Thaghut menurut Bahasa dan Istilah
Pada: November 23, 2012
Menurut Ibnu Manzur yang mengutip pendapat Ibn Syayidah, thaghut berasal dari kata dasar tagha, yang memiliki arti melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam hal kekafiran. Tidak hanya itu saja, Ibnu Manzur juga memberikan pengertian lain bahwa kata tagha mempunyai makna melampaui batas dalam hal kemaksiatan.
Pendapat yang sama dengan penjelasan terakhir dikemukakan oleh al-Raqhib al-Asfahani dalam kitabnya Mu’jam Mufradat al-Faz al-Qur’an. Seperti halnya dengan Ibnu Manzur, al- Raqhib al-Asfahani mengatakan bahwa kata tagha mempunyai makna melampaui batas dalam hal kemaksiatan.
Mengenai proses pembentukan kata thaghut dari kata dasarnya Ibnu Manzur menjelaskan bahwa wazan yang diikuti oleh kata tagha dalam proses perubahannya menuju kata thaghut adalah fa’alut sehingga berbunyi thaghayut. Ibnu Manzur juga mengemukakan pendapat lain yang mengatakan bahwa kata thaghut berasal dari kata tagha dengan mengikuti wazan lahut maka kata tagha tersebut menjadi kata thaghut
Kata thaghut kebanyakan dalam al-Quran bermakna sesembahan selain Allah. Oleh karena itu, kata ini sering diterjemahkan juga sebagai “berhala“ atau “syetan“. Kata thaghut menurut pandangan Muhammad Qutub adalah unsur yang durhaka, biang keladi yang menyesatkan manusia dari jalan yang benar menuju pada jalan yang sesat. Syetan juga dikatakan thaghut karena syetan merupakan satu-satunya makhluk Allah yang paling ingkar dan menyesatkan manusia dari hal yang bijak menuju pada hal yang jelek atau yang sesat.
Seorang tokoh cendikiawan muslim Indonesia, Imaduddin Abdurrahim seperti yang dikutip oleh Dawan Rahardja, mempunyai penafsiran khusus mengenai kata thaghut. Dia mengatakan bahwa sesuatu yang mampu menguasai manusia itu adalah thaghut, yang berarti harfiyah adalah berhala. Menurutnya manusia yang menyerahkan diri untuk dikuasai oleh sesuatu berarti menjadikan sesuatu yang menguasai dirinya itu sebagai thaghut.
Sedangkan kata thaghut menurut Fazhur Rahman adalah syetan dan kejahatan. Menurutnya kata thaghut memiliki makna yang mengandung kejahatan atau kekafiran. Thaghut lebih merupakan prinsip kekafiran yang umum dari pada yang “person“. Kita mungkin berpendapat bahwa kejahatan adalah kekuatan atau prinsip dari kekafiran dan hal-hal yang buruk, tetapi ketika berhubungan atau mempengaruhi seorang individu, ia mengalami “personalisasi“. Pendapat itu lebih menjelasakan tentang cukupan thaghut.
Menurut al-Jauhary ra bahwa thaghut adalah dukun (tukang tenung) dan syetan. Imam Qurtuby berpandangan bahwa arti thaghut adalah setiap yang disembah selain Allah, seperti syetan, tukang tenung, berhala dan setiap yang mengajak serta mengandung kepada kesesatan. Sementara itu Abu Aliyah berpendapat bahwa arti thaghut itu adalah tukang sihir, begitu juga Said bin Juber berkata arti thaghut adalah tukang tenung.
Imam Abu Ja’far at-Thabary berpandangan bahwa thaghut ialah setiap sesuatu yang punya sifat melampaui batas, lancang terhadap Allah, sehingga kemudian orang-orang mengabdi dan menyembah kepadanya dan taat, baik secara dipaksa maupun tidak, baik yang disembah tersebut manusia ataupun berhala.
Muhammad bin Abdul Wahab berkomentar bahwa kata thaghut itu pengertian umumnya adalah setiap apa yang disembah selain Allah swt, dan ia ridha untuk itu, baik disembah, diikuti ataupun ditaati yang bukan dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahwa Manusia tidak menjadi mukmin kepada Allah, kecuali ia kafir kepada thaghut.
Menurut pandangan Sayyid Qutub bahwa kata thaghut adalah bentuk dari kata thughayaan yang mengandung arti setiap apa saja yang melampaui batas-batas hukum yang digariskan oleh Allah untuk para hamba-Nya di muka bumi ini. Ia mempunyai kendali iman kepada Allah dan syariat Islam. Thughayaan juga mengandung arti sistem yang tidak bersandar pada wahyu. Bisa juga berarti, setiap kekuasaan yang tidak bersumber pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Bisa berarti setiap hukum yang tidak berdiri di atas syariat Allah ataupun setiap permusuhan dan penetapannya terhadap kebenaran, pembangkang kepada pemimpinan Allah.
Pendapat lainnya adalah variasi kata dari thughayaan, yang berarti segala sesuatu yang melampaui batas kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya, tidak berpedoman kepada aqidah Allah, dan tidak berpedoman pada syari’at yang ditetapkan oleh Allah. Termasuk dalam kategori kata thaghut adalah juga setiap manhajitatanan, sistem yang tidak berpijak pada peraturan Allah, begitu juga setiap pandangan, perundang-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak berpijak pada peraturan dan syari’at Allah. Oleh karena itu, barang siapa yang mengingkari semua ini dalam segala bentuk dan modelnya, dan beriman kepada Allah dan berpijak pada peraturan Allah saja niscaya dia akan selamat, keselamatanya itu terlukis di dalam “Berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus“.
Kata thaghut menurut pendapat Muhammad Quraish Shihab adalah melampui batas. Maksud melampui batas di sini adalah melampui batas dalam segala macam kebatilan, baik dalam bentuk berhala, ide-ide yang sesat, manusia durhaka atau siapa pun yang mengajak kepada pebuatan yang menyesatkan. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tokok Yahudi Ka’ab ibn al-Araf dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan merujuk kepada Nabi Muhammad saw untuk menyelesaikan perselisihannya, walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima, sang munafik justru mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn Al Asyraf. Ada lagi yang memahami kata thaghut dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.
Dalam pandangan Ahmad Mustofa al-Maraghi kata thaghut adalah syetan. Penyembahan kepada patung-patung disebut ibadah kepada syetan, apabila syetan itu menyuruh menyembah patung-patung dan membuat penyembahan kepada patung-patung sebagai sesuatu yang baik.
Menurut Ibnu Qayim bahwa kata thaghut adalah apa-apa yang menyebabkan seorang hamba itu melewati batas dari yang diikuti atau melewati batas yang ditaati, maka kata thaghut dari suatu golongan ialah seorang figur tempat dimana orang-orang yang berhukum kepada selain Allah, atau mereka mengikutinya tanpa pengetahuan dari Allah, atau mereka mentaatinya dalam perkara-perkara yang tidak mengetahui dia taat kepada Allah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-fikr, 1994). Al-Raqhib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Al Faz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Syekh Ahmad al-Qathan Muhammad Zein, Thaghut, (Yogyakarta: Al-Kautsar, 1989). CD. Holy Qur’an (t. tp: Sakar, 1997). Muhammad Qutb, Jahiliyah Abad Dua Puluh,, terjemahan dari Jahiliyah Al-Qur’an al ’Isyrin, oleh Muhammad Tahir dan Abu Laila, (Bandung: Mizan, 1993). Muhammad Dawan Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci, (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulum Qur’an, 1996). Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, (Mayor Themes of The Qur’an), Terjemahan Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1996). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Semarang: Tanjung Mas, 1992). Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,(Beirut: Darusy Syuruq, 1992). Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta Lentera Hati, 2000).