Asas Tidak berlaku Surut Hukum Pidana dalam Tinjauan al-Quran
Pada: August 04, 2012
Dalam hukum pidana positif, dikenal pula istilah “asas tidak berlaku surut”. Asas ini sebenarnya masih berkaitan erat, bahkan dapat dikatakan merupakan bagian dari asas legalitas. Dalam kaitan ini, Bambang Poernomo, mengatakan bahwa pada dasarnya aturan hukum pidana tidak berlaku surut, namun dalam praktek bisa terjadi sebaliknya.
Meski asas tidak berlaku surut ini diakui eksistensinya dalam hukum pidana positif, namun hal itu tidak mutlak berlaku dalam praktek, sebab terkadang suatu kejahatan terjadi sebelum penetapan undang-undang, tetapi pelakunya tetap dihukum. Misalnya, kejahatan pemberontakan.
Keberadaan asas tidak berlaku surut yang dicetuskan satu abad yang lalu, merupakan suatu langkah baru dalam perkembangan hukum positif. Namun, apabila dibuka al-Quran, dapat ditemukan bahwa jauh sebelum adanya asas tersebut, sebenarnya sudah ditetapkan dalam al-Quran, misalnya dalam ayat :
قل الذين كفروا ان ينتهوا يغفر لهم ما قد سلف وان يعودوا فقد مضت سنة الاولين
Kakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : “jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu, dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah Allah (bagi) orang-orang dahulu (Q.S.al-Anfal : 38).
Berkata Ibn al-‘Arabi, ayat ini menunjukkan kepada adanya dispensasi yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia, yakni bahwa segala tindak pidana, kemaksiatan, dan perbuaan dosa yang dilakukan seseorang ketika masih kafir, semuanya diampuni oleh Allah pada saat ia mengucapkan syahadatain. Dispensasi ini diberikan kepadanya sebagai pengejawntahan dari makna “Islam” sebagai agama keselamatan.
Ayat yang disebutkan di atas, membicarakan tentang tidak berlaku surutnya aturan pidana secara umum, yakni tindak pidana apa saja yang dilakukan seseorang sebelum memeluk Islam, tidak akan dituntut kepadanya setelah ia memeluk Islam. Selain itu, Alquran juga menyebutkan tindak pidana khusus yang tidak berlaku surut, misalnya :
ولا تنكحوا مانكح أباؤكم من النساء الا ما قد سلف انه كان فاحشة وساء سبيلا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (Q.S.al-Nisa’ : 22).
Mengenai ayat di atas, al-Razi berkata bahwa ketentuan yang dibawa ayat tersebut memberikan pengertian bahwa sebelum turunnya ayat ini, perbuatan mengawini bekas isteri ayah (ibu tiri) diampuni Allah. Meski perbuatan tersebut telah dilarang dan harus dihentikan setelah turunnya ayat di atas.
Kalau ditelusuri lebih jauh ayat di atas, dapat ditegaskan bahwa di dalamnya mengandung unsur pidana dan unsur perdata. Unsur pidananya tidak berlaku surut, yaitu perilaku mengawini ibu tiri sebelum turunnya ayat, tidak dikenakan sanksi (dosanya telah diampuni). Sedangkan unsur pedatanya tetap berlaku surut, yakni orang yang sementara memperisterikan ibu tirinya, perkawinannya harus diputuskan.
Kalau dibandingkan asas tidak berlaku surut yang ada dalam al-Quran dengan yang ada dalam hukum positif, maka ditemukan keistimewaan hukum dalam al-Quran, baik dari segi masa berlaku maupun materinya. Sebab, dalam al-Quran, aturan pidana mutlak tidak berlaku surut, sedangkan dalam hukum positif tidak mutlak.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir : Dar al-Kutub al-‘Arabi li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1967), Juz VII. Fakhr al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, (Teheran: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), Juz IX.