Ijtihad al-Syatibi dalam Kitab al-Muwafaqat
Pada: August 24, 2012
Al-Syatibi membagi ijtihad itu kepada dua, yaitu ijtihad yang berlangsung sampai hari kiamat, karena berkaitan dengan tahqiq al-manat, dan ijtihad yang obyeknya dapat saja berhenti sebelum hari kiamat, karena hal tersebut berkaitan dengan tanqih al-manat dan tahrij al-manat. Tahqiq al-Manat adalah pandangan/ pikiran untuk mengetahui adalah illat dalam bagian-bagian bentuk cabang yang diinginkan qiyasnya terhadap suatu asal. Sedangkan Tanqih al-Manat adalah pikiran untuk menetapkan illat yang tetap dengan nash atau ijma’. Adapaun Tahrij al-Manat adalah pandangan dan ijtihad dalam mengistimbatkan sifat yang menjadi sebab terhadap hukum yang telah ditunjukkan oleh nash atau ijma.
Pembagian dan penjelasan tentang ijtihad yang dikemukakan al-Syatibi di atas, kelihatannya masih berkisar pada masalah ijma dan qiyas. Dengan dasar ini, maka dalam persepsi penulis bahwa ijma dan qiyas dalam pandangan al-Syatibi adalah termasuk metode ijtihad. Jadi di samping keduanya adalah sumber hukum dalam satu segi, keputusan ijma dan qiyas juga termasuk hasil ijtihad dalam segi lain.
Selanjutnya, al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat menyatakan bahwa sesudah ijma’ dan qiyas, maka metode selanjutnya adalah al-mashlah, yakni al-masalih al-mursalah yang didefinisikan sebagai metode ijtihad yang diberlakukan ketika sesuatu masalah tidak ada sumber nasnya dalam syariat, dalam hal ini jika juga tidak ada sumbernya dari ijma dan selainnya semisal qiyas. al-Masalih al-Mursalah (selanjutnya disebut maslahah) sebenarnya telah dipraktekkan sejak masa Nabi saw. Hal ini, telah banyak dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi saw sendiri membenarkannya. Secara tekstual sahabat telah menyalahi syara’, sebab telah melakukan di luar ketentuan.
Maqashid al-Syari’ah sendiri dipahami sebagai nilai-nilai dan sasaran-sasaran syariah yang tersirat dalam segenap dalil hukum. Dalam hal ini, al-Maslalah sebagai salah satu tujuan syariat harus ditegakkan. Dikatakan demikian, karena banyak kasus pada zaman Nabi saw dan sahabat yang diangkat dalam berbagai literatur.
Menurut al-Syatibi, mashalah yang merupakan tujuan Tuhan dalam syariatnya itu mutlak diwujudkan sebab keselamatan dan kesejahteraan tidak akan mungkin dicapai tanpa mashalah terutama yang bersifat dharuriyah dan meliputi lima hal, yakni; pemeliharan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Selanjutnya, al-Syātibi menegaskan bahwa maqashid al-syari’ah yang bila dikaitkan dengan kemaslahatan, maka dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, tujuan Tuhan (maqashid al-srai’ah) dan kedua tujuan mukallaf (maqashid al-mukallaf)
Berbagai contoh kemaslahatan yang dikemukakan al-Syatibi dalam al-Muwafaqat. Di antaranya adalah menjadikan al-Quran dalam satu mushaf dan usaha menerbitkannya. Termasuk juga kategori ini (contoh lain) adalah menkodifikasikan ilmu-ilmu syariat dan selainnya, misalnya; Ilmu Nahwu yang dalam hal ini tidak ditemukan adanya dalil untuk melakukan usaha tersebut.
Maslahah dalam bentuk jamaknya masalih, menurut al-Syatibi ialah apa yang melandasi kesempurnaan hidup manusia dan memungkinkan manusia dapat memperoleh kebutuhan hidup sehingga manusia dapat hidup sejahtera. Hal ini tidak dapat dicapai begitu saja secara i’tiyad (menurut biasanya) saja, justru usaha mencapai kemaslahatan itu memperhadapkan manusia pada berbagai tantangan yang sulit. Seperti halnya soal makan, minum, pakaian, perumahan, kendaraan, perbikahan dan lain-lain, tidak akan mungkin diperoleh kecuali dengan kerja keras.
Selanjutnya, al-Syatibi mengklasifikasi maslahah itu ke dalam tiga tingkatan, yakni daruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Yang dimaksud dengan Daruriyah ialah segala sesuatu yang mutlaq ada demi kehidupan dan kesejahteraannya di dunia dan akhirat. Jika kemaslahatan daruriy ini tidak terwujud maka kehidupan manusia terancam kepunahan dan untuk kehidupan akhirat, manusia terancam siksaan. Kemaslahatan daruriy ini meliputi lima hal, yaitu terjaminnya kewajiban beriman kepada Allah, terjaminnya kewajiban untuk hidup, terpeliharanya kesehatan akal, lestarinya keturunan dan terpeliharanya harta benda.
Sedangkan yang dimaksud dengan hajiyah ialah terpenuhinya segala kebutuhan manusia dalam bentuk fasilitas sehingga kehidupan manusia terhindar dari kesulitan (masyaqqah). Jika kebutuhan macam kedua ini tidak terpenuhi, maka kehidupan manusia akan menghadapi berbagai kendala yang menyulitkan, meskipun kendala itu tidak sampai membinasakan hidupnya. Yang terakhir, adalah tahsiniyah ialah segala hal yang turut menyempurna-kan kehidupan manusia secara layak menurut akal dan tradisi serta terhindarnya kehidupan manusia dari cacat dan kekurangan. Meskipun hanya bersifat komplemen, kemaslahatan tahsiniyah tidak kurang petingnya sebab banyak berkaitan dengan etika hidup yang baik (makarim al-akhlaq).
Berdasar dari uraian-uraian di atas, tergambar dengan jelas bahwa kebutuhan hidup manusia mulai dari jenjang tahsiniyat sampai daruriyat, tidak satupun yang tidak mengandung maslahah. Demikian kajian al-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugha, Bairūt: Dar al-Masyriq, 1977. Sa’ud ‘Ali Durayb, al-Tanzim al-Qadh’iy fi al-Mamlakat al-Arabiyah, Riyad: Matba’ah Hanifah, 1973. Abdullah Darras, Muqaddimah al-Muwafaqat, juz I, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1424 H. Al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz I, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1424 H. Subhi al-Salih, Ilm Mustalah al-Hadis, Madinah: Dar al-Turas, 1992. Muhammad Hasyim kamali, Principles of Islamic Juris Prodence; the islamics Texts Society, diterjemahkan oleh Norrhaidi dengan judul Prinsip-prinisp dan Teori-teori Hukum islam; Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofset, 1991. Abū Zahrah, Kitab Ushul al-Fiqh, Madīnah; Dār al-Ma’ā’rif, 1979. H. Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam Perspektif Fikih Islam “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Fikih/ Ushul Fikih” disampaikan pada Rapat Senat Terbuka IAIN Alauddin Makassar, Senin, 31 Mei 2004. Malik ibn Anas, al-Muwaththa’, Bairut: Dar al-Malayin, t.th.