Pengertian Qishas-Diyat dan Ta'zir
Pada: October 05, 2012
Pengertian qishas dan diyat. Qishas dan diyat adalah tindak pidana yang dikenai adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman qishas atau hukuman diyat. Baik qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pelaku, dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi terhapus.
Pidana dalam kategori qishas dan diyat ada lima, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena tidak sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.
Sedangkan ta'zir adalah tindak pidana yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman. Pengertian ta’zir adalah memberi pengajaran (ta’dib). Tetapi untuk hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri, seperti yang akan terlihat di bawah ini.
Syari’at tidak menentukan macam-,macamnya hukuman untuk tiap-tiap ta’zir, tetapi menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai kepada seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam ta’zir serta keadaan si pelaku juga. Jadi hukuman-hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.
Juga jenis ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedang pada hudud dan qishas dan diyat sudah ditentukan, dan ta’zirtidak mungkin ditentukan jumlahnya. Syari’at hanya menentukan sebagian ta’zir, yaitu perbuatan yang selamanya akan tetap dianggap sebagai jarimah seperti riba, menggelapkan titipan, memaki-maki orang, suap-menyuap dan sebagainya, sedang sebagian terbesar dari ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan ketentuan-ketentuan syari’at dan prinsip-prinsipnya secara umum.
Maksud pemberian hak penentuan ta’zir kepada para penguasa, ialah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi sebaik-baiknya terhadap keadaan yang mendadak.
Perbedaan antara ta’zir yang ditentukan oleh syari’at dengan ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa (negara), ialah kalau ta’zir pada bentuk pertama tetap dilarang selama-lamanya, dan tidak mungkin akan menjadi perbuatan yang tidak dilarang pada waktu apa pun juga. Akan tetapi ta’zir bentuk kedua bisa menjadi perbuatan yang tidak dilarang ketika kepentingan masyarakat menghendaki demikian.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Cet. VIII; Yogyakarta: Mulit Karya Grafika, t.th.). Abd. Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996). Muhammad Salim al-Awa’, Fī Ushūl al-Nidzam al-Jinai’ al-Islam (Kairo: Dar al-Maarif, 1983).