Sifat Hukum Pidana sebagai Hukum Publik
Pada: August 28, 2012
Hazewinkel, Suringa, mengatakan bahwa hukum pidana termasuk hukum publik. Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama. Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat diketahui berdasarkan:
- Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari korbannya;
- Penuntutan menurut hukum pidana, tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yang telah di rugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.
- Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakat umum). Apabila diperinci sifat hukum publik dalam hubungannya dengan hukum pidana, maka akan ditemukan ciri-ciri hukum publik yaitu:
- Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan;
- Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan. Dengan perkataan lain orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa;
- Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang) tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya negara/ penguasa wajib menuntut seseorang tersebut;
- Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana objektif atau hukum pidana positif.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan pada hubungan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seorang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserahkan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentingan umum.
Logeman, Lemaire dan Utrecht berpendapat, bahwa hukum tidak mengadakan kaedah (norma) baru, melainkan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan tertentu, sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menuntut suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada "pengaduan" dari pihak yang dirugikan atau yang terkena tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985). Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002). E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982). P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984).