Perbedaan Aliran mengenai Sifat Tuhan
Pada: December 28, 2012
Kaum muslimin abad pertama hijriyah jika bertemu dengan ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang membahas mengenai sifat-sifat Tuhan, seperti kejisiman Allah swt, tidak mau membicarakan isinya dan juga tidak mau menakwilkan, meskipun mereka berpendirian seharusnya tidak dipahami sebagaimana makna lahirnya, karena Allah swt, Maha Suci dari persamaan dengan makhluknya. Baru pada masa sesudah mereka, perdebatan mengenai sifat-sifat Allah swt mulai ramai dibicarakan. Setidaknya telah muncul beberapa aliran yang berusaha membicarakan mengenai sifat-sifat Allah swt. Aliran tersebut yaitu:
Pertama; Aliran Musyabihah. Jika sekiranya kaum muslimin berpegang teguh pada prinsip-prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhlu-Nya, tentulah tidak akan timbul persoalan sifat dan juga tidak akan imbul segolongan muslimin yang memegangi secara lahiriyah nash-nash al-Quran atau hadis-hadis mutasyabihat, seperti golongan Musyabihah atau Karramiyah. Mereka mengatakan, Tuhan memiliki muka, dua tangan dan dua mata, bahkan lebih dari itu Tuhan adalah memiliki jisim (bertubuh). Dengan demikian, mereka tadak ada bedanya dengan golongan agama-agama lain yang mempercayai Tuhan memiliki tubuh (jisim) dan nampak dalam bentuk manusia.
Aliran kepercayaan ini sering disebut dengan aliran antropomorfisme, yakni kepercayaan bahwa Tuhan bisa mewujud sebagaimana manusia. Aliran ini, dalam merumuskan pemahamannya hanya menafsirkan ayat-ayat mengenai Zat, Sifat-Sifat Allah dan perbuatan-Nya hanya berdasarkan makna harfiyahnya saja, sehingga pemahamannya mempercayai bahwa Allah memiliki jisim, sebagaimana yang pernah diulas pada pembahasan di atas. Tetapi aliran musyabihah yang memegangi lahiriyah ayat-ayat tersebut merupakan golongan kecil dalam Islam. Hal ini karena memang pada awalnya kaum muslimin memiliki pemahaman teologi yang antropomorfis.
Kedua; Aliran Muktazilah. Pendirian golongan musyabihah yang berlebihan memunculkan reaksi yang hebat di kalangan Muktazilah yang berpendirian bahwa Tuhan memiliki sifat Esa, Qadim, dan Suci dari penyerupaan dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat ini adalah sifat salaby (negatif) karena tidak menambahkan sesuatu kepada Zat Tuhan. Dikatakan salaby, karena Esa berarti tidak ada sekutu baginya, dan Qadim berarti tidak ada permulaannya, sementara berbeda dari makhluk-Nya berarti tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Ketika Washil bin Atha’ hendak mensucikan Tuhan sejauh mungkin, ia tidak mengakui adanya sifat-sifat ijaby (positif) bagi Tuhan, seperti ilmu, qadrat dan iradat. Pengakuan adanya sifat-sifat tersebut dikhawatirkan kaum muslimin akan menyamai orang-orang Masehi, dimana orang-orang masehi mengakui tiga sifat, yaitu wujud, ilmu, dan hayat sebagai sifat Tuhan, dan masing-masing dari sifat tersebut berdiri sendiri dan disebutnya oknum. Manifestasi dari ketiga sifat tersebut menurut kepercayaan mereka mewujud dalam kepercayaan atas Bapak, Ibu, dan Roh Kudus.
Pengikut-pengikut Wasil menganggap tidak perlu mengingkari sifat-sifat ijaby sama sekali, karena hal itu akan mengakibatkan pengosongan Tuhan dari sifat-sifat-Nya dan menjadikan Tuhan sebagai suatu pikiran belaka, tidak ada isinya. Oleh karenanya mereka menetapkan dua sifat pokok, yaitu ilmu dan qadrat, kemudian kedua sifat ini disamakan dengan zat Tuhan sendiri. Mereka mengatakan bahwa Tuhan mengetahui dengan suatu pengetahuan (ilmu), dan pengetahuan itu adalah zat Tuhan sendiri, artinya Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah zat-Nya sendiri.
Kendati golongan Muktazilah tidak mengingkari sifat-sifat Tuhan, namun mereka mendapat tuduhan dari lawan-lawannya yaitu golongan Asy‘ariyah sebagai golongan Muktazilah, yaitu golongan yang mengosongkan dari sifat-sifat Tuhan. Adanya tuduhan ini ialah karena mereka tidak mau mengerti dasar pendapat golongan Muktazilah, yaitu pemisahan antara Tuhan dan manusia dan menandaskan ke-Esaan yang semurni-murninya.
