Hukum Pelaksanaan Khitan
Pada: December 21, 2012
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan. Akan tetapi, mereka sepakat bahwa khitan telah disyariatkan agama. Mereka mengatakan hukum khitan wajib sedang yang lain mengatakan sunnah. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu dipelajari masing-masing pendapat tersebut baik yang mengatakan wajib maupun yang sunnah.
Hukum Wajib
Asy-Syafi’iy mengatakan bahwasanya khitan hukumnya wajib, dengan alasan:
- Nabi diperintahkan mengikuti syariat Nabi Ibrahim (QS. An-Nahl ayat 123) dan salah satu syariatnya adalah khitan.
- Sekiranya khitan tidak wajib, mengapa orang yang dikhitan membuka aurat yang diharamkan.
- Imam Nawawi berpendapat ini adalah pendapat shahih dan masyhur yang ditetapkan oleh Syafi’iy dan disepakati oleh sebagian besar ulama. Menurutnya, orang yang Qulufnya tidak dikhitan itu bisa membatalkan wudhu dan shalatnya.
Qulfah yang menutupi dzakar secara keseluruhan bisa menghalangi air untuk membersihkan sisa air kencing yang masih menempel didalamnya. Atas dasar itu maka benyak diantara ulama’ salaf dan khalaf melarang menjadikan orang yang tidak dikhitan sebagai imam.
Ulama lain yang mengatakan khitan wajib adalah Imam Malik dan Imam Hambali, mereka berpendapat bahwa orang yang tidak berkhitan tidak sah menjadi imam dan tidak diterima syahadatnya. Jadi, begitu wajibnya khitan sehingga orang yang tidak dikhitan tidak bisa menjadi imam.
Dalam kitab al-Majmu’ diungkapkan, mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum khitan adalah wajib. menurut al-Khitabi, Ibnu Qayyim berkata bahwa hukum khitan adalah wajib, selain itu Imam al-Atha’ berkata “Apabila orang dewasa masuk Islam belum dianggap sempurna Islamnya sebelum di khitan”.
Ada beberapa hal yang mereka jadikan alasan kenapa khitan itu wajib, antara lain :
- Khitan adalah perbuatan memotong sebagian dari anggota badan. Seandainya tidak wajib, tentu hal ini dilarang untuk melakukannnya sebagaimana dilarang memotong jari-jari atau tangan kita selain karena hukum qisas.
- Memotong anggota badan akan berakibat sakit, maka tidak diperkenankan memotongnya kecuali dalam tiga hal, yakni demi kemaslahatan, karena hukuman (qishas) dan demi kewajiban. Maka pemotongan anggota badan dalam khitan adalah demi kewajiban.
- Khitan hukumnya wajib karena salah satu bentuk syiar Islam yang dapat membedakan antara muslim dan non muslim. Sehingga ketika mendapatkan Jenazah ditengah peperangan melawan non muslim, dapat dipastikan sebagai jenazah muslim jika ia berkhitan. Kemudian jenazahnya bisa diurus secara Islam.
Hukum Sunnah
Apabila diamati kebiasaan masyarakat, ada yang mengistilahkan khitan ini dengan istilah sunnat. Hal ini menunjukkan bahwa hukum khitan adalah sunnah. Pendapat ini merupakan pengikut Imam Hanafi.
Alasan mereka yang berpendapat bahwa hukum khitan sunnah adalah sebagai berikut :
1) Adanya Hadits riwayat Baihaqi
Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw bersabda: “Khitan itu sunnah untuk laki-laki dan mukarramah bagi kaum perempuan “(HR. Al Baihaqi).
Dalam hadis tersebut Nabi mensejajarkan khitan dengan memotong kumis, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan dan memotong kuku sehingga khitan bukan perkara wajib.
2) Khitan termasuk salah satu bentuk syiar Islam dan tidak semua syiar Islam itu wajib.
Dari berbagai pendapat tersebut, penulis cenderung untuk mengikuti pendapat yang mengatakan khitan hukumnya wajib, sebab dalil-dalil yang mewajibkannya sangat kuat dan shahih. Apalagi dalam praktek khitan aurat harus terbuka, orang lain yang mengkhitan jelas melihatnya bahkan memegangnya, padahal semacam itu diharamkan dalam hukum Islam. Jika bukan karena hukumnya wajib, tentu hal itu tidak diperbolehkan karena menutup aurat hukumnya wajib.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abi Ishak Ibrahim Ibnu Ali Ibnu Yusuf Al-Firuzabadi As-Syirazi, Al-Muhadzab Fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi’i, Juz I, (Baerut: Dar Al-kutub Al-ilmiyah, t.th). UHA. Soenarjo, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Semarang: Al-Wa’ah, 1993). Ramayulis, et. al, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001). Abdul Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Saad Al-Marshafi, “A Hadits Al-Khitan Hujjiyatuha Wa Fiqhuha” Penerj. Amir Zain Zakariya, Khitan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). Abu Bakar Ahmad Bin Ali Al Baihaqi, Sunan Al Kubra,Juz VIII, (Baerut: Daar al Fikr, tt). Ibnu Majjah, Sunan Ibn Majjah, Juz I, (Baerut: daar Al Fikr, tt).