Kritik Simuh terhadap Ajaran Tasawuf
Pada: October 19, 2012
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf, yakni pengalaman makrifat pada dzatullah secara langsung tatap muka dengan Tuhan. Tujuan ini hanya dicapai melalui pengalaman kejiwaan atau dzauq yang prosesnya dinamakan kasyful hijab (terbukanya tabir). Fana’ dan Kasyaf menurut Simuh adalah yang menjiwai seluruh pikiran dan perbuatan ketasawufan. Semua kegiatan pikiran dan perasaan yang dimunculkan oleh para Sufi beserta konsep-konsep yang mencitrakan ketasawufan, tidak berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan citra fana’ dan kasyaf ini adalah kabur, dan memberikan gambaran yang keliru dan tidak jelas tentang tasawuf.
Dari tujuan utama tersebut, menurut Simuh telah melahirkan “akidah baru” yang menyimpang atau berbeda dengan IImu Kalam atau teologi Islam. Ilmu Kalam menggariskan bahwa “ru’yatullah “ atau melihat Allah secara langsung hanya akan bisa dicapai oleh ahli surga.Jadi menurut akidah dalam Ilmu Kalam, manusia akan baru bisa melihatAllah nanti di surga, dan bukan di dunia ini. Sebaliknya Tasawuf mengatakan manusia bisa langsung melihat Allah di dunia.
Simuh juga mengkritik tasawuf Rabiah al-Adawiyah dengan ajaran cinta rindunya. Sebagai seorang Sufi yakin bahwa manusia bisa melihat dzat Allah dalam hidupnya di dunia, maka Rabiah al-Adawiyah mengembangkan ajaran cinta dan rindu. Cinta yang mendorong kegandrungan jiwa manusia untuk menikmati kebahagiaan dalam bertemu muka atau bahkan agar dapat bercengkrama dengan Tuhan kekasihnya. Islam memang mengajarkan setiap muslim harus mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada apapun di dunia ini, namun menurut Simuh yang digariskan dalam al-Quran dan Hadits hanyalah cinta taat atau cinta bakti laksana cintanya rakyat dengan rajanya. Jadi bukan cinta rindu.
Cinta Dzat atas dasar emosional murni (‘aatifiyun) ini dimulai dari hubbul hawa, akirnya memuncak jadi mabuk cinta (sakara). Bisa dibayangkan bagaimana percintaan seorang Hamba dengan Tuhanya bila sampai memuncak, maka akan memanggil Tuhan “aku ya kamu”? . Dari ajararan Dzat yang emosional murni ini menunjukkan bahwa dasar pikiran sufisme itu mengarah pada faham ketuhanan yang panteistik, yakni faham.Menurut Simuh, cinta pada dasarnya adalah rasa emosional, sedangkan dalam agama dikendalikan oleh batas-batas penalaran yang jernih. Yakni cinta yang menimbulkan rasa keihlasan berbakti dan beribadah, memperhambakan diri, bukan ingin menguasai dan memuaskan, emosinya. Kemudian Simuh memperkuat pendapatnya dengan mengutip ayat al-Quran yaitu surat Ali Imran ayat 31.
Simuh mengkritik tasawuf dan melihat, perubahan “aqidah” yang mendasar dalam tasawuf, menurut Simuh adalah masalah penciptaan alam, dalam ilmu kalam diajarkan bahwa alam diciptakan oleh Allah dari tidak ada menjadi ada, jadi bersifat baru (hadits). Dalam faham wujudiyah taswuf terdapat dua faham baru yaitu:
Pertama, adalah teori emanasi yang diketengahkan al-Hallaj, memandang Allah sebagi sumber yang memancarkan cahayanya ke segala penjuru. Pancaran pertama dinamakan Nur Muhammad atau Haqiqat Al-Muhammadiyah. Dan dari Nur Muhammad ini terpancar terciptanya alam semesta beserta isinya, Jadi alam dan manusia sebagai pancaran Nur Muhmmad dan Nurullah adalah qadim.
Kemudian berkaitan dengan teori pancaran Nur Muhammad pula bererti Tuhan Imannet atau hulul dalam diri manusia. Maka manusia mempunyai dua unsur, unsur nasut (manusiawi) dan unsur lahut (unsur ke Ilahian). Maka manusia bisa memancarkan unsur lahutnya akan menjadi manusia sempurna atau al-insan al-kamil seperti al-Hallaj yang menyatakan “Aku adalah Tuhan (al-Haq)”.
Kedua, adalah teori tajalliyat atau penampakan Tuhan keluar atau menurun tanpa mengurangi sifat mutlaknya. Teori ini diketengahkan oleh Ibnu ‘Arabi (1165-1240 M). Teori tajalliyat ini dibangun atas dasar hadits Nabi yang menerangkan bahwa Tuhan dalam keadaan mutlak tidak bisa dikenal sedang Tuhan ingin dikenalnya, maka diciptanya mahluk, yang dengan bantuan Tuhan, manusia bisa mengenal Allah.
Lebih lanjut dalam mengkritik pemikiran tasawuf klasik, Simuh melihat bahwa dasar pemikiran Sufisme al-Ghazali, al-Hallaj, Abu Yazid, Ibnu ‘Arabi dan Sufi pada umumnya itu sama saja. Bedanya al-Ghazali membatasi pengalamannya tidak menerjunkan diri ke dalam ke faham wujudiyah (Panteisme). Atau dengan rumusan lain fana’-nya al-Ghazali belum memuncak kearah fana ’al-fana’ atau fana‘an fana’ilahi. Bila fana’ al-fana’ belum mencapai puncaknya, menurut Simuh masih ada perbedaan antara diri makhluk dengan Tuhan yang sedang dihayati. Bila fana’ al-fana’ memuncak kesadaran akan eksistensi dirinya akan lenyap, tenggelam dalam kesadaran serba Tuhan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta; Rajawali Pers,1996). Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).