Riba Nasi'ah dan Riba Fadhl
Pada: December 28, 2012
Ahli fikih mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah membagi riba menjadi dua macam: Riba al-Nasi’ah dan Riba al-Fadhl. Sedangkan fuqaha Syafi’iyah membaginya menjadi tiga macam: Riba al-Nasi’ah, Riba al-Fadhl, dan Riba al-Yad. Dalam pandangan jumhur madzahib riba al-Yad ini termasuk dalam kategori riba al-Nasi’ah.
Jadi pada intinya para ulama fiqh membagi riba menjadi dua macam yaitu:
Riba Nasi’ah
Definisi riba al-nasi’ah menurut beberapa ulama:
Menurut Wahbah al-Zuhaily, riba Nasi’ah adalah penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga utang) terhadap barang berbeda jenis yang di timbang atau ditakar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang.
Menurut Abdur Rahman al-Zajairi, riba Nasi’ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut) sebagai imbangan atas penundaan pembayaran”.
Menurut Sayid Sabiq, riba Nasi’ah ialah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang menghutangi dari orang yang berhutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaran utangnya. Misalnya si A pinjam satu juta rupiah kepada si B dengan janji setahun waktu pengembaliaan utangnya. Setelah jatuh temponya, si A belum bisa mengembalikan utangnya kepada si B, maka si A menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran utangnya jika si B mau menambah/ menunda jangka waktunya; atau si B yang menawarkan kepada si A, apakah A mau membayar utangnya sekarang, ataukah ia mau minta ditangguhkan dengan memberikan tambahan. Inilah praktek jahiliyah yang kemudian dilarang oleh Islam. Karena itu, riba nasiah juga disebut riba jahiliyah.
Disimpulkan dua macam (kasus) riba Nasi’ah. Pertama, penambahan dari harta pokok sebagai kompensasi penundaan waktu pembayaran. Kedua, penundaan penyerahan salah satu dari barang yang dipertukarkan dalam jual beli barang ribawi yang sejenis.
Riba Fadhl
Definisi riba al-Fadhl menurut beberapa ulama:
Menurut Sayid Sabiq, yang dimaksud dengan riba Fashl adalah jual beli emas atau perak, atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan ada tambahan.
Menurut Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan riba Fadhl adalah penambahan pada salah satu dari benda yang ditertukarkan dalam jual beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena faktor penundaan pembayaran.
Dalam membahas riba Fadhl terdapat dua term yang memerlukan pembahasan lebih lanjut, yakni benda ribawi dan sejenis. Para fuqaha sepakat bahwasannya riba fadhl hanya berlaku pada harta ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda sebagai harta benda ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam nash hadits. Ketujuh harta benda tersebut adalah: (1) emas, (2) perak, (3) burr, jenis gandum, (4) syair, jenis gandum, (5) kurma, (6) zabib, anggur kering, dan (7) garam. Selain tujuh macam harta benda tersebut fuqaha berselih pandangan.
Meurut fuqaha mazhab Hanafiyah persamaan jenis meliputi tiga hal: (1). Persamaan asal, seperti beras dan tepung beras adalah sejenis, sedangkan tepung beras dengan tepung terigu adalah berbeda jenis. (2). Persamaan fungsi dan kegunaannya, misalnya daging gibas dan daging kambing adalah sejenis, sedangkan wool yang terbuat dari kulit gibas dan kulit kambing adalah berbeda jenis. (3). Tidak mengandung produktivitas kerja manusia, misalnya gandum dan roti yang terbuat dari gandum adalah berbeda jenis.
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam mengqiyaskan apa saja yang mempunyai makna dan illat dengan jenis harta benda diatas dari apa saja yang bisa ditakar, ditimbang, dimakan, dan disimpan, misalnya seluruh biji-bijian, minyak, madu, dan daging. Sa’id bin al-Musayyib berkata, “tidak ada riba kecuali pada apa yang bisa ditakar dan ditimbang dari apa saja yang bisa dimakan dan diminum”.
Berbagai pendapat tentang dua macam jenis riba dikalangan para ulama fikih. Menurut ulama mazhab Hanafi dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, riba Fadhl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadhl.
Sementara itu mazhab Maliki dan Syafi’iy berpendirian bahwa illat keharaman riba fadhl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah terbentuk. Oleh sebab itu, apapun bentuk emas dan perak apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Dalam menetapkan illat riba Nasi’ah dan riba Fadhl pada benda-benda jenis makanan terdapat perbedaan pendapat ulama mazhab Maliki dengan Syafi’i. Menurut ulama mazhab Maliki, illat jenis makanan yang terdapat dalam riba Nasi’ah dengan illat yang terdapat dalam riba Fadhl, adalah berbeda.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002). Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1988). Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Terj. Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000).