Hukum Aqiqah menurut Ulama Fikih
Pada: October 22, 2012
Ulama berbeda pendapat tentang status hukum aqiqah. Menurut Daud Adz-Dzahiri dan pengikutnya, hukum aqiqah, wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama hukum aqiqah adalah sunnah. Imam Abu Hanifah menetapkan bahwa hukum aqiqah adalah ibahah artinya tidak wajib dan tidak sunnah.
Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam bukunya Minhajul Muslimin, mengatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkad bagi orang yang mampu melaksanakannya, yaitu bagi orang tua anak yang dilahirkan.
Perbedaan itu terjadi karena berbeda dalam menginterpretasikan makna dan maksud hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan dari Samurah (baca di sini).
Menurut Imam Ahmad maksud dari kata-kata; “anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya”, dalam hadis tersebut ialah bahwa pertumbuhan anak itu, baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap ibu bapaknya pada hari kiamat akan tertahan, jika ibu bapaknya tidak melaksanakan aqiqah baginya. Pendapat tersebut juga diikuti al-Khattabi dan didukung oleh Ibn Qoyyim. Bahkan Ibn Qoyyim menegaskan, bahwa aqiqah itu berfungsi untuk melepaskan anak yang bersangkutan dari godaan syetan. Selanjutnya kata “Murtahanun” ditafsirkan bahwa aqiqah adalah suatu kebiasaan yang harus dilaksanakan seperti keharusan seseorang menebus barang yang digadaikan. Pendapat ini menguatkan aliran Daud Adz-Zahiri yang mengatakan bahwa aqiqah itu wajib.
Dalam kitab-kitab fikih Imam Syafi’i, selalu dinyatakan bahwa hukum aqiqah adalah mustahab (sunnah). Maksudnya bagi orang tua muslim, khususnya bagi yang mampu, bahwa mengaqiqahkan anak adalah perbuatan yang sangat disukai oleh Allah swt dan sangat baik, yang hal ini juga membuktikan rasa cinta kasih mereka terhadap anak-anaknya.
Menurut Imam Malik, hukum aqiqah adalah suatu sunnah yang disyari’atkan. Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah mengatakan bahwa hukum aqiqah merupakan ibadah sunnah muakkad bagi mereka yang mampu. Hukum yang berlaku pada aqiqah ini adalah sama seperti hukum yang berlaku pada binatang qurban, tetapi dalam aqiqah tidak diperbolehkan adanya kebersamaan (satu kambing untuk beberapa anak)
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid VI, Alih Bahasa A. Hanafi M.A., (Jakarta: Bulan Bintang, 1969). Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak (Minhajul Muslim),Alih Bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991). Ahmad Ma’ruf Asrari, Suheri Ismail, Khitan dan Akikah: Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya: Al-Miftah, 1998).