Pengertian Ijtihad Menurut Ulama
Pada: July 11, 2012
Pengertian ijtihad menurut bahasa adalah pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut Ibrohim Hosen, bahwa konsepsi ini sangat keliru bila kata ijtihad diterapkan pada “pengertian sesuatu yang mudah atau ringan” misalnya; dikatakan “orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat” sebab, mengangkat tongkat merupakan suatu pekerjaan mudah atau ringan yang dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa mengerahkan segala kesanggupannya.
Sedangkan kata ijtihad dilihat dari bahasa Arab adalah dari kata al-jahdu dannal-juhdu. Harun Nasution mengatakan bahwa kata tersebut dim atas berarti “daya upaya” atau usaha keras.
Dengan demikian, konsepsi ini mempunyai pengertian bahwa ijtihad berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu, dalam kaitan ini, pengertian ijtihad secara istilah bahwa kata al-jahdu dan al-juhdu adalah usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syari’at dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian.
Imam Mahdi mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni sampai dirinya merasa tak mampu mencari tambahan kemampuan.
Melaksanakan ajaran Islam yang murni yang sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis, karena di dalam ajaran Islam meru[pakan ajaran yang sempurna berjalan sesuai dengan tuntutan zaman. Sebagaimana firman Allah swt. dalam al-Quran surah al-Maaidah (5) ayat 3:
Terjemahnya:
‘ . . . pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. . .’.
Ijtihad pada zaman Rasulullah saw. belum terlalu dikenal meskipun keberadaannya tidak diingkari. Setelah Rasulullah saw. wafat, dan kekhalifaan dipegang oleh para sahabat, muncullah berbagai masalah yang pemecahannya tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis, sehingga menuntut para ulama untuk menggunakan pemikiran secara mendalam guna menyelesaikan masalah tersebut.
Untuk pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap masalah yang timbul dalam Islam, yakni siapa yang menggantikan Nabi Muhmmad saw. sebagai khalifah dan kepala negara setelah beliau wafat. Kaum Anshar berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah salah seorang dari mereka, dengan alasan merekalah yang menolong beliau ketika dikejar-kejar oleh kaum Quraisy Mekah. Sedangkan kaum Muhajirin mencalonkan dari golongannya sendiri. Keadaan tersebut hampir menyebabkan timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam.
Namun pada akhirnya pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang diwarnai dengan munculnya pergolakan di bidang politik di kalangan umat Islam, mengakibatkan lahirnya pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan kelompoknya masing-masing. Pada masa berikutnya lahirlah ulama-ulama sufisme yang ajaran-ajarannya, lebih mengutamakan kepada kehidupan zuhud. Di sisi lain muncul para ulama yang fanatik mazhab, dan menganggap bahwa semua persoalan yang dihadapi orang Islam harus diselesaikan sesuai dengan nash yang diambil dari ulama mazhab yang mereka yakini.
Dengan demikian, taklid-lah yang menyebabkan pemikiran umat Islam terhenti dan hal ini sangat disayangkan karena umat Islam akan berada dalam kegelapan, di mana umat Islam tidak mau lagi mempergunakan pemikiran dan mengkaji ajaran yang terkandung dalam al-Quran. Padahal di dalam al-Quran itu sendiri terdapat ilmu pengetahuan baik dalam bidang politik, kedokteran dan lain-lain, yang membutuhkan otak yang cerdas serta kemauan yang keras untuk menafsirkannya.
Olehnya itu untuk menghindari adanya taklid buta tersebut umat Islam harus lebih mengkaji ajaran yang terkandung dalam al-Quran dan tidak mengikuti pendapat orang lain yang telah dianggap baik, padahal dengan berkembangnya kemajuan, mka akan lebih dibutuhkannya ijtihad, karena dengan adanya ijtihad, maka pemikiran umt Islam tidak akan terhenti.
Kepustakaan:
A. Munir, Aliran Modern Dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1994).Kumpulan Tulisan, Kontraversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989).