Metafora dalam Bahasa
Pada: November 19, 2012
Manusia memiliki kemampuan dan kreativitas untuk menciptakan dunia lambang untuk menandai realitas, baik abstrak maupun kongkrit. Kreativitas manusia dalam penciptaan lambang tersebut menghasilkan berbagai bentuk bahasa, seperti bahasa natural (bahasa yang digunakan dalam kehidupa sehari-hari), bahasa artifisial (bahasa komputer), dan bahasa simbolis (bahasa matematika dan logika). Salah satu kreativitas berbahasa manusia itu terwujud dalam metafora.
Kajian metafora semakin mendapatkan posisi penting karena tumbuhnya kesadaran bahwa bahasa bukan hanya sekedar cerminan realitas, melainkan juga pembentuk realitas. Metafora adalah sebuah fenomena kebahasaan yang berlaku dalam tataran semantik. Metafora terkait dengan relasi antara satu kata dengan kata lain dalam membentuk sebuah makna.
Metafora berarti menembus, maksudnya menembus makna linguistik. Metafora tergolong bahasa kiasan (majas), seperti perbandingan, tetapi tidak mempergunakan kata pembanding. Metafora menyatakan sesuatu hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.
Metafora dipandang sebagai bentuk bahasa yang khas, dan bisa juga aneh karena relasi kata dalam metafora melampaui batas relasi bahasa secara literal yang telah disepakati bersama dalam komunikasi keseharian. Metafora ditandai dengan penggantian ciri relasi, asosiasi, konseptualisasi, dan analogi dalam penataan hubungannya. Contoh metaforaa dalam puisi Gunawan Muhammad:
“Tahun pun turun membuka sayapnya. Kata sayap yang mulanya mempunyai relasi khusus dengan burung kemudian dihubungkan dengan tahun melalui pola asosiasi. Pergantian tahun dipandang memiliki kesejajaran dengan terbukanya sayap burung yang menandai perjalanan atau gerak burung.”
Metafora selama ini dikaitkan dengan pengkajian bahasa puisi dan bahasa sastra. Teori sastra mengenal adanya pemajasan (figure of thought), yaitu teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan yang maknanya tidak menunjuk kepada kepada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan kepada makna yang tersirat. Pemajasan merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa analogi. Dalam pemajasan, masih ada hubungan antara makna kata sebenarnya dengan makna kiasannya, tetapi makna tersebut harus ditafsirkan oleh pembaca. Pemajasan dipandang sebagai penyimpangan bahasa atau makna, tetapi pemakaian bentuk analogi tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan kesan atau suasana tertentu. Metafora adalah ragam pemajasan yang menggunakan gaya perbandingan yang implisit dan tidak langsung. Hubungan antar kata bersifat sugestif, tanpa kata-kata yang menunjukkan perbandingan secara jelas.
Penggunaan metafora tidak terbatas dalam bahasa sastra, melainkan juga dalam bahasa keseharian. Metafora berjasa dalam penciptaan istilah-istilah baru, seperti kaki kursi, kepala pasukan, mata angin, sayap pesawat, dan sebagainya. Kata-kata tersebut pada mulanya bekerja secara analogis. Penyangga kursi dianalogikan dengan kaki, pimpinan pasukan dianalogikan dengan kepala, penjuru angin dianalogikan dengan mata, dan bagian pinggir sayap yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan dianalogikan dengan sayap. Karenanya, ada ahli linguistik yang berkeberatan jika metafora dipandang sebagai penyimpangan terhadap praktek kebahasaan yang normal. Kata-kata kaki kursi, kaki gunung, dan leher botol berlaku secara analogis dengan tubuh manusia. akan tetapi, kata-kata tersebut tidak lagi dirasa sebagai metafora sehingga disebut dengan metafora mati (dead metaphor).
Wellek dan Warren menyarankan agar dibedakan antara metafora sebagai prinsip kebahasaan dengan metafora yang khas puisi. Metafora pertama menjadi ladang bagi ahli tata bahasa dan metafora kedua menjadi ladang ahli retorika. Ahli tata bahasa menilai kata berdasarkan etimologinya, sedangkan ahli retorika menilai kata berdasarkan dampaknya terhadap pendengar. Perbedaan mendasar antara metafora dalam karya sastra dengan metafora dalam bahasa keseharian (sebagai prinsip kebahasaan) adalah apabila yang pertama umumnya bersifat perseorangan, maka yang kedua berkaitan dengan motivasi sosial yang sesuai dengan arbitraritas simbol kebahasaan.
Wellek dan Warren mengajukan empat elemen dasar dalam konsepsi metafora, yaitu elemen analogi, elemen, visi ganda, elemen imaji sensual, dan proyeksi animistik. Elemen terakhir dimasukkan barangkali karena, menurut Heinz Werner, metafora menjadi aktif pada masyarakat primitif yang memiliki tabu. Wellek dan Waren menyadari bahwa empat elemen tersebut tidak mungkin secara merata hadir karena perbedaan sifat dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Orang-orag Greco- Roman cenderung membatasi metafora sebagai analogi, sementara orang-orang Teutonic lebih menekankan pada simbol imaji.
Berdasarkan pengkajian kepada elemen-elemen dasar metafora tersebut, boleh jadi setiap ujaran bahasa mungkin mengandung metafora. Metafora dalam kreasi sastra umumnya bersifat personal, sementara dalam komunikasi keseharian bersifat sosial. Metafora terjadi karena adanya perubahan makna literal ke makna metaforal. Pengalihan tersebut terjadi dalam tataran semantik berdasarkan kemiripan persepsi makna. Hal itu terjadi karena bahasa bekerja melalui proses penggantian satu realitas ke realitas lain. metafora dapat membantu menciptakan dan mempertahankan pandangan dunia. Metafora dapat melahirkan wawasan yang baru dan pencerahan yang segar.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sunardi. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. 2002). Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press. 2002). Paul Ricouer. Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Diindonesiakan oleh Musnur Hery. (Yogyakara: IrciSoD. 2002). Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. (Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2001). Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: UGM Press, 2002). Wellek, Rena dan Austin Warren, Theory of Literature. (New York: Harcourt, Brace & World INC, 1970).