Pengertian Al-Tamanni; Jenis dan Penggunaannya
Pada: July 07, 2012
Segi bahasa Al-Tamanni berarti merancang/ merencanakan sesuatu dan ingin mendapatkannya, juga dapat berarti membuat perkatan seperti ungkapan تمنى الحديث artinya ia membuat perkataan/pembicaraan Ibnu Manzur menulis beberapa arti al-Tamanniy secara lugawi antara lain; meminta, membaca (kitab), merencanakan sesuatu dan ingin memperolehnya, dan berkata bohong.
Adapun pengertian secara istilah adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi. Kemustahilan tersebut secara alamiah memang mustahil atau dapat terjadi tapi mendapatkannya tidak mungkin. Sebaliknya jika yang diinginkan tersebut mungkin dicapai, dinamakan tarajji/ raja’. Dengan ungkapan lain, dalam bahasan ilmu Balagah, al-Tamanniy disyaratkan tidak terdapat kemungkinan berhasil/tercapai apa yang diinginkan, jika kemungkinan dapat dicapai atau terjadi, ia tidak termasuk al-Tamanniy akan tetapi disebut al-Tarajji.
Al-Tamanniy dalam pembahasan Ilmu Balagah adalah mengharapkan atau menginginkan sesuatu yang mustahil, misalnya seseorang di masa tuanya mengharap jadi muda kembali atau mengharap sesuatu yang secara alamiah dapat terjadi tetapi karena tidak terdapat tanda-tanda atau usaha ke arah yang dinginkan, seperti seseorang berkata “seandainya saya pintar” padahal tidak pernah berusaha belajar. Contoh kedua ini seperti disebutkan dalam syair yang telah populer di kalangan pelajar:
ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها *** ان السفينة لا تجرى على اليبسEngkau mengharapkan kesuksesan sedang engkau tidak menempuh jalannya, ingatlah sesungguhnya perahu tidak berjalan di atas pasir (tempat kering)
Al-Tamanniy memiliki 4 adat (huruf a dibaca panjang), baik yang asli maupun yang bukan asli. Adat yang asli adalah ليت sedangkan yang tidak asli tetapi dapat berfungsi sebagaimana ليت berdasarkan tujuan balagah adalah هل – لو – لعل. Penggunaan 4 adat al-Tamanniy tersebut dan penjelasannya sebagai berikut:
ليت sebagaimana Ibnu al-Rumi menulis tentang bulan Ramadhan dengan menggunakan:
فليت الليل فيه كان شهرا ومرنهاره مرالسحاب“Alangkah baiknya jika satu malam bulan Ramadhan lamanya sebulan, sedangkan siangnya berjalan secepat awan”.
Syair di atas sipengucapnya menginginkan malam-malam di bulan Ramadhan lebih panjang agar leluasa makan dan minum waktunya lebih lama, sedangkan siangnya biarlah berlalu cepat agar menahan lapar dan haus tidak lama. Syair ini menggambarkan orang yang tidak menyukai menjalankan ibadah puasa.
Secara khusus lafdz ليت disebut 14 kali di dalam al-Qur’an yang mengandung makna mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi. Diantara contoh penggunaan ليت dalam al-Qur’an antara lain, Q.S Al-Naba’/78 ayat 40:
إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًاSesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah."
Ayat ini menerangkan orang kafir dan suka melanggar perintah Allah swt. ketika mendapat siksa berat pada hari kiyamat ingin seandainya dirinya menjadi tanah saja, karena dalam pikirannya menjadi tanah tidak akan merasakan siksa.
هل sebagaimana firman Allah swt QS. Al-Mukmin/40 ayat 11 sebagai berikut:
قالوا ربنا امتنا اثنتين واحييتنا اثنتين فاعترفنا بذنوبنا قهل الى خروج من سبيلMereka menjawab: “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)”.
Ayat tersebut menerangkan penggunanaan istifham yang mengandung arti al-Tamanniy. Ayat ini juga menggambarkan pengakuan dan penyesalan orang yang mengalami siksa di neraka agar dikembalikan saja ke dunia sehingga tidak melakukan kejahatan dan kedurhakaan seperti yang dilakukan sebelumnya. Namun permintaan tersebut sesuatu yang mustahil karena memang mustahil kembali ke dunia sesudah mati.
