Pendapat Teolog tentang Fana'
Pada: July 27, 2012
Fana terbagi pada dua jenis, yaitu fana di dalam esensi sebagaimana lenyapnya es di dalam air. Dan fana di dalam sifat, sebagaimana enyapnya besi di dalam api. Pada peristiwa pertama, maka abdi akan menjadi Dia (hu-hu); pada yang kedua, ia menjadi seperti Dia ( ka anna hu-hu).
Kembali pada persoalan semula, fana’ dan baqa’ menjadi perbincangan kalangan sufi sejak abad ke 9 (ke-3H). Orang yang diduga pertama kali mengunakan lafazd fana’ dengan pengertian sufi adalah Abu Yazid al-Busthamiy. Di samping itu ada juga yang menisbahkannya kepada Zun Nun al-Mishriy sebagai gurunya.
Mengenai pemikiran fana’ ini ada yang mengatakan bahwa mulanya berasal dari India lewat persia. Kemudian masuk dunia Islam. Ada pula yang menyebutkan bahwa Abu Yazid memindahkan teori fana’ dari Ali al-Sindi lewat pengajaran thariqah Hindu. Sementara yang lain memperkirakan kemungkinan unsur-unsurnya dari kebudayaan luar kemudian membentuk dirinya dalam Islam.
Ada kecendrungan banyak teolog pada pandangan terakhir dengan pertimbangan bahwa fana’ muncul setelah terjadinya kontak antara umat Islam dengan non muslim dalam berbagai aspek termasuk tasawwuf. Yang jelas kata Abdul kadir Mahmud bahwa teori fana’ diambil dasarnya oleh Abu Yazid dari ajaran Hindu Budha mengenai akidah (al-Wahdaniyah) atau (monism) yang di dalamnya terkandung pemikiran al-Zabana Wa al-Samasiy” (Dhayana And Samadhi).
Dalam pandangan fana’ al-Razy, Allah bersifat baqa’ dan tidak mengalami kefanaan dalam pengertian apapun. Alam ini tersusun dari dua yaitu alam materi (jisim) dan alam imateri. Dalam hal ini, yang mengalami kefanaan dalam pengertian hancur bercerai-berai lenyap sama sekali menjadi tidak ada hanya alam jasim (materi). Kefana’an di sini dipahami sebagai perubahan dari bentuk tertentu menjadi bentuk lain yang tidak bisa diamati (indera) paling jauh. Itu artinya bahwa terjadi perubahan dari materi ke imateri bukan lenyap menjadi tiada (nothing atau ’adam).
Menurut al-Junaidi, fana adalah hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang diihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara berganti, sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera. Dalam hal ini, Fana adalah tidak dikenalinya sifat-sifat seseorang oleh yang bersangkutan sendiri, dan baqa adalah pengenaan hal serupa sebagai sifat Tuhan. Di dalam fana, abdi tidak memiliki kesadaran tentang dirinya. Artinya bagi dirinya sendiri yang bersangkutan tidak merasa ada, tetapi ia hanya menyadari sekedar sebagai yang mewujudkan, dan perwujudan.
Jika ditinjau dari sudut akhlaq, al-Jurjani melihat fana’ itu sebagai gugurnya sifat-sifat tercela sebagaimana baqa’ berarti adanya sifat-sifat terpuji. Fana’ menurutnya terbagi dua yaitu; pertama, sebagai apa yang diperoleh dengan memperbanyak riyadhah. Kedua, tidak merasakan lagi adanya alam beserta isinya yaitu tenggelam dalam keagungan Tuhan dan menyaksikan-Nya.
Al-Thusy menyebutkan aspek (corak) lain yaitu yang membawa kekhususan yang bersifat positif dari al-fana’ yang disebutnya dengan al-baqa’. Menurutnya, bahwa fana’nya kebodohan baqa’nya ilmu, fana’nya maksiat baqa’nya taat, fana’nya kelupaan, baqa’nya zikir (ingat), fana’nya penglihatan gerakan-gerakan hamba untuk baqa’nya penglihatan bagi ‘inayah Allah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibrahim Basyuni, Nash’ah’ al-Islami (Kairo : Daar al-Ma’rifah, 1969).