Kesaksian Wanita dalam Islam
Pada: December 24, 2012
Pembahasan mengenai kesaksian wanita dalam Islam, masih terdapat beberapa pendapat. Ada yang berpendapat bahwa wanita boleh menjadi saksi dalam beberapa hal dan tidak diterima kesaksiannya dalam masalah hudud.
Pandangan Fukaha tentang Kesaksian Wanita Kesaksian wanita tidak diterima dalam kasus hukuman hudud dan yang berhubungan dengan darah. Az-Zuhri berkata, "bertahun-tahun berlalu sejak zaman Rasulullah saw, dan kedua khalifah setelahnya bahwa persaksian wanita tidak bisa diterima dalam hal hudud dan qishas. Persaksian mereka tidak diterima karena mereka tidak kuat menyaksikannya.
Sedangkan yang menjadi saksi selain hal itu, seperti saksi perceraian, pernikahan, nasab dan yang lain wanita boleh menjadi saksi, baik bersama laki-laki atau sejenis mereka sendiri."
Menurut ulama mazhab Hanafi, dalam masalah perdata baik yang berkaitan dengan harta maupun hak, seperti nikah, talak, wakaf, wasiat, hibah, dan keturunan, disyariatkan dua orang saksi laki-laki dan jika tidak ada dua saksi laki-laki maka dapat digantikan dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita.
Akan tetapi ulama mazhab Maliki, Syafi’iy, dan Hanbali menyatakan bahwa wanita hanya boleh menjadi saksi sebagai ganti laki-laki dalam masalah harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, hibah, wasiat, dan gadai.
Sedangkan yang menyangkut hak, seperti nikah dan talak, wanita tidak boleh menjadi saksi. Dalam masalah hudud dan kisas, ulama sepakat menyatakan bahwa jumlah saksi yang dituntut adalah dua orang laki-laki. Dalam kasus ini, menurut jumhur ulama tidak diterima kesaksian wanita, baik bersama wanita lain maupun sendirian.
Akan tetapi mazhab Zahiri menyatakan bahwa kesaksian wanita bersama laki-laki dalam kasus yang menyangkut hudud dibolehkan jika jumlah wanitanya lebih dari satu orang.
Dalam kitab al-Muhall, dikatakan bahwa dalam perkara zina tidak boleh diterima kesaksian yang kurang dari empat laki-laki muslim yang adil, atau setiap laki-laki dua wanita muslimah yang adil, demikian pula tiga laki-laki bersama dua wanita, atau dua laki-laki bersama empat wanita, atau seorang laki-laki bersama enam wanita, atau delapan wanita saja. \
Dalam persoalan hudud, hal yang berhubungan dengan darah, qishas, nikah, talak, rujuk, dan persoalan harta, tidak diterima kesaksian kecuali dua laki-laki, atau dua laki-laki bersama dua wanita, atau empat orang wanita. Pada semua persoalan kecuali hudud, diterima kesaksian seorang laki-laki atau dua orang perempuan yang disertai dengan sumpah.
Dalam masalah radha’ah, diterima kesaksian wanita seorang diri atau seorang laki-laki yang adil saja.
Dalil-dalil dan Wijhu Dalalahnya Dalil-dalil al-Qur'an tentang kesaksian dalam bidang muamalah, antara lain: QS. al-Baqarah (2): 282;
Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi yang dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Kalau bukan dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. QS. al-Maidah (5): 106;
Ulama-ulama masa lampau sepakat menyatakan bahwa persaksian tersebut bukan syarat bagi sahnya rujuk atau perceraian dengan alasan bahwa perintah tersebut sekedar untuk berjaga-jaga jangan sampai terjadi perselisihan jika tidak dipersaksikan.
Sementara ulama kontemporer di antaranya Syekh Muhammad Abduh secara tegas menyatakan wajib sekaligus menjadikannya syarat. Pendapat ini sejalan dengan pendapat aliran Syi’ah sebagaimana yang dikatakan al-Thabrasi dalam tafsirnya dan pendapat inilah yang diberlakukan oleh Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Persaksian dalam perkara hudud, antara lain QS. al-Nisa (4): 15 dan QS. al-Nur (24): 4;
Dalil dari sabda Rasulullah saw.
“Bukankah kesaksian seorang wanita setengah dari kesaksian seorang laki-laki? Para sahabat wanita menjawab: “ya”, yang demikian itu karena (wanita) kekurangan pada akalnya.”
“Tidak diterima kesaksian wanita jika mereka sendiri kecuali dalam hal yang berkaitan dengan aurat wanita, kehamilan dan masa haid mereka.”
