Konsep Wilayat al-Faqih
Pada: December 21, 2012
Konsep Wilayat al-Faqih dipopulerkan oleh Imam Khomeini, setelah berhasil menggulingkan pemerintahan Syah Reza pada tahun 1979. konsep Wilayat al-Faqih sebagai pemerintahan resmi Republik Islam Iran, termuat dalam pasal 5 Konstitusi Republik Islam Iran. Sistem ini sebenarnya telah lama dipublikasikan oleh Imam Khomeini, pemimpin besar Iran melalui ceramah-ceramahnya di berbagai mesjid, baik ketika ia berada di Iran maupun dalam pengasingan.
Saat itu paling tidak ada dua tujuan politis yang ingin dicapai dengan menggiring isu Wilayat al-Faqih. Pertama, para ulama yang menjadi motor penggerak revolusi itu sebenarnya menginginkan kembalinya peran strategis mereka di panggung pemerintahan, setelah sekian lama diberangus oleh Syah. Sumber tertinggi otoritas di Iran yang anggotanya mempunyai kekuasaan melebihi yang diberikan Syah dalam konstitusi 1906. Kedua, mereka menghadapi tekanan kuat untuk merancang sebuah republik yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
Meskipun negara Iran bermaksud untuk menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, namun ada interpretasi menarik mengenai model kedaulatan rakyat ini. Kedaulatan rakyat yang dimaksud ini merupakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Disinilah menariknya gagasan mengenai Wilayat al-Faqih tersebut. Faqih adalah anakronisme. Tak hanya itu ia mengatakan bahwa sesungguhnya konsep Wilayat al-Faqih, tidak selaras dengan asas demokrasi. Meskipun demikian, Soroush menolak untuk dikatakan sebagai hakim yang baik bagi pemikirannya. Ia mengatakan, “I’m not a good judge for my own ideas”.
Gelora reformasi yang disuarakan oleh Khatami dan Soroush sudah pasti mendapatkan reaksi yang cukup keras dari kelompok Mullah. Kaum mullah dan para faqih mengatakan bahwa para penentang konsep Wilayat al-Faqih adalah orang-orang murtad, karena telah menyimpang dari konsep yang telah dirumuskan Ayatullah Khomeini.
Ayatullah Mohammad Reza Mahdavi-Kani dengan keras menentang Khatami, yang berusaha menundukan otoritas Ulama ke bawah pangkuan kedaulatan rakyat. Seperti yang dikuti Musthafa Abd. Rahman, Mahdavi-Kani mengatakan,
“Awas dan hati-hatilah ketika mereka berani berkata bahwa legitimasi Wilayat al-Faqih harus berdasarkan tuntutan dan mandat rakyat, sehingga tak satu pun yang tersisa. Adalah bodoh membiarkan penyimpangan ini atas nama kebebasan”.
Eksperimentasi konsep Wilayat al-Faqih itulah yang juga membuat perpolitikan di Iran memasuki masa kelam. Otoritas para faqih mengakibatkan ulama yang memiliki kapasitas di luar itu tidak bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan hukum maupun politik. Apalagi kekuasaan faqih yang ternyata diperluas tidak hanya sebatas pengawasan dan memberikan nasihat. Tetapi para faqih juga turut campur dalam persoalan eksekusi kebijakan sosial politik yang sebelumnya jelas-jelas menjadi tanggung jawab eksekutif.
Pengalaman penerapan doktrin Wilayat al-Faqih di Iran, menjadi sinyalemen akan usangnya doktrin politik Islam. Imamah, Khilafah, dan Daulah Islamiyyah, dalam batas-batas tertentu, sepertinya sudah tidak lagi sesuai dengan agenda demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat dunia saat ini. Karena bagaimanapun juga demokrasi sangat terkait dengan upaya penghargaan yang luas terhadap pluralisme, kesetaraan, emansipatoris dan kebebasan berpendapat.
Konsep imamah Syi`ah, menyebutkan pemimpin hanya diperbolehkan jika berasal dari kerabat Nabi Muhammad jelas menyalahi logika politik yang saat ini berkembang. Kualifikasi pemimpin yang baik saat ini bukan didasarkan pada model kekerabatan. Tetapi persoalan yang paling essensial dalam menentukan figur pemimpin adalah sejauhmana ia memiliki visi humanis, berkeadilan dan aspiratif.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Mohsen M. Milani, Partisipasi Politik di Iran Pascarevolusi, dalam John L Esposito (ed), Political Islam: Revolution, Radicalism or Reform?,(terj) Dina Mardiya, “Langkah Barat Menghadang Islam”, (Yogyakarta: Jendela, 2004). Musthafa Abd. Rahman, Iran Pasca Revolusi: Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif, (Jakarta: Kompas 2003).