لو sebagaimana Jarir menulis:
ولى الشباب حميدة ايامه لوكان ذالك يشترى او يرجعTelah berlalu masa muda yang hari-harinya terpuji, seandainya masa itu dapat dibeli atau dapat kembali.
Syair di atas menerangkan seseorang yang menyesali masa muda yang hilang, seandainya dapat kembali ke masa muda, tetapi permintaan itu sesuatu yang mustahil.
لعل sebagaimana seorang penyair menulis:
اسرب االقطا هل من يعير جناحه لعلي الى من قد هويت اطيرWahai kawanan burung Qhata, siapakah yang mau meminjamkan sayapnya supaya aku dapat terbang pada orang yang aku cintai.
Syair di atas menjelaskan bahwa sipengucapnya menginginkan seandainya burung kawanan Qatha ada yang mau meminjamkan sayapnya agar ia dapat terbang kepada kampong kekasihnya.
Contoh-contoh di atas seluruhnya menggambarkan keinginan kepada sesuatu yang mustahil terjadi, baik mustahil secara alamiah ataupun mungkin secara alamiah tetapi mustahil mendapatkannya. Contoh-contoh di atas tampak pula makna balagah dalam al-Tamanniy yaitu pembicara menampakkan sesuatu yang diangan-angankan padahal mustahil terjadinya seakan-akan akan terwujud karena harapan dan kecintaan yang sangat kepadanya, sampai-sampai ia lupa bahwa yang diinginkan tersebut sesuatu yang mustahil.
Al-Tamanniy termasuk ke dalam kelompok pembahasan Ilmu Ma’ani. Seperti banyak ditulis para ahli, antara lain bahwa Ilmu Ma’ani cabang ilmu yang menjadi pedoman dalam menyampaikan susunan kalimat agar sesuai dengan situasi dan kondisi mukhatab, kemudian dengan pemilihan tersebut maka ia diberi nama balig. Pemilihan susunan kalimat sehingga memperoleh gelar balig dalam berbicara, tentu tidaklah berdiri sendiri, dalam arti semata-mata hanya mempelajari cabang Ilmu Ma’ani, mempraktekannya kemudian tiba-tiba menjadi balig. Gelar balig membutuhkan pengetahuan Nahw, Sharf, dan Ilmu Balagah yang salah satu sub bahasannya adalah Ilmu Ma’ani ini, disamping al-Bayan dan al-Badi’i.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Majma’ al-Lugat al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam al-Wasith, juz II (Cet. II: Istambul Turki: Al-Maktabah al-Islamiyyah, t.th). Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab ditahkik oleh Abdullah Ali al-Kabir, Muhammad Ahmad Hasbullah dan Hasyim Muhammad al-Syazilliy (Lebanon; Dar al-Ma’arif t. th). Sayyid Ahmad al-Hasyimiy, Jawahiru al-Balagah, al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’ (Beirut; Dar al-Fikr: 1994), h. 86. Lihat pula Abdul Muta’ali al-Shaidiy, Bugyatu al-Idhah li Talkhishi al-Miftah fi Ulum al-Balagah Jilid II (Mesir Kairo; Maktabah al-Adab, 1999). Ali Jarim dan Mustafa Amin, Al-Balagah al-Wadhihah, ter. Sufyana M. Bakri, Al-Balagah al-Wadhihah (Cet. I; Bandung: Sinar baru Algesindo, 1993). Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Cet. 12 Semarang; Toha Putra, 1997), Surat al-Mukmin ayat 11. Ahmad Mustafa al-Maragi, Ulum al-Balagah: al-Bayan wa al-Ma’aniy wa al-Badi’I (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t. th.). Abdu al-Rahman Hasan habanakah al-Maidani, Al-Balagatu al-‘Arabiyyah Ususuha wa Ulumuha wa Fununuha, juz 1 (Cet. I; Beirut: Dar al-Qalam, 1996).