Seks dalam Konteks Sosial Masyarakat
Pada: November 03, 2012
Seks dalam konteks sosial masyarakat secara umum, terkadang bermakna sebagai suatu hal yang tabu, meski tak semua demikian. Ada pula dalam sebagian masyarakat, cenderug pada perilaku kepura-puraan yang memaksa untuk bersikap ganda terhadap seksualitas yang dijalankan dalam masyarakat. Di satu pihak, seks harus ditutup-tutupi, di lain pihak, diam-diam seks dibuka secara terang-terangan. Keduanya demi alasan sama, yakni mempertahankan stabilitas masyarakat.
Semua itu harus kita terima sebagai fakta, bahwa memahami seks dalam konteks sosial, masyarakat kita sedang menuju kepada pola pikir terbuka, secara seksual, apapun resikonya.
Untuk melihat pemahaman tentang seks dalam konteks sosial masyarakat, haruslah dipahami bahwa seks harus kembali kepada kedudukannya yang sebenarnya, yaitu: sebagai kodrat atau pemberian dari Tuhan yang bersifat sehat dan tidak dikekang tetapi juga tidak diumbar atau dibebaskan. Seks adalah suatu masalah yang pribadi tetapi pada perkembangannya, ia dibicarakan secara publik yang pada kelanjutannya seksualitas ditabukan sebagai bahan pembicaraan publik bukan semata-mata karena ia membicarakan hal-hal yang sangat pribadi, walaupun demikian pembicaraan seks akan mengantarkan pada penyadaran orang akan tatanan sosial.
Seks dalam konteks sosial masyarakat abad pertengahan, dipandang sebagai sesuatu yang suci. Sekspun ditentukan oleh kekuatan atau kekuasaan di luar individu, biasanya oleh agama dan kekuasaan politik sendiri. Situasi itu berubah dengan datangnya masyarakat borjuis. Rasio kemudian menginstrumentalisasikan seks, mengatur hubungan bagaimana seks bisa menjadi efektif, tidak hanya untuk prokreasi tapi juga untuk menyejahterakan masyarakat sendiri.
Upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil, terutama di Abad ke-18. Seks dalam konteks sosial masyarakat waktu itu dikembangkan dengan sangat mencolok sebagai suatu sistem represi yang sangat canggih. Moralitas borjuis yang represif terhadap seks kemudian berkembang sampai dengan Revolusi Industri, moralitas tersebut sangat kuat dalam mengontrol individu dan sosial masyarakat. Abad ke- 19 terjadi perubahan drastis. Seksualitas manusia berusaha membebaskan diri dari sistem represinya.
Sigmund Freud dan Herbert Marcuse memberikan kontribusi dan pengaruh pemaknanaan seks dalam konteks sosial masyarakat. Betapa pun liberal pandangan Freud, ia tetap pada pola bahwa realitas dan rasio harus menundukkan spontanitas naluri manusia, artinya Logos harus tetap mengatasi Eros. Bedanya, ia berpendapat bahwa naluri seksual itu tidak perlu ditekan, tapi diarahkan dan disublimasikan. Bukan represi terhadap libido tapi manajemen libido, itulah rumus yang diusulkan Freud.
Munculnya prasangka dan kepercayaan akan kejahatan yang inheren dalam nafsu seksual dan hubungan kelamin membuat laki-laki dan perempuan secara mutlak sama-sama tertekan secara spiritual. “Penderitaan rohani dan kesengsaraan yang timbul meliputi ketidakserasian antara keinginan alami yang asli dan keengganan
Menanggapi hal tersebut, Murtadha Muthahari memberikan komentar, sebagaimana ia mengutip dari pendapat Berthrand Russel yang menyatakan secara sekilas tentang Islam, bahwa: “Logika Islam yang revolusioer sangat menarik, karena Islam sama sekali tidak memberikan indikasi bahwa nafsu seksual adalah jahat dan represif, sebaliknya usaha Islam dalam hal ini bertujuan mengatur seksualitas manusia dalam suatu cara yang paling manusiawi bukan sebatas hubungan fisik biologis”.
Dalam Islam, seks tidak antipati terhadap cinta dan ibadah kepada Allah. Karena seks dalam konteks sosial masyarakat terpola dalam perkawinan sebagai bentuk pelembagaan cinta dan seks. Bahkan terdapat keterkaitan antara seks dan keimanan. Seperti dalam salah satu hadis, Umar bin Ziyad yang dinukil dari Imam Ja’far al-Shadiq “Saya tidak berpendapat bahwa iman seseorang dapat meningkat apabila cintanya kepada wanita tidak mengikat.
Demistifikasi terhadap rahasia-rahasia dan keintiman dunia akan melahirkan potensi emansipatoris yang kita butuhkan. Kerancuan posisi antara mendiamkan dan membuka lebar-lebar memperlihatkan bahwa seks dalam konteks sosial masyarakat terkait dengan kekuasaan, otoritas, dan stabilitas.
Referensi Makalah®