Biografi Kiai Sahal Mahfudh
Pada: November 22, 2012
Kiai Sahal Mahfudh lahir di Kajen, Margoyoso Pati, 17 Desember 1937. Sejak kecil mendapatkan pelajaran agama dari sang ayah. Setelah itu, selama 6 (enam) tahun, Kiai Sahal Mahfudh menamatkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (tingkat dasar) Kajen, Pati. Dan di kota yang sama, beliau melanjutkan pendidikan formal Tsanawiyah (tingkat pertama) di Mathali'ul Falah.
Pengembaraan ilmu pengetahuannya tidak berhenti di tempat kelahirannya. Hingga Tahun 1957, Kiai Sahal Mahfudh meneruskan pendidikan di Pesantren Pare, Kediri asuhan Kiai Muhajir. Tiga tahun berikutnya (1957-1960) beliau belajar di Pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Dan untuk memperkaya perspektif keilmuan agama yang menjadi basicnya, maka dia selama 3 (tiga) tahun (1951-1953) juga kursus ilmu umum di Kajen.
Dari pengembaraannya inilah, Kiai Sahal Mahfudh banyak mendapat pengaruh dari ulama-ulama besar semisal Imam Syafi'i, Imam Asy'ari, Imam al-Ghazali dan ulama-ulama yang lain. Sehingga apa yang beliau 'putuskan' dari berbagai persoalan dalam buku ini, tidak akan lepas dari tokoh-tokoh tersebut. Kendati demikian, beliau sama sekali tidak mengkultuskan salah seorang dari tokoh-tokoh tersebut. Karena beliau menyadari bahwasanya masing-masing memiliki kukurangan dan kelebihan.
Kebanyakan mengenal Kiai Sahal Mahfudh sebagai sosok kiai yang bersahaja. Namun di balik kesederhanaannya, pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati, Jawa Tengah ini memiliki keluasan ilmu yang jarang dimiliki oleh kiai kebanyakan. Tidak salah kalau kemudian dalam sebuah penelitian yang dilakukan Mujamil Qomar, beliau disejajarkan dengan nama-nama besar semisal (alm) Achmad Siddiq sebagai tokoh NU yang memiliki pemikiran liberal. Bahkan beberapa waktu yang lalu, kiai yang bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh ini dianugerahi Doctor Honoris Causa (HC) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta karena keteguhannya dalam fikih Indonesia.
Kendati dengan latar belakang keilmuan pesantren, namun Kiai Sahal Mahfudh memiliki keluasan cara pandang dalam menyikapi berbagai persoalan. Dunia akademis banyak memberikan apresiasi sekaligus kepercayaan kepada beliau untuk bisa mentransformasikan keilmuannya di berbagai tempat. Tercatat, beliau pernah menjadi dosen pada kuliah takhassus fiqh di Kajen, Pati (1974- 1976), juga tahun 1974-1976 sebagai staf pengajar di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati, tahun 1982-1985 dipercaya menjadi dosen di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Bahkan semenjak tahun 1989 beliau menjadi Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Jepara).
Untuk kegiatan di Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal Mahfudh termasuk aktivis tulen. Secara berturut-turut, ia dipercaya sebagai Katib Syuriah NU Cabang Pati (1967- 1975). Tahun 1968-1975 sebagai Ketua II Lembaga Pendidikan Ma'arif Cabang Pati, selanjutnya tahun 1988-1990 sebagai Koordinator Keresidenan LP Ma'arif Cabang Pati. Antara tahun 1977-1978 dipercaya sebagai Wakil Wilayah Jawa Tengah. Dia sebagai Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah 1980-1982.
Sosok Kiai Sahal Mahfudh, sebetulnya dapat dibaca ketika dia memimpin dua buah institusi yang sama, akan tetapi dimainkan dengan cara berbeda. Meskipun demikian, kedua institusi itu bermuara sama, yakni menciptakan kemaslahatan umat. Kedua institusi yang dimaksud adalah Pesantren Maslakul Huda (PMH) dan Perguruan Islam Matholi'ul Falah (PIM) yang dipimpinnya sejak 1963.
