Konsep 'Kekal' dalam al-Quran
Pada: October 23, 2012
Konsep kekal dalam al-Quran. memiliki berbagai makna dan pemahaman. Makna kata ini dalam bahasa Arab dinyatakan dalam berbagai kata, seperti khuld, baqa’, qarar, dan sebagainya. Penyebutan kata ‘kekal’ dengan berbagai varian kata, padahal pada subyek yang sama, harus dilihat sebagai adanya maksud-maksud dan tujuan tertentu. Hal seperti itu oleh Shahrur dinilai sebagai tidak adanya sinonimitas dalam al-Quran. Menurutnya, tidak mungkin manusia sebagai makhluk melebihi pengetahuan Allah (Khaliq) dalam hal penyebutan suatu istilah kata untuk menunjukkan pesan tertentu.
Dalam al-Quran, terdapat beberapa redaksi untuk menunjukkan makna kekal. Beberapa redaksi itu di antaranya: khuld, baqa’, muqim, qarar, washib, serta berbagai derivasinya; di samping juga kata-kata yang dapat dimaknai sebagai kekal dalam konteks tertentu.
Kata khuld berarti kesinambungan keadaan dan keberadaannya dalam keadaan tidak disentuh oleh perubahan atau kerusakan. Kata ini pada mulanya digunakan untuk sesuatu yang dapat bertahan lama, walaupun tidak sepanjang masa. Kata ini pun, dalam berbagai derivasinya, memiliki banyak arti. Selain berarti kekal atau abadi, kata khuld dapat pula berarti, tikus tanah atau suara burung; Al-Khawalid berarti pegunungan, batu, karena lamanya dalam keadaan seperti itu; Akhlada ilaih berarti cenderung, setia sepenuhnya.Selanjutnya kata ini dipahami sebagai suatu keadaan yang tidak berubah, tetap, dan tidak ada habisnya. Yaum alkhulud, berarti hari kekekalan (Qs. Qaf 50: 34).
Selain itu, makna kekal juga ditemukan pada kata baqa’. Kata baqa’, sebagai lawan dari fana’, berarti kekal, tidak rusak. Kalimah baqiyah berarti perkataan yang kekal (Qs. az-Zukhruf 43: 28).
Sedangkan kata muqim, pada mulanya berarti ‘mendirikan’. Selanjutnya berarti berdiam pada suatu tempat dan diartikan sebagai yakni kekal. Maqam atau muqam berarti berdiam pada suatu tempat. Na ’im muqim berarti kesenangan yang kekal (Qs. at-Taubah 9: 21).
Kata qarar berarti tetap, stabil. Yaum an-nahr disebut juga yaum al-qarr karena berarti hari ketika menetap di Mina. Sedangkan dar al-qarar berarti negeri yang kekal (Qs. al-Mukmin 40: 39).
Makna kekal juga ditemukan pada kata hay. Kata ini pada mulanya berarti hidup. Dari kata itu dapat juga dibentuk kata tahiyyah yang berarti keselamatan, kehidupan sebenarnya, kekekalan, kekuasaan. Huwa al-hayy berarti Dialah yang Hidup Kekal (Qs. al-Mukmin 40: 65).
Kata washib berarti langgeng, tetap. Mafazah washibah berarti jarak yang sangat jauh. Ini menunjukkan bahwa sesuatu itu mempunyai masa yang sangat lama. Selanjutnya adzab washib berarti siksaan yang kekal (Qs. ash-Shaffat 37: 9), sedangkan ad-din al-washib berarti ketaatan yang selama-lamanya (Qs. an-Nahl 16: 52).
Kata abada berarti suatu masa, langgeng, permulaan yang azali. Kata ini identik dengan washib yang berarti kekal, selama-lamanya. Kata ta ’bid memiliki arti takhlid, yakni pengekalan atau pengabadian.
Sedangkan makna kekal yang lain juga dapat dijumpai pada kata gharam. Kata ini terambil dari kata yang berarti utang. Orang yang memiliki utang disebut gharim. Selanjutnya kata gharam ini berarti keburukan yang kekal, kerusakan, adzab.Kata gharam ini sendiri secara mandiri telah memiliki arti sebagai kebinasaan yang kekal (Qs. al-Furqan 25: 65).
Dari seluruh makna kekal yang diserap dari berbagai redaksi al-Quran di atas, dapat dipahami bahwa pengertian kekal adalah suatu keadaan yang tetap, stabil, tidak berubah, tidak rusak, serta tidak ada habisnya atau selama-lamanya. Namun apakah pengertian kekal dalam bahasa manusia ini telah sesuai dengan yang apa yang dimaksud oleh Allah selaku pemberi pesan, tampaknya perlu kajian lebih mendalam. Ukuran waktu bagi manusia jelaslah tidak sama dengan Tuhan, sebab Tuhan berada di luar dimensi ruang dan waktu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Mizan, Bandung, Cet. III, 1998). M. Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, “Pengantar”, Terj. Sahiron Syamsuddin, eLSAQ, (Yogyakarta, 2004). M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. VI, (Lentera Hati, Jakarta, 2002). Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuzabadi, Al-Qamus Al-Muhith, (Dar al-Fikr, Beirut, 1995).