Beberapa Pandangan Ulama tentang Asbabunnuzul
Pada: August 05, 2012
Para ulama tidak sepakat mengenai kedudukan Asbab al-Nuzul. Mayoritas ulama tidak memberikan keistimewaan khusus kepada ayat-ayat yang mempunyai riwayat Asbab al-Nuzul, karena yang terpenting bagi mereka adalah apa yang tertera di dalam redaksi ayat. Jumhur ulama kemudian menetapkan suatu kaidah yaitu:
“Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”.
Sedangkan minoritas ulama memandang penting keberadaan riwayat-riwayat Asbab al-Nuzul di dalam memahami ayat. Golongan ini juga menetapkan suatu kaidah yaitu:
“Yang dijadikan pegangan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal”.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang diturunkan berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafal umum, maka yang dijadikan pegangan adalah lafal umum. Az-Zarkasyi dalam menghubungkan kekhususan sebab turunnya suatu ayat dengan keumuman bentuk dan rumus kalimatnya. Dia mengatakan “adakalanya sebab turunnya ayat bersifat umum. Ini untuk mengingatkan bahwa didalam lafaz yang bersifat umum terdapat hal yang perlu diperhatikan. Sebagai contoh, turunnya QS.Al-Maidah (5):38.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang dilakukan seseorang pada masa nabi. Tetapi ayat ini menggunakan lafal am. Yaitu isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam (al) jinsiyyah. Mayoritas ulama memahami ayat tersebut berlaku umum, tidak hanya kepada yang menjadi sebab turunnya ayat.
Sebaliknya, minoritas mempunyai sisi pandangan lain. Mereka berpegang kepada kaidah kedua dengan alasan bahwa kalau yang dimaksud Tuhan adalah kaidah lafal umum, bukan untuk menjelasakan suatu peristiwa atau serba khusus, mengapa Tuhan menunda penjelasan-penjelasan hukum-Nya hingga terjadinya peristiwa tersebut.
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menolak pendapat kedua dengan alasan bahwa lafal umum ialah kalimat baru, dan hukum yang terkandung didalamnya bukan merupakan hubungan kausal dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Bagi kelompok ulama ini kedudukan Asbab al-Nuzul tidak terlalu penting. Sebaliknya minoritas ulama menekankan pentingnya riwayat Asbab al-Nuzul dengan memberikan contoh tentang Al-Baqarah (2):115, yaitu :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Jika hanya berpegang pada redaksi ayat, maka hukum yang dipahami dari ayat tersebut adalah tidak wajib menghadap kiblat pada waktu shalat, baik dalam keadaan musafir aatu tidak. Pemahaman seperti ini jelas keliru karena bertentangan dengan dalil lain dan ijma’ para ulama Akan tettapi dengan memperhatikan Asbab al-Nuzul ayat tersebut, maka dipahami bahwa ayat itu bukan ditujukan kepada orang-orang yang berada pada kondisi biasa atau bebas, tetapi kepada orang-orang yang karena sebab tertentu tidak dapat menentukan arah kiblat.
Kaidah kedua lebih kontestual, tetapi persoalannya ialah tidak semua ayat-ayat alquran mempunyai Asbab al-Nuzul jumlahnya sangat terbatas. Sebagian diantaranya tidak shahih, ditambah lagi satu ayat kadang-kadang mempunyai dua atau lebih riwayat Asbab al-Nuzul.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad al-Aruzi Abd Qadir, Masalah Takhsish al-‘Am bi al-Sabab, (t.p.; Jamiah Umm Al-Qur’an, 1983).