“Tidak boleh kesaksian wanita dalam hal talak, perkawinan, hal yang berhubungan dengan darah, dan dalam persoalan hudud.”
Dalil yang membolehkan kesaksian wanita dalam persoalan zina dan talak
“Diriwayatkan dari ‘Atha dan hammad bahwa keduanya menerima kesaksian tiga laki-laki dan dua wanita dalam perkara zina”
“Sakrana menjatuhkan talak kepada istrinya tiga kali, hal itu disaksikan empat wanita, kemudian mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Umar bin Khattab dan beliau menerima kesaksian wanita tersebut sehingga keduanya (suami isteri tersebut) berpisah.”
Dalam QS. al-Baqarah (2): 282 dinyatakan bahwa “…persaksikanlah dengan dua orang laki-laki di antaramu, jika bukan dua orang lelaki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai…”
Ayat ini menjadi dalil bagi Jumhur Ulama yang membatasi kesaksian wanita hanya dalam masalah aqad (transaksi) seperti jual beli, gadai, hibah, wasiat, dan lain-lain. Ayat ini juga menjadi landasan bagi mazhab az-Zahiri membolehkan wanita menjadi saksi, baik bersama laki-laki, maupun bersama dengan wanita lainnya, dalam semua persoalan, baik menyangkut persoalan perdata maupun pidana (jinayat/hudud).
Mengapa kesaksian dua orang laki-laki diseimbangkan dengan satu laki-laki dan dua perempuan. Yakni seorang laki-laki diseimbangkan dengan dua perempuan. Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya.
Menurut Quraish Shihab, konteks ayat ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya. Al-Qur'an menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga, atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap utang-piutang, baik karena suami ttdk mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria, karena itu demi menguatkan persaksian, dua wanita diseimbangkan dengan seorang pria.
Ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita, tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria. Kenyataan dalam masyarakat ikut membuktikan kekeliruan persepsi sementara orang, bahkan sementara ulama dan intelektual. Muhammad Asad menyatakan bahwa ketentuan dua orang saksi wanita sebagai pengganti seorang saksi laki-laki tidak menyatakan secara tidak langsung bahwa kemampuan intelektual dan moral kaum wanita lebih rendah daripara seorang laki-laki.
Bahwa ketentuan tersebut adalah berdasarkan kenyataan pada waktu itu di mana kaum wanita tidak begitu akrab dengan liku-liku prosedur bisnis. Maka ada kemungkinan besar bahwa kaum wanita pada masa itu membuat kesalahan dalam kesaksian masalah tersebut. Kaitannya dengan ayat tersebut adalah sabda Nabi ““Bukankah kesaksian seorang wanita setengah dari kesaksian seorang laki-laki?
Para sahabat wanita menjawab: “ya”, yang demikian itu karena (wanita) kekurangan pada akalnya.” Menurut al-Muhallab, maksud dari sabda Rasulullah saw. bahwa dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan adanya pengutamaan antara kesaksian-kesaksian yang berdasarkan standar akal dan keakuratan.
Menurut asy-Syaikh Ali Muhammad al-Jurjawi, bahwa laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedangkan wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya serta lebih labil jiwanya dibanding laki-laki, utamanya wanita dalam kondisi marah, benci, gembira, dan sedih akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga syara’ menetapkan kesaksian wanita kurang kualitasnya dibanding kesaksian laki-laki.
Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, dalam perkara hudud saksi harus laki-laki, tidak diterima kesaksian wanita dalam persoalan ini, sebagaimana firman Allah (QS. al-Nisa (4): 15) اربعة منكم dan (QS. al-Nur (24): 4) ثم لم يأتوا بأربعة شهداء , yaitu dari laki-laki. Yang dimaksud dengan شهداء adalah laki-laki karena penunjukan ‘adad (bilangannya) muannats.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan kesaksian seorang perempuan dan sumpah penggugat, sebab dua orang saksi perempuan sebagai ganti seorang saksi laki-laki bagi suatu transaksi, bukan sebagai alat bukti, di mana saksi perempuan yang satu sebagai backing jika saksi perempuan yang lain lupa.
Tidak ada satu dalil pun dalam al-Qur'an maupun sunnah yang melarang dua saksi perempuan sebagai alat bukti di pengadilan, dan perintah agar penyaksian suatu perbuatan hukum dilakukan oleh dua perempuan sebagai pengganti saksi seorang laki-laki, tidak berarti bahwa apabila jumlah saksi wanita kurang dari dua orang tidak dapat dijadikan alat bukti untuk pengambilan putusan hakim.