Ketiga; Aliran Para Filosof Islam. Pendapat para filosof Islam terutama sekali diperagakan oleh para filosof Islam seperti al-Kindy dan al-Faraby. Pendapat para filosof ini sejatinya tidak begitu jauh berbeda dengan pendapat golongan sebelumnya, yaitu Muktazilah. Sebagaimana golongan Muktazilah, para filosof Islam di atas juga mengingkari berbilangnya sifat Tuhan dan mensucikan-Nya dengan semurni-murninya. Akan tetapi mereka tidak dimasukan dalam golongan Muktazilah, karena mereka mengakui sifat-sifat yang dikatakan oleh lawan-lawan Muktazilah. Para filosof tersebut mengadakan pemisahan benar-benar antara Tuhan dan manusia. Pada manusia kita mengetahui diri kita sendiri lain daripada sifat-sifatnya, dan tiap-tiap sifat kita lain dari sifat-sifat lainnya. Tetapi tidak halnya dengan sifat Tuhan, kerena Tuhan adalah wujud pertama yang ada dengan sendirinya dan merupakan penyebab pertama bagi yang lain. Sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Quran tidak bisa diingkari adanya, akan tetapi harus dipahami bahwa sifat-sifat tersebut adalah merupakan gambaran pikiran yang memang diperlukan oleh seorang manusia untuk memiliki gambaran tentang Tuhan. Ringkasnya para filosof tidak meniadakan sifat-sifat, tetapi lebih suka mensucikan Tuhan sejauh mungkin.
Keempat; Aliran Asy‘ariyah. Pada hakikatnya golongan Asy’ariyah juga hampir sama dengan Muktazilah, dimana golongan Asy’ariyah juga mengadakan pemisahan antara sifat-sifat salaby (negatif) dan sifat-sifat ijaby (positif). Pendiriannya tentang sifat-sifat negatif sama dengan golongan Muktazilah, hanya pada sifat-sifat positif berbeda dengan pandangan Muktazilah. Menurut asy’ariyah, sifat-sifat positif berbeda dengan zat Tuhan, dan antara sifat-sifat tersebut berlainan satu sama lain. Dengan kata lain, sifat-sifat tersebut bukanlah hakikat dari zat Tuhan. Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, berbicara, mendengar, melihat, dsb artinya Tuhan memiliki sifat-sifat ilmu, Iradat (kehendak), qudrah (kekuasaan), dan seterusnya. Dengan kata lain Tuhan memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam al-Quran.
Asy’ari mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya. Atau dengan sebutan lain, asy’ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum yang berlaku pada alam lahir dan alam ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya azali, oleh karenanya tidak mungkin iradah-Nya baru (hadis) seperti yang dikatakan Muktazilah. Golongan asy’ariyah mempersamakan Tuhan dengan manusia dalam soal sifat dikarenakan menurut mereka sifat-sifat Tuhan bukanlah zat-Nya, bukan pula lain dari zat-nya.
Jika diamati lebih cermat, kontradiksi pernyataan di atas nampak jelas sekali. “bukan zat-Nya” berarti sifat-sifat itu bukan zat-Nya, akan tetapi “bukan lain dari zat-Nya” berarti sifat-sifat itu menjadi satu dengan zat-Nya (hakikat zat). Dari pendapat asy’ariyah yang demikian ini terlihat seolah-olah mereka menerima pandangan Muktazilah, tetapi sebenarnya tidak demikian, golongan Asy’ariyah tetap menolak pandangan Muktazilah, sebab mereka memiliki penafsiran terhadap perkataan “bukan lain zat” dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu tidak bisa lepas dari zat-Nya.
Kelima; Aliran Maturidiyah. Aliran ini mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan. Akan tetapi di kemudian hari, aliran ini membelok ke Asy’ariyah dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perkataan “tidak berbeda dari zat” ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak bisa lepas dari padanya. Tetapi dari pandangannya ini sebenarnya masih menyisakan persoalan, yaitu jika sifat-sifat itu bukan hakikat zat, tidak pula berbeda dengan zat, lalu apa sebenarnya sifat-sifat itu? Menanggapi pertanyaan ini golongan maturidiyah menjawab bahwa “sifat-sifat itu sifat Tuhan, tidak lebih dari itu”.
