Biografi Nuruddin al-Raniri
Pada: August 02, 2012
Nama lengkapya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hassanji bin Muhammad Hamid al-Raniri al-Qauraisy al-Syafi’i. Berasal dari India keturunan Arab, yang dilahirkan di Ranir (Rander). Sumber surat di Gujarat menyebutkan, Nuruddin al-Raniri lahir sekitar pertengahan abad ke-16.
Pendidikan awal dalam masalah keagamaan diperoleh dari tempat kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya ke Tarim, Arab Selatan, lalu menuju ke Mekah dan Madinah pada tahun 1030 H/1621 M.
Ibu Nuruddin al-Raniri adalah seorang Melayu, sedang ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadrami yang mempunyai tradisi panjang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Nenek moyangnya kemungkinan termasuk dalam keluarga al-Hamid dari al-Zuhra, salah satu dari sepuluh kabilah Quraisy.
Pada kehidupan di kalangan imigran Hadrami, dapat dilihat dengan jelas dari pengalaman pamannya sendiri, yang berasal dari garis ayah Muhammad Jilani bin Muhammad al-Humaidi dari Gujarat ke Aceh antara 988 H/1580 M dan 991 H/1583 M di sana Nuruddin al-Raniri mengajar fikih, ushul fikih, etika, logika (mantiq) dan retorika, tetapi ternyata kebanyakan orang lebih suka mempelajari mistik (tasawuf) dan teologi (kalam), sementara pamannya bukanlah ahli mistik, karenanya tidak siap memenuhi tuntutan masyarakat untuk mempelajari hal itu. Maka Muhammad Jilani memutuskan menunda pengajarannya dan sebaliknya ke Mekah untuk mempelajari lebih dalam ilmu-ilmu tentang mistisisme dan subyek-subyek lain yang berkaitan. Setelah menguasai ilmu tersebut, dia kembali ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan Ala’ al-Din Ri’yad Syah untuk mengajari orang-orang tentang ilmu-ilmu yang ingin mereka pelajari. Tampaknya dia berhasil sampai batas tertentu dalam menjelaskan kerumitan mistisisme dan kalam, terutama tentang sifat dan pola dasar permanen.
Guru Nuruddin al-Raniri yang paling terkenal dari India adalah Abu Hafs Umar bin Abdullah bin Sya’ban al-Tarimi al-Hadrami (w. 1066 H/1656 M), yang juga dikenal di wilayah Gujarat sebagai Sayyid Umar al-Aidarus. Melalui Syekh Muhammad al-Aidarus, ia diterima masuk ke dalam tarekat Rifa’iyyah dan kemudian menggantikan syekhnya pada tarekat ini dalam menerima kedatangan murid-murid baru.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu Islam dan ditunjuk sebagai kahlifah Tarekat al-Aidairusiyyah serta Rifa’iyyah, tibalah waktunya Nuruddin al-Raniri memulai karirnya. Di antara beberapa karyanya menunjkukkan bahwa dia sangat mengenal dunia melayu, bahkan sebelum kedatangannya ke pulau di nusantara. Tampaknya informasi tentang Melayu diperoleh dari ibunya dan keterlibatannya dengan komunitas Jawi di Mekah, demikian pula informasi yang diperoleh dari pamannya Muhammad Jilani yang sering mengadakan perjalanan pulang balik ke Aceh, yang telah mengetahui tradisi budaya dan keagamaan Melayu.
Tidak ada referensi yang dapat dijadikan bukti perjalanan Nuruddin al-Raniri pertama kalinya, namun diduga kuat bahwa untuk pertama kalinya ia menetap di wilayah Melayu selama masa antara selesainya menunaikan ibadah haji pada tahun 1029 H/1621 M dan 1047 H/ 1637 M yang kemungkinan ia memilih Aceh atau Pahang.
Namun keberadaan Nuruddin al-Raniri di Aceh yang pasti dan menetap di sana, adalah pada tanggal 31 Mei 1637. Di sana (Aceh) dikenal sebagai seorang ulama dan penulis yang produktif. Banyak menulis kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu agama, seperti fikih, hadis, akidah, sejarah, mistik, filsafat, perbandingan agama, dan lain-lain. Yang menonjol dalam tulisannya adalah ia selalu menyebutkan sumber kutipan untuk memperkuat argumen yang dikemukakan.
Syekh Nuruddin al-Raniri adalah seorang ulama yang berjasa dalam memperluas bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Melayu membuat bahasa ini semakin populer dan menjadi bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab. Ketika itu jalan yang paling mudah bagi setiap orang Islam untuk mengetahui ajaran Islam adalah dengan belajar bahasa Melayu agar dapat membaca tulisan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa tersebut. Kitab-kitab yang ditulis al-Raniri sangat populer dan dikenal luas oleh umat Islam di kawasan Asia Tenggara. Bersamaan dengan itu bahasa Melayu tersebar luas sebagai Lingua Pranca.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ahmad Daudi, Syekh Nuruddin al-Raniri (Sejarah, Karya dan Sanggahan terhadap Wujudiyyah di Aceh) (Cet.I; Jakarta: Bulan Binatang, 1978), h. 9. Lihat Tim Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam (Cet.II; Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994), Jilid IV. Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam Indonesia (No.2 tahun 1993/1994), 856. Hassan Shadily, Ensiklopedia Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1983). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, Abad XVII dan XVIII (Cet.IV; Bandung: Mizan, 1998).