Melihat latar belakang demikian, dinilai wajar apabila Kiai Sahal Mahfudh menerima "eksperimentasi" Proyek Pengembangan Masyarakat dari LP3ES, meskipun dia dikecam oleh sejumlah kiai karena dianggap "menyalahi kodrat" dunia pesantren. Dengan proyek ini, KH Sahal melakukan tiga hal: Pertama, pelestarian lingkungan (karena Kajen waktu itu tercemar limbah dari pabrik tepung Tapioka); Kedua, memperkenalkan teknologi terapan bagi penduduk desa, yaitu Tungku Lorena yang dapat menghemat energi dan biaya; dan ketiga merintis perkembangan organisasi ekonomi yang mandiri di kalangan rakyat pedesaan atau semacam home industry
Dalam terminologi Kiai Sahal Mahfudh, ibadah memiliki dua dimensi: ibadah individual (syakhsiyah) dan ibadah sosial (ibadah ijtima'iyah). Sebelum memulai dua aktifitas ibadah itu umat Islam harus membentengi diri dengan landasan transendensi dan intelektual yang cukup. Kedua aktifitas itu harus berjalan seiring, tidak boleh ada pemilahan atau penekanan pada salah satu. Pandangan demikian memang akan mengalami "kendala metodologis"' jika dikaitkan dengan fikih yang sifatnya legal formalistik dan dalam batas tertentu teologis. Belum lagi ditambah cara penyikapan umat Islam terhadap kitab fikih yang "terlalu tekstual" akan semakin menambah beban untuk mengkontekstualisasikan fikih. Kiai Sahal Mahfudh memandang sikap umat Islam yang tekstualistik terhadap fikih inilah yang menyebabkan fikih_tidak dapat "berdialog dengan realitas sosial.
Bagi KH Sahal, kitab fikih harus disikapi secara "manhaji" (metodologis) dan proporsional, agar tidak kehilangan elan vitalnya. Selain itu, penyikapan fikih yang tekstual justru paradoks dengan historisitas fikih itu sendiri yang lahir dari pergulatan antara "teks" dan "konteks". Berangkat dari alur pemikiran yang demikian itulah, tidak heran jika KH Sahal begitu gigih membela komunitas muslim (khususnya Kajen) yang terpuruk secara sosial dan ekonomi. Begitu juga KH Sahal dengan "santainya" menjalin hubungan dengan "orang-orang sekuler": suatu budaya yang selama ini dianggap "tabu" dalam komunitas NU.
Pada 1970-an, KH Sahal bersama keponakannya, Abdurrahman Wahid, terlibat intensif dengan kerja-kerja kultural di LP3ES, Jakarta. Demikian pula, KH Sahal dengan senang hati menerima uluran orang bule Paul Musante pada tahun 1985 mengajar Bahasa Inggris di PIM meskipun dikecam oleh kyai lain.
Untuk mengetahui sikap moderat Kiai Sahal Mahfudh, dapat disimak dalam pelbagai tulisannya baik yang tertuang dalam buku seperti Nuansa Fikih Sosial yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), 1994, maupun makalah-makalah yang dibuat sejak 1970-an serta dalam media massa terutama Suara Merdeka (sejak 1991 sampai sekarang) atau Majalah Aula (1988-1990) dan Jawa Pos. Aktifitas organisasi yang demikian padat, tidak menurunkan produktifitas dalam berkarya dan membela kaum lemah. KH Sahal sampai sekarang tetap memegang kendali PMH dan menjalin kerjasama dengan LSM asing, demi satu hal: Kemaslahatan umat. Itulah mungkin yang membuat semua orang kagum kepadanya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sahal Mahfud, Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat), (Surabaya: Ampel Suci, 2003). Abdul Jamil, Kajian Ulang tentang Peran Pesantren Sebagai Pembentuk Kebudayaan Indonesia, (Hasil penelitian pada Puslit IAIN Walisongo 1998/1999). Sumanto al-Qurtuby, Sahal Mahfudh Era Baru Fikih Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999). Abdurrahman Wahid, Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, (Yogyakarta: LkiS, 1997). Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 2004). Imam Yahya, dalam Kritik Epistemologi Bahtsul Masa 'il, (Jurnal al-Ahkam, edisi 23/th.VII, September, 1998). John L Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1945).