Pengertian dan Sejarah Bait al-Mal
Pada: September 02, 2012
Bait al-Mal berasal dari dua kata, yaitu bait dan al-mal. Kata bait berarti “rumah”, sedangkan al-mal berarti “harta”. Dengan demikian, secara etimologi Bait al-Mal berarti “rumah tempat mengumpulkan atau menyimpan harta”. Adapun secara terminologi, Bait al-Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Di samping itu, Bait al-Mal juga dapat diartikan secara fisik, yaitu tempat menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.
Sejarah Bait al-Mal Masa Rasulullah
Ketika umat Islam mendapatkan harta rampasan (ganimah) pada Perang Badar. Waktu itu, para sahabat berselisih paham tentang cara pembagian harta rampasan, sehingga turun firman Allah QS al-Anfal/ 8: 1. Ayat ini menetapkan hukum pembagian harta rampasan perang yang menjadi hak bagi seluruh umat Islam. Selain itu, Allah juga memberi kewenangan kepada Rasulullah untuk membagikannya, sesuai dengan pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan umat Islam. Jadi, ganimah Perang Badar menjadi hak Bait al-Mal, yang pengelolaannya dilakukan oleh kepala negara pada saat itu.
Pada masa itu, Bait al-Mal mempunyai pengertian sebagai pihak yang menangani setiap harta benda umat Islam, baik perolehan maupun pengeluarannya. Bait al-Mal waktu itu belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh selalu habis dibagi-bagikan kepada masyarakat, atau dikeluarkan untuk kepentingan mereka. Maksudnya, Rasulullah senantiasa membagi harta rampasan kepada umat Islam seusai perang, setelah mengeluarkan seperlima (al-khumus) untuk dirinya.
Handhalah ibn Zaifiy, salah seorang sekretaris beliau mengatakan: “Rasulullah menugaskan dan mengingatkan aku untuk membagi harta rampasan perang yang diperoleh, setelah hari ketiga. Tidak ada harta atau makanan yang diberikan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah mengingatkan untuk segera mendistribusikannya. Rasulullah tidak merasa nyaman tidurnya dalam satu malam, jika masih ada harta masyarakat berada di sisinya”. Dengan kata lain, jika harta itu datang pada pagi hari, akan segera dibagikan sebelum tengah hari tiba. Demikian pula, jika harta itu datang pada siang hari, maka segera dibagikan sebelum malam tiba. Karenanya, pada saat itu, belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat dan arsip tertentu bagi pengelolaannya.
Sejarah Bait al-Mal Masa Abu Bakr al-Shiddiq
Pada tahun pertama kekhalifahan Abu Bakr, kondisi Bait al-Mal masih tetap seperti pada masa Rasulullah. Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah keekuasaan Islam, Ab Bakr membawa harta itu ke Masjid Nabawi untuk dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan ini, khalifah mewakilkan kepada Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah. Hal ini merupakan realisasi dari pernyataan Ab ‘Ubaidah ketika membaiat Ab Bakr selaku khalifah: “Saya akan membantumu dalam pengelolaan harta umat Islam”.
Pada tahun kedua kekhalifahannya, Abu Bakr merintis pengelolaan Bait al-Mal dalam arti yang lebih luas, yakni bukan sekadar sebagai pihak yang mwnangani harta umat, tetapi juga suatu tempat untuk menyimpan harta negara. Ab Bakr menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau kantung untuk menyimpan harta yang akan dikirim ke luar Madinah.
Sejarah Bait al-Mal Masa ‘Umar ibn al-Khaththab
Ketika ‘Umar terpilih menjadi khalifah, ia mengumpulkan para bendaharawan dan masuk ke rumah Ab Bakr untuk membuka Bait al-Mal. Ternyata ‘Umar hanya menemukan satu dinar yang terjatuh dari kantongnya.
Setelah terjadi berbagai penaklukan (al-futuhat) terhadap beberapa negara, seperti Persia dan Romawi, semakin banyaklah harta rampasan yang mengalir ke Madinah. Dengan kondisi itu, ‘Umar kemudian membangun sebuah rumah khusus tempat menyimpan harta, mengangkat pegawai pengelola, menetapkan gaji-gaji mereka dari harta Bait al-Mal, dan membangun angkatan perang. Terkadang ia menyisakan seperlima bagian di masjid untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
Selama memerintah, ‘Umar tetap memelihara Bait al-Mal secara hati-hati. Ia selalu menerima pemasukan dari sesuatu yang halal dan mendistribusikannya secara optimal. Dalam salah satu pidatonya, ‘Umar berkata: “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini, melainkan dua potong pakaian musim panas, sepotong pakaian musim dingin, serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari bagi seorang Quraisy biasa; sedangkan aku adalah orang biasa, sebagaimana kebanyakan umat Islam”.
Sejarah Bait al-Mal Masa ‘Usman ibn ‘Affan
Pada enam tahun pertama pemerintahan ‘Usman bin Affan, pengelolaan Bait al-Mal tetap berjalan sebagaimana sebelumnya. Namun, pada enam tahun kedua, karena pengaruh dari kaum kerabatnya, ‘U£man mendapat protes dari masyarakat mengenai pengelolaan Bait al-Mal.
Ibn Sa’ad menukil riwayat dari Ibn Syihab al-Zuhriy bahwa ’Usman mengangkat kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari pemerintahannya. Ia memberikan seperlima harta rampasan perang kepada Marwan ibn al-¦akam dari penghasilannya di Mesir dan memberikan harta yang banyak kepada keluarganya yang lain. ‘U£man menafsirkan tindakannya itu sebagai bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah. Ia juga meminjam harta Bait al-Mal untuk digunakannya sendiri, sambil berkata: “Ab Bakr dan ‘Umar tidak mengambil hak mereka dari Bait al-Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagikan kepada kerabatku”. Dengan tindakannya itu, masyarakat luas memprotesnya.
Sejarah Bait al-Mal Masa ‘Ali ibn Abi Thalib
Ketika ‘Ali ibn Abi Thalib menjabat sebagai khalifah, ia memposisikan kembali Bait al-Mal sebagaimana halnya pada masa ‘Umar ibn al-Khaththab. ‘Ali yang juga mendapat santunan dari Bait al-Mal, mendapatkan jatah pakaian yang bisa menutupi tubuhnya sampai separuh kakinya, bahkan bajunya itu penuh dengan tambalan.
Ketika terjadi pertempuran antara ‘Aliy dengan Mu’awiyah ibn Abiy Sufyan, orang-orang yang dekat di sekitar ‘Aliy menyarankan agar ia memanfaatkan dana dari Bait al-Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Mendengar saran itu, ‘Aliy sangat marah dan berkata: “Apakah kalian meminta aku untuk mencari kemenangan dengan kelaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit”.
Sejarah Bait al-Mal Masa Khalifah-khalifah Sesudahnya
Setelah kekhalifahan Islam secara demokratis runtuh dan beralih menjadi sistem monarchi, pengelolaan Bait al-Mal menjadi berubah. Kalau pada masa sebelumnya Bait al-Mal dikelola secara hati-hati sebagai amanat Allah dan rakyat, maka pada masa Daulah Bani Umayyah, Bait al-Mal sepenuhnya berada di bawah kekuasaan khalifah, tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik rakyat.
Keadaan tersebut berlangsung hingga Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz. Khalifah yang disebutkan terakhir ini berupaya membersihkan Bait al-Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. ‘Umar membuat perhitungan dengan para gubernurnya, agar mengembalikan harta yang bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di samping itu, ia sendiri mengembalikan milik pribadinya yang waktu itu berjumlah 40.000 dinar setahun ke Bait al-Mal. Harta tersebut adalah warisan dari ayahnya, ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan. Di antara harta itu terdapat perkampungan Fadak, sebuah desa di sebelah utara kota Mekah, yang sejak nabi wafat dijadikan milik negara. Namun, ketika Marwan ibn Hakam (kakek ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz) menjabat sebagai khalifah, memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskan kepada keturunannya.
Akan tetapi, pengelolaan Bait al-Mal yang telah dikembalikan ‘Umar kepada posisi yang sebenarnya, tidak bertahan lama. Dengan keserakahan para khalifah yang berkuasa sesudahnya, telah meruntuhkan sendi-sendi Bait al-Mal. Keadaan demikian berkepanjangan hingga berakhirnya kekuasaan khilafah Islamiyyah yang terakhir, yaitu Daulah U£maniyyah di Turki tahun 1924.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber