal ijma’ merupakan kesepakatan (konsensus) masyarakat. Hal ini ia buktikan dengan beberapa data yang menyatakan bahwa pada saat itu tidak hanya ada satu praktik yang berkembang dan yang mereka sepakati, dan bukanlah kesepakatan bulat yang menisbikan setiap kemungkinan perbedaan.
Sebagaimana halnya mayoritas ahli ushul fiqh, Fazlur Rahman mengakui otoritas ijma’ sebagai hujjah (dasar) hukum Islam, namun menurut Fazlur Rahman otoritas tersebut bersumber dari kesepakatan atau konsensus bersama itu sendiri, sehingga bilamana konsensus tersebut sudah tidak diakui lagi oleh mereka, hilanglah otoritas hujjahnya. Selain itu konsep otoritas ijma’ Fazlur Rahman membuka kesempatan timbulnya ijma’-ijma’ lain dengan otoritas hujjah yang sama kuatnya dengan ijma’ yang telah ada lebih dulu. Sementara mayoritas ahli ushul fiqh berpendapat bahwa hujjah ijma’ sebagai dasar hukum bersumber dari dalil syar’i sehingga ia harus diikuti dan haram berselisih dengannya.
Sedangkan qiyas, pembahasan Fazlur Rahman tentangnya selalu dikaitkan dengan ijtihad, dan merupakan prinsip dan proses pembentukan hukum Islam. Hal ini selaras dengan pandangannya mengenai Alquran dan sunnah Nabi yang keduanya dipandang sebagai ajaran-ajaran hukum setengah jadi (quasi laws) yang tidak berarti harus diterapkan secara harfiyah. Ajaran hukum yang setengah jadi tersebut memerlukan upaya “pembentukan” hingga menghasilkan hukum yang sesungguhnya. Prinsip pembentukan ini ia namakan ijtihad, sedang proses pembentukannya melalui proses interaksi pendapat di masyarakat sehingga terkristal menjadi opini publik atau ijma’. Demikianlah konotasi Fazlur Rahman tentang qiyas. Ibaratnya bahwa qiyas merupakan prinsip dan proses pembentukan hukum Islam harus selaras dengan penetapan hukum Islam menjadi perundang-undangan.
Penetapan qiyas ini merupakan wewenang bagi setiap individu dan merupakan upaya menghubungkan dua proses pembentukan hukum Islam yang selama ini terabaikan dalam mayoritas literatur ushul fiqh. Prinsip penerapan hukum yang dikembangkan dalam mayoritas literatur ushul fiqh adalah prinsip ifta’ (penyampaian fatwa).
Qiyas termasuk metode ijtihad, yang oleh Minhajuddin, mengistilahkannya sebagai “الإجتهاد القياس” yaitu menganalogikan hukum yang disebut dalam nash kepada masalah baru yang belum ada hukumnya, karena adanya persamaan illat. Latar belakang munculnnya qiyas sebagai metode ijtihad adalah karena adanya masalah-masalah yang dihadapi umat yang tidak ada dalilnya secara tegas, tetapi masalah-masalah tersebut memiliki persamaan illat dengan dalil-dalil atau nas-nas tersebut.
Fazlur Rahman dalam menetapkan hasil ijtihadnya, memang banyak berbicara tentang hukum yang dalam penerapannya tetap sejalan metode qiyasi. Namun Fazlur Rahman tidak menguraikan secara lengkap esensi qiyas itu sendiri, urgensi qiyas, syarat-syarat untuk melakukan qiyas, kedudukan qiyas dengan ijma’, dan lain-lainnya. Dalam kaitan ini, maka Fazlur Rahman tidak menampilkan contoh qiyas dalam berbagai karyanya, namunbukan berarti bahwa ia tidak mengakui qiyas sebagai metode ijtihad yang dapat dijadikan hujjah, tetapi justru Fazlur Rahman menganggap bahwa qiyas adalah sesuatu hal yang wajib, bilamana ada hukum (syariat) yang tidak jelas statusnya dan menuntut adanya dalil untuk memperkuat hukum tersebut.
Referensi Makalah®
*Berbagai Sumber