Faktor Munculnya Rausyanfikr
Pada: December 05, 2012
Faktor munculnya rausyanfikr dipicu adanya “gap” atau kesenjangan antara kaum terpelajar dengan rakyat jelata, kesenjangan kaum intelektual dengan Mullah atau Ayatullah, kesenjangan antara kutub teori dengan kutub praktek, jauhnya rakyat dari budayanya sendiri akibat pengaruh ide-ide Barat yang hegemonic dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi munculnya rausyanfikr ini. Kesenjangan-kesenjangan tersebut banyak terjadi dan melanda di dunia ketiga dan masyarakatmasyarakat muslim pada khususnya.
Tragedi paling menyedihkan yang menimpa masyarakat tradisional pada umumnya, dan masyarakat muslim pada khususnya, disebabkan oleh tidak adanya komunikasi dan besarnya perbedaan pandangan antara rakyat jelata dan golongan terpelajar. Sedangkan di negara-negara industri Barat, rakyat jelata dan kaum intelektual dapat saling memahami secara lebih baik dan mempunyai pandangan yang relatif serupa.
Di Eropa, seorang professor universitas bisa dengan mudah berkomunikasi dengan rakyat jelata yang tak terpelajar, tidak memandang dirinya mempunyai status yang lebih tinggi atau rakyat memperlakukannya sebagai tokoh yang tak tersentuh, terbungkus di dalam kertas kaca.
Bahkan dalam sejarah awal masyarakat-masyarakat Islam, kesenjangan besar yang ada sekarang ini antara kaum intelektual dan rakyat jelata tidak ada para cerdik pandai tradisional muslim, kaum ulama termasuk ahli hukum (fuqaha), ahli teologi dialektis (mutakallimun), ahli tafsir al-Quran (mufassirun), para filosof dan para sastrawan (‘udaba’) mempunyai ikatan erat dengan masyarakat umum melalui agama. Meskipun mengajar dan belajar di dalam seminari-seminari (hawzah) yang tampaknya terpisah, mereka berhasil menghindari kerenggangan hubungan dengan rakyat. Hubungan semacam itu antara ulama dan rakyat bahkan masih ada sekarang ini. Sebagian besar rakyat jelata yang tidak terpelajar dapat duduk berdampingan dengan ulama, yang telah mencapai status kesarjanaan menonjol, dan membahas masalah-masalah mereka. Mereka merasa cukup santai bersama sang ulama untuk membicarakan kebutuhankebutuhan, keluhan-keluhan atau persoalan keluarga mereka.
Sayangnya, dalam kebudayaan dan sistem pendidikan modern, kaum muda dididik dan dilatih di dalam benteng-benteng yang terlindung dan tak tertembus. Begitu mereka masuk kembali ke lingkungan masyarakat, mereka ditempatkan pada kedudukan-kedudukan social yang sama sekali terpisah dari rakyat jelata. Maka, kaum intelektual itu hidup dan bergerak dalam arah yang sama dengan rakyat, tetapi di dalam suatu sangkar emas lingkungan eksklusif.
Ide-ide dan nilai-nilai kultural dan intelektual Barat telah membanjiri alam pikiran mereka dan karena itu mempengaruhi cara berpikir mereka. Dari dunia Barat masalah-masalah ilmiah, penilaianpenilaian yang telah diformulasikan, aturan-aturan dan metode-metode yang sudah distandarisasi, berbagai kritik dan konsep-konsep serta gagasan-gagasan yang telah mapan, semuanya dibungkus rapi dan diberi cap, persis seperti makanan kaleng yang diawetkan, kemudian dikirim kepada kaum intelektual Timur yang berorientasi ke Barat.
Di sini mereka baca berbagai gap tersebut, kemudian mereka buka isinya dan mereka penuhi pikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran yang diimpor, tanpa tergelitik sedikitpun untuk menanyakan relevansinya terhadap masyarakat, maupun terhadap cita-cita individual mereka sendiri dan tanpa kehati-hatian dalam membaca fikiran-fikiran Barat itu.
Menurut Ali Syari’ati, cara kita meniru yang paling baik adalah menyelidiki jalan yang telah ditempuh oleh Barat yang telah mengantarkan Barat sampai pada tahap peradaban modernnya sekarang dan kita harus menempuh jalan yang sama secara sadar dan hati-hati.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan untuk Para Intelektual Muslim, (Bandung: Mizan, 1989).