Metode Istinbath Imam Syafi’iy
Pada: December 23, 2012
Metode istinbath Imam Syafi’iy tersusun dalam karya monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Di samping itu, dalam al-Umm banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fikih sebagai pedoman dalam ber-istinbath. Landasan ushul fikih yang dirumuskannya itulah terbangun fatwa-fatwa fikihnya yang kemudian dikenal dengan mazhab Syafi’iy.
Menurut Imam Syafi’iy ilmu itu bertingkat-tingkat, sehingga dalam mendasarkan pemikirannya ia membagi tingkatan sumber-sumber itu sebagai berikut:
- Ilmu yang diambil dari kitab (al-Quran) dan Sunnah Rasulullah saw apabila telah tetap kesahihannya.
- Ilmu yang didapati dari ijma dalam hal-hal yang tidak ditegaskan dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
- Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat yang menyalahinya. pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat.
- Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat sumber sebelumnya.
Tidak boleh berpegang kepada selain al-Quran dan sunnah dari beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut. Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih di atas dari tingkatan-tingkatan tersebut.
Metode istinbath Imam Syafi’iy dapat ditelusuri atau dibaca dalam fatwa-fatwanya baik yang bersifat Qaul Qadim (pendapat terdahulu) ketika di Baghdad maupun Qaul Jadid (pendapat terbaru) ketika di Mesir. Tidak berbeda dengan mazhab lainnya, bahwa Imam Syafi’iy pun menggunakan al-Quran sebagai sumber pertama dan utama dalam membangun fikih, kemudian sunnah Rasulullah saw bilamana teruji kesahihannya.
Dalam hirarki sumber hukum, Imam Syafi’iy meletakkan sunnah sejajar dengan al-Quran pada urutan pertama, sebagai gambaran betapa penting sunnah dalam pandangan Imam Syafi’iy sebagai penjelasan langsung dari keterangan-keterangan dalam al-Quran. Sumber-sumber Istidlal kembali kepada dua dasar pokok, yaitu al-Kitab dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam sebagian kitab Imam Syafi’iy, dijumpai bahwa al-Sunnah tidak semartabat dengan al-Kitab. Mengapa ada dua pendapat Imam Syafi’iy tentang ini.
Menurutnya, al-Kitab dan al-Sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah al-Sunnah semartabat dengan al-Quran. Pandangan Imam Syafi’iy sebenarnya adalah sama dengan pandangan kebanyakan sahabat. Imam Syafi’iy menetapkan bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Quran.
Imam Syafi’iy menyamakan al-Sunnah dengan al-Quran dalam mengeluarkan hukum Furu’, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan cabang dari al-Quran. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Quran hendaklah mengambil dari al-Quran.
Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya kedua sumber hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah karena al-Quran memiliki kebenaran yang mutlak dan al-sunnah sebagai penjelas atau ketentuan yang memerinci al-Quran.
Ijma menurut Imam Syafi’iy adalah kesepakatan para mujtahid di suatu masa, yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum muslimin. Oleh karena ijma baru mengikat bilamana disepakati seluruh mujtahid di suatu masa, maka Imam Syafi’iy menolak ijma penduduk Madinah (Amal Ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.
Imam Syafi’iy berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah saw dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan pendapat, maupun yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka. Imam Syafi’iy berkata:
Pendapat para sahabat bagi kita lebih baik dari pada pendapat bagi diri kita sendiri
Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam sumber-sumber hukum tersebut di atas, maka ia dalam membentuk mazhabnya melakukan ijtihad. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu mengangkat kandungan al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw secara lebih maksimal ke dalam bentuk yang siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Imam Syafi’iy adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Umm, Imam Syafi’iy pernah mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hamba‑Nya untuk berijtihad dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah”.
Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah qiyas. Imam Syafi’iy membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam menentukan mana al-Ra’yu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas.
Menurut Imam Syafi’iy, qiyas dapat dirumuskan sebagai berikut:
Menghubungkan sesuatu urusan yang tidak dinashkan hukumnya dengan sesuatu urusan yang diketahui hukumnya karena bersekutu dalam illat hukum.
Dengan demikian Imam Syafi’iy merupakan orang pertama dalam menerangkan hakikat Qiyas. Imam Syafi’iy sendiri tidak membuat Ta’rif qiyas. Akan tetapi penjelasan-penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan hakikat Qiyas, yang kemudian dibuat ta’rifnya oleh ulama ushul.
Terhadap Istihsan, Syafi’iy menolaknya. Khusus mengenai Istihsan ia mengarang kitab yang berjudul Ibtalul Istihsan. Dalil-dalil yang dikemukakannya untuk menolak Istihsan, juga disebutkan dalam kitab Jima al Ilmi, al-Risalah dan al-Umm.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian Imam Syafi’iy ialah bahwa setiap ijtihad yang tidak bersumber dari al-Kitab, al-Sunnah, Atsar, Ijma’ atau Qiyas dipandang Istihsan, dan ijtihad dengan jalan Istihsan, adalah ijtihad yang batal. Jadi alasan Imam Syafi’iy menolak Istihsan adalah karena kurang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalil hukum lainnya yang digunakan Imam Syafi’iy adalah Maslahah Mursalah. Menurut Syafi’iy, maslahatmursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Quran maupun dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Menurut istilah para ahli ilmu ushul fikih ialah suatu kemaslahatan di mana syara tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997). Imam Syafi’iy, al-Umm. (Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th). Abdillah Muhammad ibn Idris Syafi’iy, al-Risalah, (Mesir: alIlmiyyah, 1312 H). Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushuli al-Syari’ah, (Mesir: arRahmaniyah, t.th). Abd al-Wahhab Khalaf, Ulm Usul al-Fikih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978). A. Hanafie, Ushul Fikih, cet. 14, Jakarta: Wijaya, 2001).