Dari beberapa pendapat dan dalil-dalil tentang kesaksian wanita dapat disimpulkan bahwa secara umum wanita tidak boleh menjadi saksi dalam masalah hudud, seperti kasus perzinahan. Pendapat ini didukung dari dalil al-Qur'an dan banyak diriwayatkan oleh sahabat Nabi.
Sementara dalam persoalan yang berkaitan dengan hak dan harta, seperti talak, rujuk, hibah, wasiat, dan lain-lain kesaksian wanita dibolehkan, baik bersama laki-laki maupun terdiri dari beberapa wanita, berdasarkan beberapa riwayat. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan mengingat kaum perempuan pada abad ini telah mengenyam pendidikan sebagaimana laki-laki, mereka pada umumnya juga bekerja di luar rumah.
Demikian pula arus informasi yang sangat cepat di tengah-tengah masyarakat sampai jauh ke pelosok desa. Penelitian pun menunjukkan bahwa daya ingat, kemampuan intelektual perempuan secara potensial tidak berbeda dengan laki-laki.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Pandangan Fukaha tentang Kesaksian Wanita Kesaksian wanita tidak diterima dalam kasus hukuman hudud dan yang berhubungan dengan darah. Az-Zuhri berkata, "bertahun-tahun berlalu sejak zaman Rasulullah saw, dan kedua khalifah setelahnya bahwa persaksian wanita tidak bisa diterima dalam hal hudud dan qishas. Persaksian mereka tidak diterima karena mereka tidak kuat menyaksikannya.
Sedangkan yang menjadi saksi selain hal itu, seperti saksi perceraian, pernikahan, nasab dan yang lain wanita boleh menjadi saksi, baik bersama laki-laki atau sejenis mereka sendiri."
Menurut ulama mazhab Hanafi, dalam masalah perdata baik yang berkaitan dengan harta maupun hak, seperti nikah, talak, wakaf, wasiat, hibah, dan keturunan, disyariatkan dua orang saksi laki-laki dan jika tidak ada dua saksi laki-laki maka dapat digantikan dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita.
Akan tetapi ulama mazhab Maliki, Syafi’iy, dan Hanbali menyatakan bahwa wanita hanya boleh menjadi saksi sebagai ganti laki-laki dalam masalah harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, hibah, wasiat, dan gadai.
Sedangkan yang menyangkut hak, seperti nikah dan talak, wanita tidak boleh menjadi saksi. Dalam masalah hudud dan kisas, ulama sepakat menyatakan bahwa jumlah saksi yang dituntut adalah dua orang laki-laki. Dalam kasus ini, menurut jumhur ulama tidak diterima kesaksian wanita, baik bersama wanita lain maupun sendirian.
Akan tetapi mazhab Zahiri menyatakan bahwa kesaksian wanita bersama laki-laki dalam kasus yang menyangkut hudud dibolehkan jika jumlah wanitanya lebih dari satu orang.
Dalam kitab al-Muhall, dikatakan bahwa dalam perkara zina tidak boleh diterima kesaksian yang kurang dari empat laki-laki muslim yang adil, atau setiap laki-laki dua wanita muslimah yang adil, demikian pula tiga laki-laki bersama dua wanita, atau dua laki-laki bersama empat wanita, atau seorang laki-laki bersama enam wanita, atau delapan wanita saja. \
Dalam persoalan hudud, hal yang berhubungan dengan darah, qishas, nikah, talak, rujuk, dan persoalan harta, tidak diterima kesaksian kecuali dua laki-laki, atau dua laki-laki bersama dua wanita, atau empat orang wanita. Pada semua persoalan kecuali hudud, diterima kesaksian seorang laki-laki atau dua orang perempuan yang disertai dengan sumpah.
Dalam masalah radha’ah, diterima kesaksian wanita seorang diri atau seorang laki-laki yang adil saja.
Dalil-dalil dan Wijhu Dalalahnya Dalil-dalil al-Qur'an tentang kesaksian dalam bidang muamalah, antara lain: QS. al-Baqarah (2): 282;
…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya…Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah شهيدين bukan شاهدين, ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut.
Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi yang dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Kalau bukan dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. QS. al-Maidah (5): 106;
“…Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu…”Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt. memerintahkan agar wasiat dilakukan di hadapan dua orang saksi di antara orang-orang Islam. Persaksian dalam hal talak dan rujuk terdapat dalam QS. al-Talaq (65): 2;
“…Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…”Dalam ayat ini Allah swt. memerintahkan agar peristiwa rujuk dan talak dilakukan dihadapan dua orang saksi yang adil. Perintah mempersaksikan dua orang saksi dalam ayat ini (dalam satu riwayat) dipahami sebagai perintah sunah menurut Imam Abu Hanifah dan Imam syafi’i.
