Sikap Para Ulama Terhadap Takwil
Pada: July 10, 2012
Para ulama dalam menyikapi takwil ini berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Al-Ghazali mengklasifikasikannya dalam 5 kelompok, yaitu:
- Menolak takwil dan hanya membenarkan apa yang tertulis secara tekstual dalam nas itu sendiri.
- Berpedoman pada kekuatan akal dan kurang memperhatikan teks itu. Inilah yang banyak memperluas wilayah takwil.
- Menjadikan akal sebagai dasar pokok. Apa yang terdapat dalam suatu teks kelihatan bertentangan dengan akal akan ditolak.
- Menjadikan teks sebagai dasar pokok dan tidak sampai mendalami akal pemikiran.
- Moderat dengan berusaha mengkompromikan antara akal dan nas yang masing-masing mempunyai dasar dan saling melengkapi. Kelompok ini mengingkari adanya pertentangan antara akal dan syara.
Keanekaragaman pendapat dan sikap tersebut, ada yang berlebih-lebihan, dan ada pula yang sedang-sedang, baik dalam menerima ataupun dalam menolak. Namun, secara umum sikap ulama terhadap takwil ini adalah terbagi atas dua, ada yang menerima dan ada yang menolak. Perbedaan sikap tersebut terjadi karena perbedaan cara mereka memahami ayat 7 surah Ali Imran.
وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا“… padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Bagi mereka yang tidak membolehkan takwil beralasan, bahwa ayat tersebut dibaca dengan tanda wakaf (berhenti) pada kata “Allah” (إِلاَّ اللهُ ) “… tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah”. Jadi, hanya Allah saja yang mengetahui takwilnya, sedangkan orang-orang yang berpengetahuan mendalam cukup mengimani keberadaannya dan menyerahkan pengertiannya kepada Allah.
Adapun ulama yang membolehkan takwil itu adalah beralasan bahwa ayat tersebut dibaca وما يعلم تأويله الا الله والراسخون فى العلم (… tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Jadi, di samping Allah yang mengetahui takwil itu juga orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam.
Demikian pula yang dijadikan alasan adalah riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah mendoakan untuknya. أَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَ عَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ (Ya Allah! Berikanlah pemahaman kepada dia tentang agama dan ajarkanlah dia pengetahuan takwil).
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas menyebutkan, “saya ini termasuk di antara orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam yang mengetahui takwilnya).
Dalam sejarah telah dijumpai bahwa pada masa salaf sebagian ulama tidak mau mentakwil dalam memahami ayat-ayat, mereka cukup merasa puas dengan menyerahkan pengertiannya kepada Allah, dengan semboyan “Allahu A`lamu bi Murâdihî” (Allah Maha Mengetahui maksudnya). Bahkan mislanya imam Malik pernah ditanya mengenai pengertian firman Allah dalam QS. Thaha ayat 5 “Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas `Arsy”. Imam Malik menjawab: “Pertanyaan seperti ini adalah bid`ah (tercela dalam pandangan agama).
Dari sati sisi memang ada nilai positifnya karena hal itu merupakan suatu bentuk kehati-hatian untuk tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang tercela. Akan tetapi pada sisi lain sikap seperti ini adalah justru mempersempit makna al-Quran sehingga tidak jarang menimbulkan persoalan pemahaman dan pemikiran. Lebih-lebih ketika diperhadapkan dengan kenyataan sosial yang selalu berkembang, hakekat ilmiah dan hal-hal keagamaan.
Oleh karena itu, sikap tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan banyaknya ahli tafsir menggunakan takwil dalam upaya menjelaskan isi kandungan al-Quran. Menurut mereka bahwa dengan menggunakan takwil akan memperluas makna al-Quran. M. Quraish Shihab berkata, bahwa dengan takwil akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan al-Quran di tengah kehidupan masyarakat dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.
Takwil yang dimaksudkan tentu saja takwil yang tidak menyalahi kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama tafsir, misalnya:
يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka.” (QS. al-Fath/48:10). Pengertian “Tangan Allah” dalam ayat tersebut ditakwil dengan pengertian “kekuasaan Allah.”
اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thaha/20:5).
Pengertian “bersemayam di atas `Arsy” ditakwil dengan pengertian “kekuasaan dan kebesaran Allah meliputi `Arsy itu.”
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.” (QS. al-Rum/30:19).
Pengertian “yang hidup dari yang mati” dalam ayat tersebut ditakwil dengan pengertian “iman dan kufur”. Mengeluarkan dari kekufuran menjadi iman”.
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya.” (QS. al-Nisa’/4:93).
Pengertian “kekal di dalamnya” dalam ayat tersebut ditakwil dengan pengertian ”berada dalam neraka dalam waktu yang cukup lama, bukan abadi.”
Penakwilan terhadap teks ayat-ayat al-Quran dengan hanya berdasar pada kekuatan penalaran akal saja tanpa memperhatikan kaidah-kaidah bahasa adalah suatu penyimpangan dan itu tidak bisa diterima, misalnya yang dilakukan oleh Dr. Mustafa Mahmud, seorang dokter terhadap ayat
وَلاَ تَقْرَبَا هذِهِ الَّشجَرَةَ“Janganlah kamu berdua dekati pohon ini.” (QS. al-Baqarah/2:35).
Ia menakwil larangan Tuhan untuk mendekati pohon sebagai larangan melakukan hubungan seksual. Menurutnya pada redaksi larangan itu berbentuk “mutsanna” (berdua), لاَ تَقْرَبَا (janganlah kamu berdua dekati), yakni Adam dan Hawa. Tetapi setelah mereka berdua makan buah itu, takwilnya telah berhubungan seksual, maka redaksi perintah Tuhan berikutnya berubah menjadi redaksi jamak, yaitu اِهْبِطُواْ “turunlah kamu” (QS. al-Baqarah/2:36). Penggunaan jamak dalam ayat tersebut karena Hawa sudah hamil mengandung janin bayi. Jadi, mereka sudah bertiga; Adam, Hawa, dan janin bayi.
Takwil seperti ini adalah menyalahi kaidah bahasa. Dalam kaidah bahasa sesuatu yang masih berupa janin dalam perut itu tidak bisa dihitung sebagai wujud penuh, ia tetap mengikut pada ibu yang mengandungnya. Seandainya ada seorang ibu mengandung 10 atau lebih janin bayi, maka ia tetap dihitung sebagai wujud tunggal.
*Berbagai Sumber