Shalat Jabrul Fawait
Pada: November 21, 2012
Ibadah Shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan. Sedangkan kata Jabrul fawait berasal dari bahasa arab yaitu, Jabrul yang berarti memperbaiki (menambal), memperbaiki tulang yang patah, menolong, menghibur, dan Fawait yang berarti; lampau, luput.
Dengan demikian, shalat jabrul fawait adalah shalat yang bertujuan untuk memperbaiki atau mengqadha shalat yang lampau atau shalat yang telah lalu.
Shalat jabrul fawait memang tidak dijelaskan di dalam al-Quran maupun Hadis. Namun yang dijadikan pedoman oleh masyarakat yaitu kitab Fafirru Ilallah. Dalam kitab tersebut dijelaskan sekilas tentang shalat jabrul fawait:
“Barang siapa melaksanakan shalat jabrul fawait maka Allah memperbaiki dari shalatnya orang tersebut shalat empat puluh tahun”.
Maksud terjemahan kitab tersebut adalah apabila mempunyai tanggungan qadha shalat, maka dengan shalat jabrul fawait dapat mengganti shalat yang tertinggal. Jika dikaitkan dengan dalil al-Quran dan Hadis, sangatlah jelas bahwa siapa saja yang melewatkan shalat fardu, maka ia wajib mengqadhanya baik ditinggalkan dengan sengaja, lupa atau tidak tahu sebagaimana Hadis dibawah ini:
“Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi saw telah bersabda: Barang siapa lupa satu sembahyang, maka sembahyanglah ketika ingat. (H.R. Muslim).
Dalam masalah shalat jabrul fawait Kyai Muttaqin menjelaskan, bahwa kewajiban mengqadha shalat tidak berkehendak adanya dalil khusus untuk qadha saja, karena kewajiban qadha telah ditunjukkan oleh perintah untuk melakukan perbuatan tersebut. Perintah untuk melakukan shalat lima waktu umpamanya, adalah sekaligus merupakan perintah untuk membayar kewajiban itu setelah habis waktu, apabila tidak dilakukan pada waktu yang telah ditentukan.
Karena, seseorang yang diperintahkan untuk melakukan sesuatu kewajiban tidak bebas dari perintah itu. Kecuali dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan dan suatu kewajiban belum dianggap luput dengan luputnya waktu, karena kewajiban adalah hutang yang harus dibayar, walaupun diluar waktunya. Bandingannya adalah hutang kepada sesama manusia, apabila hutang tidak dibayar pada waktu yang telah disepakati, bukan berarti yang berhutang terbebas dari hutangnya. Hutang harus dibayar walaupun diluar waktu yang ditentukan. Seperti dalam syari’at perintah untuk mengqadha suatu kewajiban, maka hal itu tidak lain dari suatu penegasan dari hukum dasar tersebut. Sebagaimana hadis berikut :
“Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi saw telah bersabda: “Barang siapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat , tidak ada tebusan melainkan itu. (HR. Bukhari)
Hadis tersebut mengandung suatu penegasan bahwa hukum dasar wajib qadha itu berlaku juga bagi orang yang tertidur dan terlupa. Oleh karena itu tentu lebih perlu lagi waktu untuk diqadha shalatnya yang ditinggalkan dengan sengaja. Dengan demikian kewajiban mengqadha shalat yang ditinggalkan telah terkandung dengan adanya perintah yang mewajibkan shalat yang dimaksud. Dengan demikian shalat jabrul fawait tersebut diqiyaskan dengan hutang, yaitu hutang meninggalkan shalat adalah hutang kepada Allah.
Oleh karena itu siapa saja yang meninggalkan shalat maka harus membayar dan mengqadhanya. Menurut Kyai Muttaqin jika meninggalkan shalat tahu berapa rakaat yang ditinggalkan maka harus mengqadha sesuai dengan yang ditinggalkan. Sedangkan shalat yang ditinggalkan tapi tidak diketahui jumlahnya atau berapa rakaat yang ditinggalkan maka shalat jabrul fawait adalah penggantinya.
Bagi penulis, shalat jabrul fawait diibaratkan shalat taubat, yang bertujuan untuk membayar shalat yang tertinggal yang tidak tahu berapa jumlah yang ditinggalkan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abd bin Nuh dan Oemar Bakri,.Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta; PT.mutiara Sumber Widya, 1954). Husiln Al Habsy, Kamus al Kaustar Lengkap Arab Indonesia, (Bangil, Yayasan Pesantren Islam, t.th). Imam Abi Husain Muslim al-Hajjaj, Sakhih Muslim, Juz I, (Daar al-Kutub al Islamiyah, Beirut Libanon). Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, (Makatabah Dahlan Indonesia, t.th).