Ulama-ulama masa lampau sepakat menyatakan bahwa persaksian tersebut bukan syarat bagi sahnya rujuk atau perceraian dengan alasan bahwa perintah tersebut sekedar untuk berjaga-jaga jangan sampai terjadi perselisihan jika tidak dipersaksikan.
Sementara ulama kontemporer di antaranya Syekh Muhammad Abduh secara tegas menyatakan wajib sekaligus menjadikannya syarat. Pendapat ini sejalan dengan pendapat aliran Syi’ah sebagaimana yang dikatakan al-Thabrasi dalam tafsirnya dan pendapat inilah yang diberlakukan oleh Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Persaksian dalam perkara hudud, antara lain QS. al-Nisa (4): 15 dan QS. al-Nur (24): 4;
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)…"Terjemahnya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”Dari kata arba’atun dipahami bahwa saksi-saksi tersebut adalah lelaki. Ini bukan saja karena bila yang dimaksud perempuan, redaksi ayat akan menyatakan arba’ (tanpa ta marbutah)”
Dalil dari sabda Rasulullah saw.
اَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَذَالِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا (رواه البخارى
“Bukankah kesaksian seorang wanita setengah dari kesaksian seorang laki-laki? Para sahabat wanita menjawab: “ya”, yang demikian itu karena (wanita) kekurangan pada akalnya.”
وَرُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ ابْنِ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ الْقَعْقَاعِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ: لا تَجُوزُ شَهَادَةُ النِّسَاءِ وَحْدَهُنَّ إلا عَلَى مَا لا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ غَيْرُهُنَّ مِنْ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَحَمْلِهِنَّ وَحَيْضِهِنَّ.
“Tidak diterima kesaksian wanita jika mereka sendiri kecuali dalam hal yang berkaitan dengan aurat wanita, kehamilan dan masa haid mereka.”
وَرُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ الْحَسَنِ بْنِ عُمَارَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ، وَالْحَكَمِ بْنِ عُتَيْبَةَ، قَالَ الزُّهْرِيُّ: عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ عُمَرَ، وَقَالَ الْحَكَمُ: عَنْ عَلِيٍّ، ثُمَّ اتَّفَقَ عُمَرُ، وَعَلِيٌّ: عَلَى أَنَّهُ لا تَجُوزُ شَهَادَةُ النِّسَاءِ فِي الطَّلاقِ؛ وَلا فِي النِّكَاحِ، وَلا فِي الدِّمَاءِ، وَلا الْحُدُودِ.
“Tidak boleh kesaksian wanita dalam hal talak, perkawinan, hal yang berhubungan dengan darah, dan dalam persoalan hudud.”
اَنَّ الزُّهْرِى قال مَضَتِ السُّنَّةُ مِنْ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم أنَّ لاَ تَجُوْز شَهَادَةَ النِّسَاءِ فِىالحُدُوْدِ وَلاَ فىِ النِّكَاحِ وَلاَ فىِ الطَّلاَقِ . رواه ابو عبيد, واخرجه إبن أبى شيب
Dalil yang membolehkan kesaksian wanita dalam persoalan zina dan talak
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَطَاء وَحَمَّاد اَنَّهُمَا قُبُلاً شَهَادَةِ ثَلاَثَةَ رِجَالٍ وَامْرَأتَيْنِ فىِ الزِّناَ
“Diriwayatkan dari ‘Atha dan hammad bahwa keduanya menerima kesaksian tiga laki-laki dan dua wanita dalam perkara zina”
وَمِنْ طَرِيقِ أَبِي عُبَيْدٍ نا يَزِيدُ - هُوَ ابْنُ هَارُونَ - عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ الْخِرِّيتِ عَنْ أَبِي لَبِيدٍ قَالَ: إنَّ سَكْرَانَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاثًا، فَشَهِدَ عَلَيْهِ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ، فَرُفِعَ إلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَأَجَازَ شَهَادَةَ النِّسْوَةِ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.
“Sakrana menjatuhkan talak kepada istrinya tiga kali, hal itu disaksikan empat wanita, kemudian mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Umar bin Khattab dan beliau menerima kesaksian wanita tersebut sehingga keduanya (suami isteri tersebut) berpisah.”
