Ketentuan Warisan Khuntsa Musykil
Pada: November 23, 2012
Setiap ahli waris berhak menerima bagian warisnya, setelah apa yang mereka harus penuhi telah terlaksana. Hukum waris tidak di bedakan antara laki-laki dan perempuan sehingga tak perlu adanya pengkhususan masalah khuntsa musykil, seperti masalah zakat harta, zakat fitrah dan sejenisnya.
Ulama faraid, setelah mengadakan penelitian tentang khuntsa, menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya khuntsa musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu mesti terdiri dari anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman.
Oleh sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka anaknya akan mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah laku seperti perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama seperti lelalki. Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang menjadi wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia bertingkah seperti lelaki.
Dalam al-Quran, telah banyak menjelaskan ayat-ayat tentang waris bagi laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya, tetapi tidak menjelaskan waris bagi khuntsa. Untuk menghindari terjadinya kevakuman hukum, para ahli fara’id berijtihad, ijtihad mereka itu bertitik tolak dengan ketentuan yang telah ada.
Ijtihad yang dilakukan adalah dengan jalan mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan. Dalam mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan ada dua cara yang di gunakan.
Meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing. Jika seorang anak membuang air kecil melalui farj inya, tapi air yang lewat alat kelamin lebih dahulu keluarnya dari pada yang lewat farj maka ia dianggap sebagai orang laki-laki, sebaliknya jika ia terlebih dahulu kencing melalui farj maka ia dianggap sebagai orang perempuan.
Berikanlah warisan menurut kelamin mana ia pertama kali buang air kecil. (HR. Ibnu Abbas)
Meneliti tanda-tanda kedewasaannya. Jika penelitian alat kelamin yang dipergunakan membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat ditempuh jalan lain yaitu meneliti kedewasaan bagi si khuntsa, sebagaimana diketahui adannya ciri kesamaan laki-laki dan perempuan j uga ada ciri perbedaannya.
Bila seseorang mengeluarkan haid, maka dia perempuan sebab lelaki menurut kodratnya tidak haid. Namun bila ia haid tapi air kencingnya atau keluarnya sperma dari alat kelamin lelaki maka namanya khuntsa musykil. Bila sampai umur dewasa ia tidak haidl atau pernah haidl (sekali dua kali) tapi kemudian berhenti total (bukan karena sebab) dalam usia subur normal maka status hukumnya lelaki, sebab menurut kudratnya wanita itu mengalami haid teratur pada waktunya sampai umur monopose, kehamilan dan melahirkan.
Bila seorang khuntsa talah jelas status hukumnya, berarti ia hukumnya lelaki atau perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan sebagainya.
Namun hal tersebut terkadang bisa menjadi jelas bila ia dewasa dengan melihat fungsi alat kelamin mana yang lebih berperan tapi banyak juga yang sampai dewasa tetap musykil. Kesulitan menentukan jenis kelaminnya membawa kesulitan dalam menetapkan pembagian warisnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Imam An Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, (Bairut: Darul Fakir). Imam Al-Baehaki, Al-Sunan Al-Kubro, (Dar AlFikr, tth). Asy Syaafi’I, Muhammad bin Idris, Al-Um, (Beirut: Darul Marifah Kitabiyah wan Nasyr tth). Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, Al-Mirats fis Syariatil Islamiyah, (Muassassatul Risalah, Beirut, 1986/1407).