Advokat dalam Sejarah Islam
Pada: September 24, 2012
Secara kelembagaan, advokat belum dikenal di kalangan orang-orang arab pra Islam. Hanya saja, terdapat praktek yang berlaku saat itu ketika terjadi sengketa antara mereka yaitu mewakilkan atau menguasakan seorang pembicara atau juru debat yang disebut حجيجا (hajij) atau حجاجا (hijaj) untuk membela kepentingan yang memberikan kuasa atau perwakilan (al- Muwakkil). Hal tersebut berlanjut hingga datangnya Islam, advokat belum eksis dan melembaga. Akan tetapi cikal bakal advokat dalam Islam bisa ditelusuri lewat praktek al- Wakalah yang sudah berkembang seiring dengan datangnya Islam.
Rasulullah saw sendiri pernah mewakilkan kepada sahabat penyerahan seekor unta yang menjadi kewajiban beliau kepada seorang, orang tersebut datang menemui beliau memperkarakan untanya, maka Nabi saw. pun memerintahkan para sahabatnya mencarikan unta yang seusia dengan unta yang dituntut orang tersebut untuk diberikan kepadanya, namun mereka tak mendapatkan kecuali unta yang lebih tua. Nabi saw. pun memerintahkan menyerahkan unta yang lebih tua tersebut kepadanya, maka ia pun berkata kepada Nabi saw., “engkau telah menunaikan kewajibanmu kepadaku, maka Allah akan menunaikan pula kewajiban untukmu”.
Demikian di antara praktek al-Wakalah di zaman rasulullah saw yang berdiri di atas prinsip tolong menolong yang diperintahkan oleh Islam. Al-wakalah inilah yang menjadi bidzr (cikal bakal) profesi advokat.
Pada era Khulafa al-Rasyidun, praktek al-Wakalah semakin berkembang. Di masa inilah advokat mulai mengambil bentuknya. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah meminta ‘Uqail mewakilinya sebagai pengacara dalam suatu perkara, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Uşman bin Affan. Ini berarti, perwakilan melalui seorang advokat dalam masalah- masalah yang disengketakan sudah diakui dan dipraktekkan di zamanKhulafa al- Rasyidun.
Barulah di zaman Dinasti Umayyah, profesi advokat benar-benar melembaga. Hal ini terlihat pada profesi beracara di muka pengadilan Wilayah al-Mazhalim, saat itu yang selalu melibatkan atau menghadirkan al-Humah dan al-A’wan (para pembela dan pengacara). Kehadiran para pengacara ini diharapkan dapat meredam kekerasan dan keangkuhan hati para pejabat pemerintah yang diajukan ke persidangan atas pelangggaran yang dibuatnya terhadap anggota masyarakat.
Di masa Dinasti Abbasiyah, seiring dengan pesatnya perkembangan fiqh dan kajian hukum Islam yang ditandai dengan munculnya mazhab-mazhab hukum Islam, konsep al-Wakalah (perwakilan) khususnya dalam perkara Khushumah (sengketa perselisihan antar anggota masyarakat) baik perdata maupun pidana mulai disempurnakan dan dibakukan. Ulama- ulama masa ini sepakat menetapkan kebolehan menunjuk seorang pengacara dalam pekara-perkara yang dipersengketakan, baik oleh penggugat (al- mudda’iy) terlebih lagi oleh pihak tergugat (mudda’a ‘alaih).
Di masa ini, lembaga tahkim (badan arbitrase) mendapat legalisasi dari pemerintahan Abbasiyah di samping lembaga- lembaga peradilan yang ada. Orang-orang yang berperkara dibenarkan menyerahkan perkaranya kepada seorang hakam yang mereka setujui, tentunya atas dasar kerelaan kedua belah pihak yang berperkara sebelumnya.
Lembaga advokat memasuki babak baru pada era akhir pemerintahan Dinasti Utsmaniyah. Pada Tahun 1846 M, untuk pertama kalinya didirikan sebuah universitas di Astanah yang membawahi sebuah akademi hukum yang nantinya melahirkan advokat. Akademi ini bernama Maktab al-Huquq al-Syhaniy. Pemerintah Utsmaniyah menyaratkan bahwa seorang advokat adalah yang dinyatakan lulus dan menyandang ijazah dari akademi tersebut, di samping harus menguasai bahasa resmi Daulah Utsmaniyah yang sedikit berbeda dengan bahasa Turki.
Sebelumnya, di mesir pada Tahun 1845 M, penguasa mesir menetapkan keputusan resmi yang mengatur tentang keberadaan seorang advokat di muka pengadilan, bahwasanya pihak penggugat maupun tergugat tidak boleh diwakili oleh seorang pengacara kecuali keduanya atau salah satu dari keduanya tidak dapat hadir di persidangan karena alasan syar’i (alasan yang dapat diterima).
Pada Tahun 1861, penguasa Mesir mengadakan kesepakatan dengan para konsulat Negara asing untuk membentuk lembaga peradilan yang memperkarakan orang-orang asing yang menetap di Mesir saat itu. Lembaga ini dinamai Majlis Qawmiyyun Mish. Di lembaga peradilan ini peran advokatsemakin tampak dengan dikeluarkannya aturan bahwa pihak tergugat dapat mengajukan wakilnya untuk beracara di muka persidangan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Mujamma’ al-Lughah al- Arabiyah, al- Mu’jam al-Wasith, Jil.I (Cet.III; Kairo: Dar al- Handasiyah, 1985). Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, jil 6 (Cet.I; Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahnya (Semarang: PT Tanjung Mas Inti, t.th). Ibrahim Najib Muhammad ‘Iwadh, Al-Qadha fi al-Islam Tarikhuhu wa Nizhamuhu (Kairo: Mujamma’ al- Buhuts al- Islamiyah, 1975). Ahmad bin Abdul Azis al- Mubarak, Nizham al- Qadha fi al- Islam (Riyadh: Univ. Islam Muhammad Ibn Saud, 1984).