Dalam QS. al-Baqarah (2): 282 dinyatakan bahwa “…persaksikanlah dengan dua orang laki-laki di antaramu, jika bukan dua orang lelaki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai…”
Ayat ini menjadi dalil bagi Jumhur Ulama yang membatasi kesaksian wanita hanya dalam masalah aqad (transaksi) seperti jual beli, gadai, hibah, wasiat, dan lain-lain. Ayat ini juga menjadi landasan bagi mazhab az-Zahiri membolehkan wanita menjadi saksi, baik bersama laki-laki, maupun bersama dengan wanita lainnya, dalam semua persoalan, baik menyangkut persoalan perdata maupun pidana (jinayat/hudud).
Mengapa kesaksian dua orang laki-laki diseimbangkan dengan satu laki-laki dan dua perempuan. Yakni seorang laki-laki diseimbangkan dengan dua perempuan. Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya.
Menurut Quraish Shihab, konteks ayat ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya. Al-Qur'an menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga, atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap utang-piutang, baik karena suami ttdk mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria, karena itu demi menguatkan persaksian, dua wanita diseimbangkan dengan seorang pria.
Ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita, tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria. Kenyataan dalam masyarakat ikut membuktikan kekeliruan persepsi sementara orang, bahkan sementara ulama dan intelektual. Muhammad Asad menyatakan bahwa ketentuan dua orang saksi wanita sebagai pengganti seorang saksi laki-laki tidak menyatakan secara tidak langsung bahwa kemampuan intelektual dan moral kaum wanita lebih rendah daripara seorang laki-laki.
Bahwa ketentuan tersebut adalah berdasarkan kenyataan pada waktu itu di mana kaum wanita tidak begitu akrab dengan liku-liku prosedur bisnis. Maka ada kemungkinan besar bahwa kaum wanita pada masa itu membuat kesalahan dalam kesaksian masalah tersebut. Kaitannya dengan ayat tersebut adalah sabda Nabi ““Bukankah kesaksian seorang wanita setengah dari kesaksian seorang laki-laki?
Para sahabat wanita menjawab: “ya”, yang demikian itu karena (wanita) kekurangan pada akalnya.” Menurut al-Muhallab, maksud dari sabda Rasulullah saw. bahwa dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan adanya pengutamaan antara kesaksian-kesaksian yang berdasarkan standar akal dan keakuratan.
Menurut asy-Syaikh Ali Muhammad al-Jurjawi, bahwa laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedangkan wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya serta lebih labil jiwanya dibanding laki-laki, utamanya wanita dalam kondisi marah, benci, gembira, dan sedih akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga syara’ menetapkan kesaksian wanita kurang kualitasnya dibanding kesaksian laki-laki.
Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, dalam perkara hudud saksi harus laki-laki, tidak diterima kesaksian wanita dalam persoalan ini, sebagaimana firman Allah (QS. al-Nisa (4): 15) اربعة منكم dan (QS. al-Nur (24): 4) ثم لم يأتوا بأربعة شهداء , yaitu dari laki-laki. Yang dimaksud dengan شهداء adalah laki-laki karena penunjukan ‘adad (bilangannya) muannats.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan kesaksian seorang perempuan dan sumpah penggugat, sebab dua orang saksi perempuan sebagai ganti seorang saksi laki-laki bagi suatu transaksi, bukan sebagai alat bukti, di mana saksi perempuan yang satu sebagai backing jika saksi perempuan yang lain lupa.
Tidak ada satu dalil pun dalam al-Qur'an maupun sunnah yang melarang dua saksi perempuan sebagai alat bukti di pengadilan, dan perintah agar penyaksian suatu perbuatan hukum dilakukan oleh dua perempuan sebagai pengganti saksi seorang laki-laki, tidak berarti bahwa apabila jumlah saksi wanita kurang dari dua orang tidak dapat dijadikan alat bukti untuk pengambilan putusan hakim.
Dari beberapa pendapat dan dalil-dalil tentang kesaksian wanita dapat disimpulkan bahwa secara umum wanita tidak boleh menjadi saksi dalam masalah hudud, seperti kasus perzinahan. Pendapat ini didukung dari dalil al-Qur'an dan banyak diriwayatkan oleh sahabat Nabi.
Sementara dalam persoalan yang berkaitan dengan hak dan harta, seperti talak, rujuk, hibah, wasiat, dan lain-lain kesaksian wanita dibolehkan, baik bersama laki-laki maupun terdiri dari beberapa wanita, berdasarkan beberapa riwayat. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan mengingat kaum perempuan pada abad ini telah mengenyam pendidikan sebagaimana laki-laki, mereka pada umumnya juga bekerja di luar rumah.
Demikian pula arus informasi yang sangat cepat di tengah-tengah masyarakat sampai jauh ke pelosok desa. Penelitian pun menunjukkan bahwa daya ingat, kemampuan intelektual perempuan secara potensial tidak berbeda dengan laki-laki.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber