Anak Sah menurut Hukum Islam
Pada: September 26, 2012
Berbicara tentang anak sah menurut hukum Islam, tidak terlepas dari sahnya perkawinan kedua orang tuanya dan usia kehamilan ibunya. Maksudnya, jika perkawinan kedua orang tuanya dinyatakan sah menurut hukum Islam, maka selanjutnya harus diperhatikan masa kehamilan ibunya terhitung sejak tanggal pelaksanaan akad nikahnya.
Tentang hal ini, Abdoerraoef memberikan komentar sebagai berikut :
Ditetapkan masa anak sah menurut hukum Islam itu, jika dilahirkan sesudah enam bulan perkawinan dilangsungkan, atau perempuan itu mengandung di masa iddah, dan bekas suaminya tidak memungkiri kandungannya sebagai anaknya.
Fatchurrahman mengutip pendapat para ulama fikih tentang kriteria seorang anak sah sebagai berikut :
Para ulama telah sepakat seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah akad perkawinan. Sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada di antara kelahiran anak dengan perkawinan itu ialah 6 bulan.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa anak sah ditentukan oleh masa perkawinan kedua orang tuanya, yakni lahir tidak kurang dari enam bulan. Tentang hal ini terdapat banyak ayat al-Quran yang bisa dijadikan rujukan, di antaranya Q.S. Luqman/ 31, ayat 14 .
Menurut al-Maragiy, yang mula-mula berpendapat bahwa minimal masa kehamilan enam bulan adalah Ali bin Abi Thalib, yang kemudian disetujui oleh Utsman bin Affan dan beberapa sahabat Nabi lainnya. Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ma`mar bin Abdillah al-Juhaniy, ia berkata: "Ada seorang laki-laki dari kalangan kami yang mengawini seorang wanita dari Juhaniah, dan wanita itu melahirkan setelah perkawinannya berusia enam bulan.
Dengan demikian, jika seorang wanita melahirkan anak dengan masa perkawinan kurang dari enam bulan, maka anak yang dilahirkannya itu tidak dapat dikatakan sebagai anak sah.
Adapun batas maksimal usia kandungan seorang anak, sehingga dapat dikatakn sebagai anak sah, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, batas maksimal adalah dua tahun. Sedangkan Menurut Imam al-Syafi`iy, waktu kehamilan itu maksimal empat tahun. Berkata Ubadah bin al-Iwad adalah lima tahun. Menurut al-Zuhriy adalah enam tahun. Sedangkan Rabi`ah mengatakan tujuh tahun.
Dasar ketetapan pendapat Imam al-Syafi`iy adalah berdasarkan kenyataan empiris, yaitu al-Dihak dilahirkan setelah dalam kandungan empat tahun. Ketika lahir ia sudah bergigi dua dan pandai ketawa. Demikian pula `Abd al-`Aziz ibn al-Majsyun, dilahirkan setelah empat tahun dalam kandungan ibunya.
Untuk menentukan batas maksimal bayi yang berada dalam kandungan sebagai dasar dikatakan anak sah, dapat ditempuh dengan cara mengukur kelaziman yang terjadi dalam masyarakat, misalnya satu tahun, atau bahkan sepuluh bulan, bukan atas dasar kejadian yang langka atau kasuistik.
Hal lain, anak zina, dan anak yang berdasarkan adopsi juga tidak dapat diakui sebagai anak sah. Yaitu, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dapat diakui sebagai anak sah menurut hukum Islam ialah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, memenuhi batas kewajaran usia kehamilan, serta berasal dari benih (sperma dan ovum) kedua orang tuanya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdoerraoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1970). Fatchurrahman, Ilmu Waris (Cet.II; Bandung: PT.Alma`arif, 1981). Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur'an, 1985/ 1986). Ahmad Mushthafa al-Maragiy, Tafsir al-Maragiy, Jilid III, Juz XXVI, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984). Imron Rosyadi, "Anak Sah dan Anak Luar Nikah serta Implikasinya dalam Hukum Islam", dalam Mimbar Hukum (Jakarta: Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, No.19, 1995). Ala’ al-Din Abiy al-Hasan `Aliy bin Khalil al-Tarablisiy al-Hanafiy, Mu`in al-Hukkam fiy ma Yataraddud bain al-Haramain min al-Ahkam (Mesir: Dar al-Fikr li al-Thaba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, t.th.). Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet.II; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997). Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Cet.IV; Jakarta: CV.Haji Masagung, 1993).