Relasi Agama dan Negara
Pada: November 08, 2012
Persoalan antara agama dan negara dalam masa modern merupakan salah satu subyek penting dan telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak seabad lalu hingga dewasa ini, namun belum terpecahkan secara tuntas. Seperti argumen banyak pemikir Muslim tradisional, Islam sebagai agama adalah sebuah sistem kepercayaan di mana agama mempunyai hubungan erat dengan politik.
Komunitas Islam yang bersifat spiritual sekaligus temporal; “agama” sekaligus negara. Islam memberikan pandangan dunia dan kerangka makna hidup bagi individu dan masyarakat, termasuk dalam bidang politik.
Dalam pemikiran politik Islam terdapat tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara. Nuansa di antara ketiga paradigma ini terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut. Kendati Islam dipahami sebagai agama yang memiliki totalitas dalam pengertian meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia, termasuk politik namum sumber-sumber Islam Juga mengajukan pasangan istilah seperti dunya-akhirat (dunia-akhirat), din-dawlah (agama-negara), atau umur aldunya-umur al-din (urusan dunia-urusan agama).
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di "tangan" Tuhan. Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad.
Paradigma seperti ini dianut oleh Syiah. Paradigma pemikiran Syiah memandang bahwa negara (istilah yang relevan dengan hal ini adalah imamah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan. Menurut pandangan Syiah, berhubung legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad, legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan dan hal ini hanya dimiliki oleh keturunan Nabi.
Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan", negara, dalam perspektif Syiah, bersifat teokratis. Negara teokrasi mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (Syari’ah). Sifat teokratis negara dalam pandangan Syiah dapat ditemukan dalam pemikiran banyak ulama politik Syiah.
Paradigma "penyatuan" agama dan negara juga menjadi anutan kelompok "fundamentalisme Islam" yang cenderung berorientasi nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsipil. Paradigma fundamentalisme menekankan totalitas Islam, yakni bahwa Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Menurut salah seorang tokoh kelompok ini, al-Maududi (w. 1979), syariah tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau antara agama dan negara. "Syariah adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan.
Negara Islam yang berdasarkan syari'ah itu, dalam pandangan al-Maududi, harus didasarkan pada empat prinsip dasar, yaitu: bahwa ia mengakui kedaulatan Tuhan, menerima otoritas Nabi Muhammad saw, memiliki status "wakil Tuhan", dan menerapkan musyawarah. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, kedaulatan yang sesungguhnya berada pada Tuhan. Negara berfungsi sebagai kendaraan politik untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan, dalam statusnya sebagai wakil Tuhan. Dalam perspektif demikian, konsepsi Maududi tentang negara Islam bersifat teokratis, terutama menyangkut konstitusi negara yang harus berdasarkan Syari'ah. Tapi al- Maududi sendiri menolak istilah tersebut dan lebih memilih istilah "teodemokratis", karena konsepsinya mengandung unsur demokratis, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk berperan dalam proses pemerintahan, tetapi tetap dibatasi oleh norma-norma Tuhan.
Tokoh lain yang termasuk dalam teori penyatuan agama dan negara adalah Syekh Mahmud Syaltout sebagaimana yang dikutip oleh A. Djazuli mengatakan “demikian eratnya hubungan antara agama dan negara dalam sejarah Islam seperti fundamen dengan bangunannya. Oleh karena itu wajar saja kalau dalam Islam terdapat ajaran-ajaran tentang kenegaraan”.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Pandangan tentang simbiosis agama dan negara ini dapat ditemukan, umpamanya, dalam pemikiran al-Mawardi (w. 1058), seorang teoritikus politik Islam terkemuka pada masa klasik. Pada baris pertama dari karyanya yang terkenal, al-Ahkam Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namum berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut membawa pandangan simbiosis agama dan negara adalah al-Ghazali (w. 505. H atau 1111 M). Dalam nasihat al-Mulk, yang dikutip oleh Din Syamsuddin dikatakan antara lain, menginsyaratkan hubungan paralel antara agama dan negara, seperti dicontohkan dalam paralelisme nabi dan raja. Menurut al-Ghazali, jika Tuhan telah mengirim nabi-nabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim raja-raja dan memberi mereka "kekuatan Ilahi" (farr-i izadi). Keduanya memiliki tujuan yang sama: kemaslahatan kehidupan manusia (masalahat-izandaghani).
Konsep Farr’i Izadi yang menjadi dasar simbiosis agama dan negara dalam pemikiran al-Ghazali, mempunyai akar sejarah pada pemikiran praIslam Iran. Konsep ini mengandung arti bahwa kualitas-kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas-kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat "titisan" (pre-ordained). Dengan menegaskan Farr’i Izadi dalam kepemimpinan negara, al-Ghazali mungkin bermaksud menegaskan dimensi keagamaan dalam lembaga negara.
Paradigma ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.
Proses sekularisasi oleh para tokoh dan pemerintahan muslim pada akhir abad ke-19 diikuti dengan munculnya gerakan modernisme Islam didunia Arab dan belahan Anak-Benua India. Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan antara agama dan negara, bagi mereka, Islam hanya terbatas pada masalah moral dan pribadi. Mereka berpaling ke barat untuk memperbaharui segi sosio-politik dalam kehidupan mereka.
Salah seorang tokoh paham sekulerisme adalah Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Pada tahun 1925, Ali Abd al-Raziq menerbitkan sebuah risalah yang berjudul al-Islam wa Usul al-Hukm. Isu sentral dalam risalah 'Ali 'Abd al-Raziq, seperti dikutip oleh Muhammad Diya al-Din al-Ra'is kemudian dikutip oleh Din Syamsuddin, bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan; kekhalifahan, termasuk kekhalifahan al-Khulafa al-Rasyidin, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tapi sebuah system yang duniawi.
Uraian di atas, bahwa jika diklasifikasikan pendapat tentang relasi agama dan negara bahwa di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan politik. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan. Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan.
Dalam pembahasan hubungan agama dan negara, memang banyak terjadi perbedaan diantara para tokoh muslim bahkan para orientalis Barat. Penulis sependapat dengan Azyumardi Azra bahwa selain faktor sejarah dan wahyu (al-Quran) yang memang memunculkan multi interpretasi, umat muslim sendiri nampak terjebak dalam sesuatu yang bersifat ideal dan teoritis
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari fundamentalisme, Modernisme Hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996). Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik di Indonesia, Terj. Ihsan-fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998). Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos, 2002). Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan fundamentalis, Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2001). Donald Eugene Smith, Religion And Political Development, Terj. Mahfudh Shalahuddin dan Muhammad Syarief, “Agama Dan Perkembangan Politik”, (Surabaya: Sinar Wijaya, 1988).