Penafsiran Ulama tentang Nafsin Wahidatin
Pada: December 23, 2012
Ibnu Katsir menafsirkan Nafsin Wahidatin dengan Adam. Dan menciptakan istrinya ialah Hawa, dari tulang rusuk kirinya di kala Adam tidur dan sewaktu terjaga dilihatnya Hawa sudah berada di sisinya, lalu bercumbulah satu dengan yang lain. Dan dari keduanya, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan yang banyak yang tersebar di seluruh pelosok dunia.
HAMKA menjelaskan, bahwa lafad Nafsin Wahidatin oleh ulama dahulu, diartikan Adam. Yang daripadanya dijadikan jodohnya. Dan menurut sebagian besar ahli tafsir ialah istrinya Adam yang bernama Hawa. Ibnu Abi Syaibah dan Abd bin Humaid Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan Ibnu Abi Hatim menjelaskan, bahwa mujtahid memang menafsirkan demikian. Yaitu bahwa diri yang satu adalah Adam. Dan jodohnya dijadikan dari padanya itu ialah Hawa, yaitu dari tulang rusuk Adam. Ibnu Mundzir dan Abd bin Humaid menjelaskan lagi, bahwa tulang rusuk Adam itu ialah tulang rusuk kiri yang di bawah sekali.
Penafsiran seperti itu berangkat dari penafsiran Ibnu Abbas, yang mengatakan bahwa maksud dari kalimat khalaqa minha sebagai persambungan dari kalimat Nafsin Wahidatin adalah Hawa yang tercipta dari tulang rusuk Adam. Oleh sebab itu, ahli-ahli tafsir yang datang di belakang pun menurutlah akan jejak langkah ahli-ahli tafsir yang dahulu itu. Belum ada ahli tafsir lama yang menafsirkan lain dari itu.
Sumber pertama atas penafsiran seperti itu adalah sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Hadis dari Abi Hurairah ra. Berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya perempuan seperti tulang rusuk, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok.”
HAMKA sendiri lebih memilih menafsirkan Nafsin Wahidatin dengan satu diri. Bahwa laki-laki dan perempuan di benua manapun mereka berdiam dan betapapun warna kulitnya beraneka, namun mereka adalah diri yang satu. Sama-sama berakal, sama-sama menginginkan yang baik dn tidak menyukai yang buruk. Sama-sama suka pada yang elok dan tidak suka pada yang jelek.
Oleh sebab itu hendaklah dipandang orang lain itu sebagai diri kita juga. Dan meskipun ada manusia yang masyarakatnya sudah amat maju dan ada pula yang masih sangat terbelakang, bukanlah berarti bahwa mereka tidak satu. Kemudian diri yang satu itu dipecah, dari padanyalah dijadikan jodohnya. Ibaratkan kepada kesatuan kejadian alam semesta, yang kemudian dibagi dua menjadi positif dan negatif. Demikian pula manusia. Terjadinya pembagian antara laki-laki dan perempuan hanyalah satu perubahan kecil saja dalam “teknik” Ilahi pada menjadikan alat kelamin, yang disebut dalam istilah Arab: Ijab dan salab.
Menurut Imam Zamakhsyari, menafsirkan Nafsin Wahidatin dengan Adam. Ia meyakini bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah di muka bumi. Zamakhsyari menganggap bahwa Adam adalah bapak manusia.
Dalam kitab al-Durr al-Man’tsur, Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan istilah Nafsin Wahidatin adalah Adam as. Hadis yang digunakan adalah hadis yang dikeluarkan oleh Abu al-Syaikh dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan khalaqakum min Nafsin Wahidatin adalah Adam.
Menurut Sayyid Thabathaba’i, Nafsin Wahidatin adalah Nabi Adam. Menurutnya asal-usul penciptaan manusia dimulai dari diri yang satu (Adam). Dan dari Adam kemudian diciptakan pasangannya (Hawa). Adam dan Hawa kamudian menjadi bapak dan ibu manusia yang telah menjadi penghuni dunia hingga sekarang.
Muhammad al-Razî, pengikut mazhab Syafi’iy menafsirkan Nafsin Wahidatin adalah Adam. Salah satu alasannya, karena telah terjadi kesepakatan di antara umat Islam atau ijma’. Karena tafsir di atas menggunakan dasar ijma’, maka sebenarnya di sana masih ada peluang tafsir lain. Sebab dasar ijma’ sendiri adalah adanya kesamaan pandangan ulama yang sangat terikat dengan ruang waktu tertentu, bukan karena hakikatnya memang Adam.
Selain ulama klasik di atas yang berpendapat bahwa Nafsin Wahidatin adalah Adam, ada pula (ulama kontemporer) yang berpendapat bahwa Nafsin Wahidatin bukanlah Adam, tetapi jenis yang sama, zat yang sama.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Thameem Ushama, Metodologies of The Qur’anic Exegesis, Terj. Hasan Basi dan Amroeni, “Metodologi dalam Memahami Al-Qur’an”,Jakarta: Riora Cipta, 2000). Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. H. Salim Bahreisy, “Tafsir Ibnu Katsir”, Jilid II, Surabaya: P.T. Bina Ilmu, 1990). Ali al-Shabunî, Safwatu al-Tafasir, Jilid I, Bairut: Dar al-Fikr, t.th) M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996).