Sejarah NU (Nahdhatul Ulama)
Pada: September 02, 2012
Secara resmi, NU (Nahdhatul Ulama) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di kota Surabaya. Latar belakang berdirinya, mempunyai akar sejarah yang panjang. Dua tokoh penting yang telibat di dalamnya adalah K. H. Hasyim Ay’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.
Sejarah berdirinya NU, bermula dari suatu kelompok diskusi taswir al-afkar (potret pemikiran) yang dibentuk oleh K.H. Wahab Hasbullah bersama rekannya K. H. Mas Mansur. Dari kelompok diskusi inilah kemudian dibentuk organisasi yang diberi nama jam’iyah nahdha al-wathan (perkumpulan kebangkitan tanah air). Organisasi ini, bertujuan untuk mem-perluas dan mempertinggi mutu pendidikan madrasah.
Pada tanggal 21-27 Agustus 1925, diadakan kongres al-Islam ke-4 di Yogyakarta, yang membahas tentang “pemurnian ajaran Islam” dan masalah khilafah. Disebabkan posisi yang tidak mengutungkan, dan dengan maksud untuk tetap mempertahankan terpeliharanya praktek-praktek keagamaan tradisional, seperti ajaran-ajaran mazhab yang empat, pemeliharaan kuburan Nabi dan keempat sahabatnya di Madinah, maka lalu dibentuklah suatu komite yang diberi nama “Komite Merembuk Hijaz”. Komite inilah, yang kemudian pada tahun berikutnya, berubah nama menjadi “Nahdlatoel Oelama” (Nahdlatul Ulama) yang disingkat menjadi “NU” dan diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ary.
Dalam skala nasional, saham NU sangat banyak di saat pra dan detik-detik kemerdekaan RI. Diterimanya Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar konstitusi negara RI merupkan sebuah perjanjian luhur bangsa yang tidak lepas dari peran nasionalis dan pemuka NU. NU telah berhasil melakukan sebuah transformasi besar-besaran, khususnya di bidang sosial dan budaya. Tidak dipungkiri lagi, bahwa mainstream ke-Indonesia-an adalah ke-NU-an.
Selepas proklamasi kemerdekaan, orientasi NU lebih terkonsetrasikan pada transformasi bidang sosial-politik. Jasa para kiyai dan warga NU dalam perang kemerdekaan, sangat memberi andil bagi kelangsungan negara RI. Begitu juga keberadaan NU sebagai sebuah parpol pada pemilu tahun 1955. Era transformasi bidang sosial politik ini, berakhir saat NU memutuskan kembali ke khittah 1926, pada Muktamar NU-27 tahun 1984 di Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi.
Lebih dari itu, di era reformasi multi partai, tidak terjunnnya NU ke kancah politik praktis juga memainkan peran strategis bagi kontituitas bangsa dan negara melalui pemerintah. Juga secara politis, warga NU semakin leluasa menyalurkan aspirasi politiknya dalam wadah partai yang lahir dari NU, yakni PKB. Karena itu, bila PKB berkemelut, maka dengan segera PBNU mengeluarkan tawshiyah. Jadi, bukan berarti bahwa peran ulama NU termarginalisasikan, karena posisinya itu justeru di atas para politisi, khususnya politisi nahdliyin (pengikut NU).
Di samping masalah kenegaraan secara internal, NU juga kelihatannya senantiasa mengambil peran dan memberi solusi terbaik bagi negara-negara lain secara eksternal, terutama negara-negara Islam. Cabang-cabang NU, memang eksis juga di luar negeri. Sekarang, PCNU Arab Saudi, diketuai Ir. A. Fuad Abdul Wahab. PCNU Cabang Mesir, diketuai Bukhari Sail, Lc. PCNU Cabang Syiria, diketuai Muflih Sabhan; PCNU Malaysia, diketuai K.H. Fawaid As’ad. PCNU Tunisia, diketua H. Yazid al-Butoniy, lc. Bahkan, di sejumlah negara-negara Barat juga telah dibuka cabang. Ketua PCNU Inggris, yang barusaha terpilih adalah Eddiyanto.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Martin Van Bruinessen, Traditional Muslim in A Modernizing World The Nadhlatul Ulama, diterjemahkan oleh Farid Wajedi dengan judul NU; Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pen-carian Wacana Baru (Cet. I; Yogya: LKIS, 1994). K.H. Said Aqiel Siradj, “Nahdlatul Ulama di Era Reformasi” dalam Jauhar Hatta Hasan (ed), Islam Kebangsaan; Fiqih Demokratik Kaum Santri (Cet. I; Jakarta: Pustaka Cinganjur, 1999).