Ajaran dalam Tasawuf Simuh
Pada: October 19, 2012
Ajaran dalam tasawuf Simuh mengakui adanya perubahan pemaknaan hakekat tasawuf. dalam Islam.:
“... Sering tidak mudah dalam mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya stereotyped idies yang telah lama direntang oleh para pendukung Tasawuf, terutama rumusan propagandis penyusun sintesis antara kasyfi (tasawuf) dan naqli (syariat) sepeti al-Ghazali, al-Qusairy dan sebagainya atau para Ulama yang berusaha ”membelokkan” pengertian Taswuf dari penghayatan kasyf ke arah ‘Abid semisal Ibnu Khaldun dengan teorinya syariat al-haditsah atau ke arah akhlak (ihsan) seperti Ahmad Rifa’i, dengan pesantren ubudiahnya.”
Ajaran dalam tasawuf Simuh, menjelaskan terdapat persamaan mendasar yang menjadi ciri perkembangan Tasawuf pada tiap-tiap fase, sehingga ektisitas tersebut dinamakan Taswuf. Yakni sisi penyucian dan pembersihan jiwa dengan mengendalikan nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan, kekejian dan mengekangnya dari kerakusan serta dengan mempertinggi budi pekerti yang terpuji.
Kata kunci dan inti ajaran tasawuf Simuh adalah fana’ (ecstasy) dan kasyf (iluminasi). Penghayatan mistik semata-mata tanggapan kejiwaan di tengah meditasi yang dalam tasawuf dilakukan dengan dzikir. Dan bagi yang mempercayai bahwa tanggapan itu sebagai penghayatan terhadap realitas (hakikat Tuhan) maka jadilah Ia seorang mistikus.
Dalam pemikiran tasawuf Simuh, untuk mencapai sebuah puncak penghayatan terhadap sang pencipta dan untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang Sufi harus menempuh jalan jenjang yang berisi stasion-stasion yang disebut maqamat. Simuh menjelaskan, bahwa maqam itu sejenis adab yang didapatkan seorang hamba dalam rangka meningkatkan ruhaninya, yang harus dicapai dengan ikhtiyar dan berkerja keras.
Selanjutnya setelah melalui beberapa tingkatan maqam, seorang Sufi akan medapat penghayatan yang sering disebut dengan ahwal. Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminilogi ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah.
Sebagaimana tujuan kesufian adalah ingin mendapatkan penghayatan ma ’rifat kepada Allah. Ma ’rifat, dalam pemikiran tasawuf Simuh, bukan tanggapan rasio atau tanggapan indra akan tetapi pengalaman atau pengahayatan kejiwaan. Yakni penghayatan yang dialami waktu dalam keadaan fana’. Dalam ajaran tasawuf, ma ’rifat merupakan salah satu dari bermacam ahwal yang mereka alami.
Fana ’dan ma’arifat adalah hal al-A’dham menurut pemikiran tasawuf Simuh adalah puncak penghayatan sufiyah. Maka dalam menempuh perjalanan ruhani ini para Sufi mengalami perubahan perasan dan pengalaman kejiwaan. Pengalaman dan perasaan kejiwaan berubah dan dialami secara tiba-tiba, tanpa ikhtiyar inilah mereka namakan ahwal. Ahwal ini terjadi di luar usaha, maka mereka pandang sebagai hibah atau anugerah dari Allah. Jadi hal berbeda dengan maqam, karena maqam harus diusahakan. Hal atau (ahwal) adalah penghayatan yang datang dalam hati (dialami dalam jiwa) tanpa kesengajaan dari mereka dan tanpa diusahakan”. Selanjutnya Simuh menegaskan pula bahwa ahwal itu adalah anugerah dari Allah sedangkan maqamat merupakan jerih payah dari hamba. Ahwal itu berubah-ubah sedangkan maqamat bersifat tetap.
Dimensi aksiologis tasawuf dengan tidak hanya untuk menghayati eksistensi Tuhan tetapi diarahkan untuk menghayati perintah-perintah Tuhan. Oleh karena itu sangat bersifat praktis, sosiologis, historis, dan empiris (membumi). Dengan perbedaan aspek aksiologis, sebelumnya tasawuf lebih menekankan kesalehan individual. Sedangkan pada konsep tasawuf Ibn Taimiyah yang menekankan terbentuknya kesalihan individual dan sosial secara seimbang dan simultan.
Menurut pemikiran tasawuf Simuh, prinsip-prinsip ajaran tasawuf dalam banyak hal memang amat positif dan memancarkan spiritualitas yang hebat yang mendukung jiwa dan ahlak mulia, namun juga mengandung “racun’ yang menumbuhkan berbagai macam bid’ah dan khurofat yang tidak mungkin dihindarkan.
Tasawuf dimata Simuh seperti seperti halnya “pembaharu” Islam yang lainya seperti Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Hamka, Nurcholis Majid dan lainnya. Dengan kata lain Tasawuf yang Simuh akui adalah tasawuf yang bersendikan dengan al-Quran dan Sunah serta berpangkal dari “tauhid murni” serta kembali kepada ajaran Nabi.
Simuh membagi tasawuf menjadi dua bagian. Pertama, Tasawuf Islam. Tentang pengertian tasawuf Islam Simuh lebih dekat dengan pendapatnya Ibn Khadun yakni: ajaran yang mementingkan ‘abid dan zahid Sikap hidup yang tekun beribadah dan tidak tamak terhadap. Kedua, Tasawuf Murni atau Tasawuf Mistik. Adalah suatau ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakekat tuhan dapat dicapai dengan meditasi atau kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal dan panca indra.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta; Rajawali Pers,1996). Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).