Wanita Sebagai Kepala Negara dalam Pendekatan Sejarah
Pada: June 25, 2012
Kepala negara menurut penulis dalam referensi makalah ini adalah pemangku jabatan atau kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang bertanggung jawab terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyatnya dalam negara itu. Oleh karenanya, yang dimaksud dengan kepala negara wanita di sini adalah wanita yang memegang jabatan kepala negara, baik sebagai presiden seperti dalam bentuk dan sistem pemerintahan negara demokrasi, atau ratu dalam monarchi, atau sesamanya.
Dalam pendekatan kesejarahan telah terbukti adanya gelombang gerakan status wanita dalam kehidupan masyarakat. Secara kategoris, dapat disederhanakan atas tiga tahapan sejarah pergerakan wanita menuju emansipasinya di segala sektor kehidupan. Ketiga tahapan sejarah ini diuraikan oleh Munawar Khalil sebagai berikut :
Pertama : Menghinakan, ialah pada waktu golongan wanita pada umumnya dipandang sebagai makhluk bangsa hewan/binatang, bahkan lebih rendah dari binatang dan tempo-tempo nasibnya seperti barang dagangan yang dijual di pasar-pasar, pula dianggap sebagai sampah. Paling mujur dan paling untuk dipandang jadi pelayan lelaki, yang demikian itu tidak mempunyai hak kemanusiaan.
Kedua : Mendewakan, ialah pada waktu golongan wanita dipandang sebagai maha dewi yang dipuja dan dipuji, dimuliakan dan dihormati, tetapi untuk memuaskan hawa nafsu birahi kaum lelaki semata-mata. Pada priode kedua ini sekalipun mereka sudah mulai mendapatkan keleluasaan atau kebebasan hak selaku makhluk bangsa manusia, tetapi tingkatan mereka itu hanya sekedar manusia belaka, tidak lebih dari alat untuk melepaskan nafsu birahi kaum lelaki, memuaskan syahwat dan penghibur hati kaum lelaki bangsawan dan hartawan belaka, yang akhirnya, dengan demikian itu keadaan kaum wanitapun sebagai sampah juga, habis manis sepah dibuang.
Ketiga : Menyamaratakan, ialah pada masa belakangan ini yang disebut zaman kemajuan, masa pembangunan, golongan wanita dipersamakan 100 prosen dengan lelaki. Wanita harus merdeka, bebas dari semua ikatan, harus sama tingkatannya dan segala sesuatu dengan lelaki.
Pada awal tahapan sejarah umat Islam, tampak jelas kaum wanita belum mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia. Bahkan Alquran menggambarkan begitu jelas sikap kebencian dan kehinaan bangsa Arab manakala melahirkan seseorang bayi wanita sehingga tidak segan-segan membunuhnya, karena kaum wanita dianggap aib dan sumber malapetaka. Refleksi dari kondisional kesejarahan wanita pada tahap awal perkembangan Islam, memberikan petunjuk kuat tentang rendahnya martabat kaum wanita sehingga belum pantas untuk menjadi pemimpin dalam kelompok kecil. Dengan pendekatan kesejarahan tersebut, maka para ulama telah menyepakati ketidakbolehan bagi wanita untuk menduduki jabatan kepala negara. Pandangan ulama yang dimaksud, diungkapkan oleh T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy:
Tidak boleh seorang wanita diangkat menjadi kepala negara; tidak boleh orang kafir; tidak boleh anak kecil yang belum sampai umur dan tidak boleh yang.
Pemikiran ini sangat dipengaruhi kondisional kesejarahan wanita, di mana pada zaman awal perkembangan hukum Islam, wanita belum mempunyai kecakapan yang dapat melebihi kemampuan laki-laki dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pandangan ulama yang melarang wanita untuk menduduki jabatan kepala negara ini selanjutnya disebut golongan pertama.
Setelah gerakan wanita mengalami suatu loncatan pemikiran yang membawa perubahan kualitas kehidupannya, baik di bidang sosio-politik maupun sosio-ilmiah sehingga wanita sudah berhak untuk berkumpul dan berserikat dalam berbagai kegiatan organisasi sosial. Pada tahapan kondisional kesejarahan ini telah membuka babakan baru bagi gerakan wanita untuk hidup dengan layak bagi kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada tahapan ini ulama pun mengalami perkembangan pemikiran dengan membolehkan wanita menjadi pemimpin dalam batas-batas tertentu, sebagai penghormatan terhadapnya. Terutama yang berkaitan dengan penghormatan hak-hak wanita. Dalam konteks ini, Marcel A.Boisard, mengatakan bahwa :
Sikap menghargai kepada progresif wanita adalah sangat fundamental sehingga seorang ahli hukum Islam pada zaman dahulu memutuskan bahwa pada tiap-tiap kota Islam harus diangkat seorang hakim wanita yang diberi tugas untuk mengawasi secara resmi penghormatan hak-hak wanita.
Bahkan perkembangan pemikiran yang telah mengiringi perkembangan hak-hak gerakan wanita untuk mendapatkan persamaan pelayanan hukum sehingga wanita dibolehkan turut serta dalam aktivitas politik pemerintahan.
Dengan kemajuan pemikiran ulama yang seperti tersebut di atas, maka peluang wanita semakin terbuka untuk meraih prestasi, baik dalam ilmu pengetahuan maupun politik, termasuk menjadi pemimpin suatu organisasi atau kepala negara. Bahkan lebih jauh lagi, Abul A`la al-Maududi menguraikan suatu langkah maju bagi wanita di dalam bidang sosio-politik untuk turut serta di dalam aktivitas sebagai wakil wanita dalam suatu majelis, bahwa :
..., harus ada majelis tersendiri yang terdiri atas wanita-wanita yang dipilih oleh wanita saja, yang kepada mereka para pembuat undang-undang yang harus berkonsultasi dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan kesejahteraan wanita, dan yang memiliki juga hak penuh untuk mengupas masalah-masalah yang berhubungan dengan kesejahteraan umum manusia.
Gerakan wanita yang telah sukses di bidang persamaan pelayanan sosio-politik dan sosio-ilmiah, tidaklah berhenti sampai di situ, tetapi gerakan wanita ini semakin berkesinambungan untuk mendapatkan hak-hak asasi yang sederajat dengan laki-laki dalam semua bidang kehidupan masyarakat. Aktivitas gerakan wanita ini semakin populer dan lebih dikenal dengan istilah emansipasi wanita dan persamaan hak wanita dengan laki-laki. Persamaan hak-hak asasi ini semakin terasa gemanya dengan tampilnya beberapa organisasi wanita dan munculnya sejumlah pemimpin-pemimpin wanita yang membawahi kaum laki-laki.
Perkembangan pelayanan persamaan di bidang sosio-politik dan sosio-ilmiah merupakan refleksi dari gerakan emansipasi wanita. Perbedaan kondisional kesejarahan wanita telah membawa suatu perubahan dan kemajuan sehingga tidaklah mengherankan kaum wanita sudah berani tampil di puncak pimpinan sebagai kepala negara. Keberanian wanita untuk tampil sebagai kepala negara telah mendapat dukungan dari ulama, setidaknya Abul A`la al-Maududi, bahkan ikut serta melakukan kampanye itu.
Dari uraian di atas memberikan petunjuk kuat bahwa pendekatan historis telah mempengaruhi pandangan ulama tentang kedudukan wanita sebagai kepala negara. Atau kemajuan gerakan kesejarahannya telah mengubah pula status wanita di bidang sosio-politis dan sosio-ilmiah kepada kondisi yang lebih baik untuk turut serta bersama-sama kaum laki-laki dalam memikirkan negara dan bangsanya, termasuk untuk menduduki jabatan kepala negara.
Kepustakaan:
Moenawar Khalil, Nilai Wanita, (cet.III; Solo : Ramadhani, 1977). M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Fiqh Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978). Marcel A.Boisard, L Humanisme de L Islam, terjemahan H.M.Rasjidi "Humanisme dalam Islam", (cet.I; Jakarta : Bulan Bintang, 1980). Edward Mortimer, Faith and Power : The Politics of Islam, terjemahan Enan Hadi dan Rahmani Astuti, "Islam dan Kekuasaan", (cet.I; Bandung : Mizan, 1984), h. 190). Munawir Syadzali, MA, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (cet.II; Jakarta : UI-Press, 1990).