Sejarah Lahir dan Konsekuensi Postmodernisme
Pada: July 25, 2012
Postmodern sering didefinisikan sebagai krisis modernisme atau krisis yang disebabkan oleh modernisasi. Postmodern muncul karena budaya modern menghadapi suatu kegagalan dalam strategi visualisasinya. Kegagalan modernisasi bukan terletak pada tekstualitasnya tetapi pada strategi visualisasinya yang seragam dan membosankan. Jika sebelumnya budaya ‘barat’ didominasi oleh budaya verbal maka kini budaya visual menggantikannya. Program aplikasi komputer yang sebelumnya banyak menggunakan bahasa verbal dan sulit dihafal, kini bahasa gambar atau ikon banyak digunakan sebagai pengganti bahasa tersebut dan ternyata mudah dipahami.
Fucault, seorang tokoh pemikir radikal postmodernisme mengatakan bahwa budaya itu dikonstruksi oleh subjeknya (manusia) yang bebas, tidak lagi oleh agama dan masyarakat. Intinya ialah kebebasan. Inilah semangat yang tampak akhir-akhir ini setelah modernisme. Dua aliran utamanya ialah dekonstruksionisme dan relativisme.
Semangat postmodernisme mencoba mendekonstruksi kembali konstruksi-konstruksi yang ada namun tanpa memberikan konstruksi yang baru sebagai alternatif, karena bagi kaum postmodernisme segala sesuatu adalah relatif, atau di dunia ini tidak ada yang mutlak. Suatu konstruksi (baik konstruksi pemikiran) akan terus dipertanyakan tentang kebenarannya, dan bisa berubah-ubah setiap saat, karena mustahil menemukan kebenaran yang hakiki.
Gambarannya realnya bisa diungkapkan dalam berbagai contoh sebagai berikut: apakah mencuri itu salah, tentu akan dijawab relatif, tergantung penilaian masing-masing. Apakah aborsi itu salah, akan dijawab relatif, tergantung siapa yang menilai. Intinya ialah, jawaban dikembalikan kepada masing-masing individu, salah atau benar kembali kepada pertimbangan individu. "Jangan Anda paksakan kebenaran Anda pada orang lain, kebenaran Anda belum tentu benar menurut saya." Demikianlah gejala relativisme.
Berdasarakan keterangan di atas, kembali penulis pertegas bahwa lahirnya postmodernisme terlepas dari sifatnya yang dekonstruktif atau revisioner adalah sebuah respon terhadap kegagalan modernism serta konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya.
Di antara berbagai konsekuensi negatif dari modernism itu adalah; pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek-obyek, spiritual-material, manusia-dunia, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan penguasaan alam semena-mena, sehingga terjadilah krisis ekologi. Kedua, cenderung menjadikan manusia seolah-olah obyek juga dan masyarakatnya pun direkayasa bagaikan mesin sehingga masyarakat bersifat tidak manusiawi. Ketiga, dalam modernism, ilmu-ilmu positif-empiris menjadi standar kebenaran tertinggi sehingga nilai-nilai moral-religius kehilangan wibawa. Keempat, materialism, yang kemudian berujung pada konsekuensi kelima, yaitu militerisme dan tribalisme atau mentalitas yang mengunggulkan suku dan kelompok sendiri.
Puncak dari era pencerahan atau modernisme adalah kejenuhan akal budi manusia. Ternyata akal budi bukanlah segala-galanya yang dapat menjadi tumpuan harapan manusia. Akal budi bukanlah Tuhan yang memiliki nilai kekekalan. Akal budi hanya akan membawa manusia kepada kegilaan. Intelektualitas yang menjadi kebanggaan dan kesombongan manusia hanya bagai embun pagi yang akan sirna ketika matahari bersinar terang. Akal budi manusia hanya seperti sebutir pasir yang kecil bila dibandingkan dengan dunia ini.
Kejenuhan rasional atau akal budi adalah merupakan latar belakang lahirnya era postmodern. Pada era postmodern akan terjadi pertentangan antara natur dan kultur, fakta dan nilai, ideal dan realistis. Dalam kejenuhan rasional paradigma antropologis menjadi alternatif yang terbaik. Filasafat humanisme menjadi kebutuhan dan tata nilai baru.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh gerakan Hak Azasi Manusia. Setiap orang dituntut untuk menghargai pendapat orang lain meskipun salah. Manusia postmodern dituntut untuk tidak mencapuri urusan orang lain. Setiap orang mempunyai hak yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun. Orang yang hidup dalam era ini harus memiliki kedewasaan intelektual, emosional dan spiritual. Masalah pribadi tidak boleh diurusi dan dicampuri oleh siapa pun. Kebebasan memilih dan bertindak dijunjung tinggi dan dihargai secara hukum. Etika pastoral dalam era ini ditekankan kepada menolong orang lain agar ia mampu menolong dirinya sendiri dalam mengambil sebuah keputusan.
Orang-orang yang hidup dalam era postmodern mempunyai kecenderungan untuk menolak hal-hal yang bersifat struktural. Postmodernisme hampir sama dengan poststrukturalisme dan seperti mereka yang menganut aliran kebebasan.
Oleh karena itu gejala-gejala yang timbul di era postmodernisme tersebut, antara lain: (a) perkawinan tidak dianggap lagi sesuatu yang sakral, sehingga kawin-cerai menjadi hal yang biasa; (b) seks itu banyak, tidak hanya satu (suami-isteri), sehingga punya wanita idaman lain atau pria idaman lain adalah yang hal biasa; (c) seks pra-nikah itu tidak masalah karena dianggap sebagai hak untuk dinikmati; (d) dll, seperti penyalahgunaan narkoba dan meningkatnya angka beragam bentuk kejahatan.
Jadi hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh kaum postmodernisme bahwa manusia di jaman ini tidak mungkin lagi patuh dengan nilai-nilai, walaupun dulu memang nilai-nilai itu ada namun sekarang itu semua telah berubah.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber