Pengertian Hadis Da'if dan Macamnya
Pada: August 11, 2012
Kata ”da'if”, berasal dari bahasa Arab (ضعيف) yang berarti “lemah”. Adapun pengertian hadis da'if menurut istilah, beberapa ulama hadis berpendapat sebagai berikut :
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, hadis da'if adalah :
مالم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث الحسن
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, hadis daif adalah hadis yang yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima.
Fatchur Rahman, hadis daif adalah :
ما فقد شرطا أو أكثر من شروط الصحيح أو الحسن
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, ulama sependapat bahwa hadis daif adalah hadis yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan ia lemah. Lemah karena ia tidak memiliki syarat-syarat hadis Sahih dan Hasan.
Sebab-sebab hadis da'if ketika diteliti, kembali kepada dua hal pokok yaitu: (1). Ketidak-muttashil-an sanad, dan (2) Selain ketidak-muttashil-an sanad, seperti; cacatnya seorang atau beberapa rawi. Sehingga pembagian hadis daif bisa didasarkan pada hal tersebut.
Pembagian Hadis Daif
Hadis daif termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadis sahih atau hasan yang tidak dipenuhinya. Misalnya hadis daif yang karena tidak bersambung sanadnya dan tidak adil periwayatnya, adalah lebih daif daripada hadis daif yang hanya keguguran satu syarat untuk diterima sebagai hadis hasan, atau dengan kata lain hadis daif yang keguguran tiga syarat lebih daif daripada hadis daif yang hanya keguguran dua syarat.
Fatchur Rahman mengutip pendapat al-‘Iraqi, bahwa hadis adaif bisa dibagi menjadi 42 bagian dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis adaif terdiri atas 129 macam, bahkan bisa lebih dari itu.
Dalam referensi makalah ini penulis hanya akan mengemukakan sebagian hadis daif yang dikutip dari pendapat Ajjaj al-Khatib:
Hadis-hadis daif karena ketidak-muttashil-an sanad:
Hadis Mursal
Hadits mursal yaitu: hadits yang dimarfu’kan oleh seoarng tabi’i kepada rasul saw, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, dengan tidak menyebutkan orang yang menceritakan kepadanya: contoh hadis berikut ini:
عن مالك عن عبد الله بن أبى بكرى بن حزم أن فى الكتا ب الذي كتبه رسول الله لعمر و بن حزم: ان لايمس القرأن الا طاهر
Abdullah bin Abi Bakr pada hadis di atas merupakan seorang Tabi’i, sedangkan seorang tabi’i tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi saw. Akan tetapi di tidak menyebutkan orang yang mengabarkan kepadanya sehingga dinamakan mursal.
Hadis Munqathi’
Hadits munqathi yaitu hadis da'if karena dalam sanadnya, gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja, kalau hadis mursal gugurnya perawi dibatasi oelh tingkatan sahabat, sementara dalam hadits munqathi seperti itu. Jadi setiap hadits yang sanadnya gugur satu orang perawi baik awal, ditengah ataupun diakhir- disebut munqathi. Contohnya seperti hadis berikut:
Berkata Ahmad bin Syu’ib; ”telah mengabarkan kepada kami. Qutaibah bin Sa’id, telah ceritakan kepada kami. Abu ‘Awanah, telah menceritakan kepada kami, Hisyam bin Urwah, dari Fatimah binti Mundzir, dari Ummi Salamah, ummil Mu’minin, ia berkata; telah bersabda Rasul Saw:
لا يحرم من الرضاع الا ما فتق الأمعاء فى الثدي وكان قبل الفطام
Pada hadis tersebut di atas Fatimah tidak mendengar hadis tersebut dari Ummu Salamah, waktu Ummu salamah meninggal Fatimah ketika itu masih kecil dan tidak bertemu dengannya.
Hadis Mu’dhal
Yaitu hadis da'if karena dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut.hadits ini sama, bahkan lebih rendah dari hadits munqathi. Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila munqathi’annya lebih dari satu tempat. Contohnya seperti hadis berikut:
Syafi’i berkata; ”telah mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim, dari Ibnu Juraij, bahwa”:
أن رسول الله كان أذا رأى البيت رفع يديه
Ibnu Juraij pada hadis tersebut tidak sezaman dengan Nabi saw, bahkan masanya itu di bawah tabi’in, jadi antara dia dengan Nabi saw diantarai oleh dua perantara yaitu tabi’in dengan sahabat.
Hadis Mudallas
Kata “tadlis” secara etimologis berasal dari akar kata “ad-Dalas” yang berarti “adz-Dzhulman” (kedzaliman). Dari sinilah diambil dalam pengertian dalam sanad hadis da'if. Karena keduanya memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkan.
Tadlis terdiri dari dua jenis, yaitu tadlis al-Isnad dan tadlis asy-Syuyukh.
1) Tadlis al-isnad yaitu seseorang perawi (mengatakan) meriwiyatkan sesuatu dari sesamanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu, atau pernah bertemu tetapi diriwiyatkannya itu tidak didengar dari orang tersebut, dengan cara menimbulkan dugaan mendengar langsung.
Contohnya: Diriwayatkan oleh an-Nu’man oleh an-Nu’man bin Rasyid, dari Zuhri, dari ‘Urwah, dari Aisyah, bahwa:
أن رسول الله لم يضرب أمر أة قط ولاخادما الا أن يجاهد فى سبيل الله.
Imam Abu Khatim berkata bahwa: “Zuhri tidak pernah mendengar hadis ini dari Urwah, ini berarti ada seorang yang tidak disebutkan oleh zuhri. Sehingga menjadi samar”.
2) Tadlis asy-Syuyukh jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad. Karena perawi tidak sengaja mengugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya, memberi nisbat ataupun memberikan sifat yang tidak lazim dikenal. Contohnya:
Berkata Ibnu Adi; ”telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Abi Nashr al-Humaidi, telah mengabarkan kepada kami, Abdurrahim bin Ahmad an-Najjari, telah megabarkan kepada kami, Abdul Ghani bin Sa’id al-Hafish, telah menceritakan kepada kami, Abu Hasan Ali bin Abdillah bin Fadil at-Tamimi, telah meceritakan kepada kami, Abdullah bin Zaidan, telah menceritakan kepada kami, Harun bin Abi Burdah, telah menceritakan kepada ku, Saudaraku Husain, dari Yahya bin Ya’la, dari Abdullah bin Musa, dari Zuhri dari Sa-ib bin Yazid”.
Nabi bersabda:
لايحل لمسلم أن يرى تجردي أوعورتي الا علي
Dalam sanad tersebut ada seorang rawi bernama ‘Abdullah bin Musa. Namanya yang sebenarnya dan yang masyhur adalah ‘Umar bin Musa ar-Rahibi. Maksudnya agar riwayatnya dapat diterima, karena jika disebut Umar bin Musa maka tentu orang tidak akan menerima karena dia seorang pemalsu hadis.
Hadis-hadis daif karena sebab selain ketidak-muttashilan sanad
Hadis Mudha’af
Yaitu hadis yang tidak disepakati ke-daif-annya. Sebagian ahli hadis menilainya mengandung ke-da'if-an, baik di dalam sanad maupun matan, dan sebagian lainnya menilainya kuat. Akan tetapi penilaian daif itu lebih kuat.
Hadis Mudhtharib
Yaitu hadis yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas bagian yang lainnya. Kemudhthariban mengakibatkan kedhaifan suatu hadis, karena menunjukkan ketidakdhabitan.
Hadis Maqlub
Yaitu hadis yang mengalami pemutar balikan dari diri perawi, kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama seorang perawi. Msialnya Murrah ibn Ka’b dan Ka’b bin Murrah.
Hadis Syadz
Imam Syafi’ilah yang mula-mula memperkenalkan hadis syadz ini menurutnya bila diantara perawi tziqat ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi setelahnya sepakat bahwa hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.
Hadis Munkar
Hadis munkar ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi daif yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya. Oleh karena itu kriteria hadis munkar adalah penyendirian perawinya daif dan mukhalafah.
Hadis Matruk dan Mathruh
Hadis matruk ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dituduh berdusta dalam hadis nabawiy, atau sering bersdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya. Atau yang sering sekali salah dan lupa. Misalnya hadis-hadis Amr ibn Syamr dari Jabir al-Ja’fiy. Sedangkan hadis mathruh ialah hadis yang terlempar hadisnya karena cacatnya perawinya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadits. Bandung: CV. Diponegoro, 1987, Fathur Rahman, Ikhstisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT.Almaarif, 1995, T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, Ajjāj al-Khathīb, Ushul al-Hadīś, diterjemahkan oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul al-Hadīś. Jakarta: Gaya Media, 1998.