Melihat jawaban yang demikian sebenarnya maturidiyah belum bisa menyelesaikan kontradiksi yang sedang berlangsung. Mereka justru membelok kepada golongan para filosof dan Muktazilah, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakikat zat-Nya. Selain itu mereka juga bisa membelok ke aliran salaf dengan pengakuan bahwa madzhab itu lebih selamat, dikarenakan pembahasan sifat Tuhan akan menyeret kita kepada bid’ah, seperti yang dilakukan oleh kalangan Muktazilah dan Asy’ariyah. Kendati demikian, sikap Maturidiyah terhadap Muktazilah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak berarti tasybih (menyerupakan) antara Tuhan dengan manusia, dan mereka (Muktazilah) yang mengingkari sifat-sifat dengan alasan karena mensucikan Tuhan tidak perlu disebut dan dituduh Muktazilah, dan tidak pula kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya, sebab bisa menjadikan Tuhan sebagai suatu gambaran fikiran yang kosong.
Keenam; Aliran Ibn Rusyd. Ia adalah orang yang pertama-tama merasakan bahwa pembahasan mengenai sifat-sifat Tuhan tidak ada gunanya dan merupakan bid’ah, karena tidak pernah diperbincangkan oleh umat Islam pada masa awal Islam. Ia bahkan lebih tegas pendiriannya daripada Maturidiyah, meskipun Maturidiyah telah membuka jalan penyelesaian yang berhasil. Sebagaimana dikatakan di atas, sebenarnya maturidiyah tinggal selangkah ke arah pendirian ulama salaf, yaitu menjauhkan diri dari persoalan sifat. Baru pada Ibn Rusyd langkah ini diadakan. Ia tidak sependapat dengan Asy’ariyah, juga tidak sejalan dengan Muktazilah.
Menurut Ibn Rusyd, sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam al-Quran tidak perlu menimbulkan bilangan sama sekali pada zat-Nya, meskipun bilangan yang tidak menghilangkan ke-Esaan Tuhan, karena sifat-sifat Tuhan dibagi menjadi dua, yaitu: 1). Sifat zat dan wujud, yaitu sifat-sifat yang meniadakan dari Tuhan segi-segi kelemahan, yang bisa terdapat pada diri manusia. 2). Sifat-sifat perbuatan, yaitu sifat-sifat yang menentukan hubungan Tuhan dengan makhluk..
Sebenarnya ulama-ulama kalam dalam kedua sifat tersebut selalu memegangi prinsip pemisahan yang tegas antara alam manusia dengan alam ketuhanan. Akan tetapi aliran Asy’ariyah menyimpang dari prinsip tersebut dan menyatakan jelas-jelas bahwa sifat-sifat itu adalah sifat ma’nawiyah, artinya yang menyatakan pengertian yang ada pada zat Tuhan, dengan tidak menyadari bahwa pendirian tersebut bisa menimbulkan kejanggalan yang sukar diselesaikan oleh orang awam, yang pada akhirnya membawa mereka ke arah penjisiman Tuhan. Sebab dengan adanya pensifatan semacam itu, kedudukan Tuhan sama dengan jauhar dan ardl. Kita mengetahui bahwa jauhar ialah yang berdiri sendiri, sedang ardl ialah yang tidak memiliki wujud sendiri, tetapi selalu berada pada wujud lainnya. Sedangkan apa-apa yang terdiri dari jauhar dan ardl adalah jisim. Jika kita mengatakan bahwa hubungan sifat-sifat dengan Tuhan sama dengan hubungan Tuhan itu jisim, maka hal-hal semacam ini tentu sudah jauh dari maksud syara’, demikian ungkap Ibn Rusyd.
Ibn Rusyd juga tidak bisa sependapat dengan Muktazilah sepenuhnya, karena persamaan zat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya tidak bisa diterima dan dipahami oleh orang awam, apalagi dalil persamaan zat ini bukan dalil aksioma ataupun dalil syara’.
Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas, sebenarnya dapat kita tarik benang merahnya menjadi beberapa klausul, diantaranya: pertama, pendapat Muktazilah yang meniadakan bilangan, bagaimanapun juga macamnya, karena sifat-sifat tersebut adalah hakikat zat, sementara zat Tuhan adalah Esa, maka tidak mungkin yang qadim itu memiliki bilangan. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa sifat-sifat itu lain dari pada zat. Klausul yang kedua ini bisa dibagi menjadi dua bagian yaitu: a). Pendapat orang Masehi yang mengatakan berbilangnya yang qadim, dan masing-masing berdiri sendiri. b). Pendapat golongan asy’ariyah yang mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan meskipun lain dari pada zat dan berbilang, tetapi terdapat pada zat Tuhan yang satu.
Jika membandingkan pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa aliran tersebut, sebenarnya pandangan Muktazilah lebih dekat kepada prinsip-prinsip ke-Esaan dan pensucian atas Tuhan (tauhid dan tanzil), dan juga prinsip peniadaan persamaan antara Tuhan dengan makhlukn-Nya, meskipun disayangkan Muktazilah memunculkan persoalan yang susah diselesaikan oleh akal manusia.
Referensi Makalah®
*Berbagai Sumber